Misteri Mata Panah dan Kerangka Manusia di Maros

Misteri Mata Panah dan Kerangka Manusia di Maros
info gambar utama

Maros point, begitu nama mata panah ini. Usia diperkirakan antara 7.000 hingga 3.500 tahun. Benda ini ditemukan di banyak tempat di kawasan karts Maros, termasuk di Leang Jarie. Bulan lalu, di Leang Jarie, tim Balai Arkeolog Makassar, juga menemukan satu kerangka manusia nyaris utuh tetapi belum ada jawaban pasti dari masa kebudayaan mana rangka ini berasal.

Suryatman, arkeolog, dan staf peneliti di Balai Arkeologi (Balar) Makassar, cepat membisikkan pada saya soal temuan mata panah ini. “Itu di bawah sana. Di antara batu. Kedalaman 120 sentimeter,” katanya. “Itu lapisan kebudayaan yang lebih tua. Lapisan Toalian–Toala. Ini keren,” katanya, menunjuk lokasi penggalian di Leang Jarie.

Pria ini, oleh beberapa arkeolog di Makassar dijuluki sebagai manusia batu. Irit bicara. Senyum pelit. Namun, kepada dialah orang-orang bertanya tentang alat batu (litik). Bertanya, soal bagaimana manusia pendukung kebudayaan ini gunakan dan membuat alat ini.

Pada 2002, saya pertama kali berjumpa dengan maros point. Berbentuk lancip dengan sisi bergerigi dan bagian pangkal bercabang. Kemungkinan alat ini untuk mengikat dan menancapkan pada ujung kayu. Ia juga tombak atau panah.

Pada 2015, saya mulai menelisik lebih jauh alat kecil itu. Menimang-nimang di telapak tangan. “Kami pernah ujicoba, memanahkan ke batang pisang besar. Itu bisa tembus,” kata Suryatman.

Di laboratorium atau tempat penyimpanan artefak Balar Makassar, ada ratusan maros point. Ia dikumpulkan dari puluhan situs tersebar di kawasan karst Maros, Pangkep, Bone dan Bantaeng. Artefak ini diperkirakan berusia antara 7.000 hingga 3.500 tahun lalu.

Manusia pendukung kebudayaan ini dinamakan Toalian atau Toala. Mereka merupakan masyarakat yang belum sepenuhnya diketahui asal usul. Para peneliti sepakat, mereka adalah Homo sapiens modern, leluhur jauh manusia modern sekarang.

Maros point atau mata panah yang di temukan di Leang Jarie, pada kedalaman 120 cm. Usianya diperkirakan 7.000 hingga 4.000 tahun lalu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
info gambar

Manusia Toala berbeda dengan manusia dalam gelombang Austronesia dari Tiongkok. Orang-orang Austronesia inilah yang disebut sebagai leluhur langsung manusia Sulawesi saat ini. Austronesia keluar dari Tiongkok sekitar 6.000 tahun lalu, dan mencapai Sulawesi sekitar 4.000 hingga 3.000 tahun lalu. Ciri khas pendukung kebudayaan ini adalah membawa teknologi tembikar.

“Tapi di situs Balang Metti (Bone) melalui penggalian ada lapisan kebudayaan yang menunjukkan maros point dan tembikar berada dalam satu konteks,” katanya.

“Jadi saya pikir manusia Toala dan Austronesia pernah bertemu dan terjadi pertukaran kebudayaan.”

Di Leang Jarie, Maros, ada lukisan cap tangan berjarak sangat berdekatan, dengan warna sama. Hampir saling menindih.

Tahun 2014, ketika sekumpulan arkeolog melakukan penggalian di situs Leang Timpuseng, Leang Jing 1, Leang Jing 2, Leang Lompoa, Leang Barugayya 1, Leang Barugayya 2, dan Leang Jarie. Usia tertua gambar cadas itu ditemukan di Leang Timpuseng, minimal 39.900 tahun lalu dan di Leang Barugayya 18.000 tahun lalu.

Lalu di Leang Jarie sendiri, usia 30.700 tahun lalu dan gambar lain mencapai 39.400 tahun lalu. Pada endapan sedimen lantai goa ada lapisan kebudayaan dari 7000, 3.500 tahun lalu, hingga masa sekarang.

“Goa ini, berarti dihuni terus menerus dengan waktu panjang,” kata Budianto Hakim, arkeolog Balar Makassar.

Rangka manusia 4.000 tahun lalu?

Saya menemui Budianto pada 31 Mei 2018. Di mulut Leang Jarie, dia terlihat kelelahan. Berkali-kali dia merebahkan badan di terpal biru atau balai-balai papan. Di goa itu, dia dan tim sudah 30 hari melakukan penelitian dan penggalian. Pada 5 Juni, batas akhir penelitiannya. Dia jadi ketua tim.

Goa itu sedang ramai kunjungan. Penggalian menyingkap sebuah rangka manusia dengan keutuhan mencapai 70, panjang 170 sentimeter. Rangka itu tersingkap ketika Budianto, menemukan sebuah gigi manusia menyusul rangka hanya di kedalaman 20 sentimeter.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)
info gambar

Tengkorak kepala sudah hancur. Bagian kanan rangka juga mulai tak utuh. Keseluruhan rangka mulai rapuh.

Dengan telaten, Basran, staf peneliti balar lainnya mengolesi larutan aceton dan paraloid untuk membuat struktur mengeras. Dia menggunakan spoit suntik dan kuas kecil. “Kami sudah mengirim tiga sampel ke Universitas Waikato di Selandia Baru. Hasilnya setelah Lebaran akan ketahuan manusia dari mana ini,” katanya.

“Kalau dia manusia pendukung kebudayaan ribuan tahun lalu, maka ini penemuan rangka manusia pertama di sekitar kawasan ini,” katanya.

Bagaimana jika rangka ini adalah korban pembunuhan zaman Belanda, Jepang, atau bahkan korban DI/TII tahun 1960-an? Kami tertawa bersama.

Itu tentu saja tak menjadi soal. Penelitian seperti ini, bersiap menunggu kejutan seperti menunggu kelahiran anak. Penuh misteri.

Dalam hal lain, kata Budianto, lapisan kebudayaan konteks yang sama dengan rangka ini, ditemukan gerabah slip merah. “Kita tahu, gerabah slip merah ini dibawa dari Taiwan merupakan teknologi yang dikenalkan oleh orang Austronesia pada sekitar 4000 hingga 3.500 tahun lalu,” katanya.

Saya mendekati rangka itu. Melihat dengan dekat tulang-belulangnya. Bagian dalam berlubang seperti spons. Tampak tulang rusuk mulai tak beraturan. Tulang panggul hanya tersisa bagian kiri. “Apakah ini laki-laki atau perempuan?”

“Sulit melihatnya secara fisik kalau rangka seperti ini. Biasa melihatnya di tengkorak bila utuh. Atau tulang pinggul utuh. Ini sudah tak utuh, saya tak bisa menjawab,” kata Fakhri, arkeolog Balar Makassar, yang menekuni kajian anatomi tulang.

“Tapi apakah ini anak-anak atau dewasa. Sepertinya sudah dewasa. Di atas 20 tahun. Beberapa tulang persendian sudah menyatu dan mulai tak memiliki celah.”

Rangka itu menghadap ke barat daya. Kemungkinan jenazah diletakkan alias tak dikubur. Di sisi kiri dan kanan ada batu besar. Tempat kepala pun disanggah batu. “Melihat posisi seperti ini, saya kira ini sengaja diletakkan. Kemudian, tak ada binatang yang mengganggu mungkin pada masa itu, maka rangka terkubur dengan sendirinya,” ucap Fakhri.

“Tapi itu adalah kemungkinan-kemungkinan ya…”

Saya dan Fakhri masih mengamati rangka itu, ketika sore mulai beranjak menuju petang. Dia lalu menunjukkan tulang kering betis sebelah kanan. Kelihatan melengkung.

“Saya juga khawatir, mungkin saja orang ini (merujuk ke rangka) ada kelainan fisik. Tulang kering melengkung. Kalau tertekan benda, saya kira tulang akan patah,” katanya, sembari memegang rangka itu.

Saya meninggalkan tempat itu, membawa pertanyaan yang juga tak terjawab. Seperti kata Budianto, ini adalah misteri. Jika rangka manusia sepanjang 170 sentimeter, merujuk ke gambar cap tangan, perkiraan tinggi manusia pendukungnya tak lebih dari 180 sentimeter. Mari menunggu pembuktiannya. Apakah rangka itu bagian dari manusia sekarang? Ataukah bagian dari manusia Austronesia. Ataukah si rangka adalah manusia Toala? Atau lebih tua lagi?

Budianto Hakim, ketua tim dari Balai Arkeolog Makassar, berdiri mengenakan kaos putih, memeriksa penutupan temuan rangka manusia di Leang Jarie, Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini