Kisah Kepala Madrasah Dirikan Sendiri Pondok Baca di Madrasahnya

Kisah Kepala Madrasah Dirikan Sendiri Pondok Baca di Madrasahnya
info gambar utama

Pak Safriansah namanya. Meski berstatus Kepala Madrasah MIN 1 Kutai Kartanegara (Kukar), tapi beliau tidak segan untuk turun tangan langsung memajukan madrasahnya. Salah satunya dengan membangun sendiri Pondok Baca demi menggiatkan budaya literasi membaca.

“Saya menukangi sendiri pendirian bangunan ini agar madrasah semakin berkembang dalam segi pembelajaran dan budaya baca,” ucap Pak Safriansah, yang kini berusia 52 tahun dan sudah memiliki tiga orang anak.

Pak Safriansah melanjutkan, ide awal pendirian Pondok Baca ini berasal dari Pak Azhar. Beliau merupakan salah satu guru di sana yang juga Fasilitator Daerah Program PINTAR Tanoto Foundation.

Pak Safriansah di tempat kerjanya di MIN I Kutai Kartanegara | Foto: Tanoto Foundation
info gambar

Langkah awal Pak Safriansah untuk membangun Pondok Baca dimulai dengan membuat sendiri desain bangunannya. Setiap selesai jam sekolah, ia pulang kembali ke rumahnya untuk berganti baju seperti buruh kasar, pakai kaos atau baju lain yang tidak lagi memperlihatkan beliau sebagai Kepala Madrasah.

Dibantu oleh sekuriti dan petugas kebersihan, beliau memotong-motong bambu, menggergaji tripleks dan lain-lain, mewujudkan desain bangunan yang telah dibuatnya dari jam 2 siang sampai jam 5.30 sore.

Selama membangun, Pak Safriansah tidak kekurangan bahan-bahan juga makanan dan minuman. Para guru ikut menyumbang secara sukarela tambahan biaya yang digunakan untuk membeli cat, paku, makanan dan minuman selama bekerja. Kepala Sekolah sendiri juga sukarela mengeluarkan sebagian uangnya untuk pembelian bahan-bahan.

“Agar bangunan ini menarik anak-anak, maka catnya harus berwarna-warni dan tempatnya musti dingin,” ujar Pak Safriansah menerangkan desainnya.

Pondok Baca yang dibangun Pak Safriansah jadi salah satu ikon sekolah | Foto: Tanoto Foundation
info gambar

Untuk menghasilkan cat yang berwarna-warni, beliau membeli tiga warna cat yaitu merah, kuning, dan hijau, yang sebagian dioplos untuk menghasilkan warna baru.

Setelah dikerjakan kurang lebih empat hari, dua bangunan pondok baca pun akhirnya berdiri. Satu berbentuk-balai lesehan yang cukup menampung 20 anak, dan satunya berbentuk payung dengan beberapa tempat duduk.

Di luar dugaan, respon para murid sangat bagus setelah dibangun Pondok Baca. Pak Safriansah menerangkan, siswa-siswa sampai berebut untuk membaca di sana, dan para guru juga sering duduk di situ menemani para murid membaca.

Anak-anak senang membaca di pondok baca | Foto: Tanoto Foundation
info gambar

Dengan ramainya Pondok Baca yang telah dibangun, Pak Safriansah pun berencana membuat tiga pondok lagi agar anak-anak tidak berebut memakai. Beliau juga memerintahkan para guru membuat pojok baca di masing-masing kelas yang diampu, sedangkan untuk buku-bukunya didapat dari sumbangan orang tua murid.

“Untuk pengadaan buku lebih lanjut, nanti saya juga minta siswa yang akan lulus menyumbangkan buku pada sekolah. Kalau ada 52 anak didik, setidaknya kita bisa dapatkan buku tambahan sejumlah itu,” imbuh Pak Safri.

Semangat dan inisiatif Pak Safri ini layak ditiru, tidak hanya oleh para pelaku di bidang pendidikan, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Dengan inovasi-inovasi yang diterapkan di dunia literasi, angka minat baca di Indonesia bisa ditingkatkan yang dapat berdampak positif ke banyak hal.**

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini