Indah Bukan Kepalang Kepulauan Togian

Indah Bukan Kepalang Kepulauan Togian
info gambar utama

“Itu di sana goa buaya,” kata Ashari Komandengi.

Tangannya menunjuk salah satu pulau yang bertebing dan bergoa. Permukaan air laut tampak menutupi separuhnya. Ali, panggilan akrab Ashari, adalah pemilik perahu yang saya tumpangi di hari pertama ketika berada di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah. Ia sering melayani tamu yang ingin berkeliling Togian (Togean).

Goa buaya yang dimaksud Ali adalah tempat buaya air asin. Lokasinya tak jauh dari pantai Kedidiri, salah satu destinasi wisata favorit wisatawan mancanegara. Posisinya di antara tebing pulau kecil tak berpenghuni yang berdiri tegak.

Gugusan pulau adalah pemandangan menyejukkan mata di Kepuluan Togian. Inilah salah satu alasan banyak pelancong berkunjung ke kepulauan ini. Selain, tentunya melihat biota lautnya yang unik. Ada banyak titik-titik penyelaman yang tersebar di Togean.

Sayang, di awal Oktober 2016 itu, buaya air asin yang dimaksud Ali tak nampak. Setelah menunjukan goa buaya, Ali mengajak saya ke tempat destinasi yang tak kalah terkenalnya, yaitu kediamannya jelly fish atau si ubur-ubur. Lokasi ini berbentuk danau dan merupakan surganya ubur-ubur di Kepulauan Togian. Danau ini campuran air laut dengan air tawar. Luasnya lebih dari satu hektar yang dikelilingi pepohonan lebat.

Danau Jelly fish atau danau ubur-ubur yang ada di Kepulauan Togian | Foto: Christopel Paino
info gambar

Burung-burung aneka warna yang berkicau dan hinggap di ranting adalah bonus bagi para pengunjung jelly fish ini. Pengunjung bisa bercebur di jelly fish tanpa rasa takut. Karena ubur-uburnya tidak menyengat dan sangat jinak.

Untuk menuju ke jelly fish sangat mudah. Apalagi telah dibangun fasilitas seperti jembatan buat tambatan perahu serta pondok yang berada di bibir danau. Meski demikian, tempat ini tampak sepi. Tak ada orang berjaga. Namun sebagai penanda, akan tampak sebuah gapura kecil dari papan yang tertulis: “Agro Wisata Dagat Molino Desa Lembanato.”

Sepanjang perjalanan laut itu, saya disuguhi pemandangan pemukiman rumah terapung yang banyak menghuni gugusan pulau. Menurut Ali, sebagian penduduk tersebut berasal dari Suku Bajo atau Suku Togian. Ketika perahu melintas, sesekali anak-anak dan perempuan muncul dari balik jendela rumah mereka yang berbentuk panggung. Mereka melambaikan tangan.

“Tapi sebenarnya banyak orang Gorontalo yang hidup di Kepulauan Togean ini. Termasuk saya juga berasal dari Gorontalo,” kata Ali.

Jelly fish yang terlihat jelas ini merupakan daya tarik wisatawan lokal maupun macanegara | Foto: Christopel Paino
info gambar

Suku Bajo di Kabalutan

Rumah-rumah panggung yang tersebar di gugusan kepulauan itu, Menurut Ali, banyak dihuni orang Bajo. Salah satu perkampungan Bajo yang paling terkenal di Kepulauan Togian adalah Desa Kabalutan, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-una. Tempat pusat berkumpulnya Suku Bajo. Pemukimannya sangat padat. Dan tentu saja berbentuk panggung, meski sebagian sudah berpondasi dan berdinding semen. Rumah yang berpondasi itu di pulau kecil.

Bentuk kampung Bajo di Desa Kabalutan ini cukup unik. Ada yang berbentuk U dan saling menyambung oleh jembatan papan. Ketika menelusuri kampung Bajo ini, saya ditemani Muhamad Lailatul Isnaini (19 tahun). Isnaini adalah ketua remaja masjid di Bajo. Namun ia mengaku lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia bisa sampai di sini karena ibunya menikah lagi dengan orang dari suku Bajo.

“Banyak wisatawan mancanegara ke sini. Tapi, jarang menginap. Kampung ini terkenal karena banyak pelaku bom ikan,” kata Isnaini tertawa.

Stigma bahwa Suku Bajo adalah pelaku pemboman ikan dan perusak terumbu karang, tidak bisa dipungkiri oleh Isnaini. Ia sendiri mengakui bahwa itu sudah menjadi rahasia umum. Masyarakat Bajo katanya, sebagian besar berpikir praktis dan instan. Kearifan orang Bajo sudah hilang. Dan bom ikan adalah jalan cepat agar dapur selalu mengepul.

“Anehnya pelaku pembomam di Kabalutan tidak pernah kapok. Padahal sudah ada beberapa yang meninggal karena bom ikan. Tapi juga tidak ada alternatif lain bagi mereka.”

Pemukiman penduduk di gugusan Kepulauan Togian | Foto: Christopel Paino
info gambar

Isnaini lalu mengajak saya bertemu kepala Desa Kabalutan dan kepala BPD (Badan Permusyawaratan Desa), serta perangkat desa lainnya. Sayang, mereka tak berada di kampung, karena mengikuti kegiatan di ibu kota kabupaten, di Ampana. Begitu pun dengan warga yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Lalu saya meminta lagi untuk bertemu dengan para pelaku pengeboman ikan di Bajo.

“Mereka pasti tidak mau ketemu. Sebab dianggap akan mengancam aktivitas mereka. Apalagi petugas dari polair (Polisi Perairan) beberapa kali sering datang ke sini.”

“Biasa juga ada patroli di laut saat pengeboman. Tapi pelakunya jago bersembunyi di pulau-pulai kecil. Dan mesin perahu mereka tak kalah besar kapasitasnya dengan polair,” ungkap Isnaini lagi.

Saya lalu diajak Isnaini berkeliling kampung Bajo. Jika di rumah terapung penghubungnya adalah jembatan papan, di darat terlihat seperti gang-gang sempit. Jalannya hanya 1 – 2 meter. Dari anak-anak bermain hingga ibu-ibu yang duduk-duduk sembari bercerita, adalah pemandangan keseharian di Kabalutan.

Dalam sejarah yang ditulis tetua di Desa Benteng, Kecamatan Togean, orang-orang Bajo pertama kali datang ke kepulauan ini 1835, ketika itu Kerajaan Togian dipimpin oleh Raja Amintasaria. Raja lalu memberikan syarat kepada orang-orang Bajo jika ingin menjadi penduduk di kerjaan Togean.

Syarat-syarat itu adalah; mentaati segala perintah Raja Togian beserta hukum-hukum adat yang berlaku, bersedia membantu berperang bila ada serangan-serangan dari pihak luar ke kerajaan, bersedia menjaga keamanan kerjaan bersama rakyat Togian, dan mengawasi atau menjaga wilayah perairan bersama prajurit lain.

“Raja saat itu memberi kesempatan melakukan pencaharian di laut, dan raja memberikan mereka tempat bermukim di pulau-pulau kecil,” kata Rusli L Andi Ahmad, tetua adat di Desa Benteng.

Desa Pulau Papan dengan jembatan yang menjadi penghubung ke Pulau Malenge | Foto: Christopel Paino
info gambar

Taman anggrek

Kepulauan Togian dikenal sebagai surganya keindahan bawah laut. Begitu pula dengan satwanya yang endemik. Namun tidak banyak yang tahu kalau di daerah ini juga terdapat taman anggrek yang indah. Lokasinya pun sangat unik, di hutan mangrove.

Taman ini ada di Desa Bangkagi, Kecamatan Togean. Menuju taman anggrek, umumnya para pelancong berlabuh di tambatan perahu Desa Benteng. Setelah itu, hanya diperlukan enam menit saja ke Desa Bangkagi yang jalannya relatif mulus, meski konturnya tanah berbatu.

Di taman anggrek ini, ada jembatan sepanjang 371 meter yang dibuat sejak 2014. Jembatan kayu yang dicat warna kuning ini menjadi penghubung antara pepohonan mangrove yang tertanam tunas anggrek.

Siangka Bunahi, adalah salah seorang warga yang membangun jembatan tersebut. Ia mantan kepala desa yang mengajak warga merawat anggrek dengan bantuan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Tojo Una-una. Sebelumnya, tanpa jembatan tersebut tanaman anggrek tumbuh liar di batang mangrove.

“Yang kami tanam atas bantuan dinas itu sebanyak 5.000-an anggrek. Di luar itu sebanyak 1.000-an lebih tumbuh liar,” katanya.

Luas tanaman ini tujuh hektare. Karena di hutan mangrove, kondisinya berair. Menurut Siangka, jika air pasang, ada beberapa ekor buaya yang tampak. Awalnya buaya ini dianggap sebagai ancaman oleh warga. Namun, sebagian mulai sadar agar tidak membunuh buaya tersebut, dan justru sebaliknya dibiarkan hidup.

“Sudah banyak wisatawan yang datang ke taman anggrek ini. Sayangnya, belum ada yang mengatur retribusi sebagai peningkatan ekonomi masyarakat sekitar atau pemerintah desa,” katanya.

Anggrek di Desa Bangkagi Kecamatan Togean, Kepulauan Togian. Anggrek ini hidup di hutan mangrove | Foto: Christopel Paino
info gambar

Pulau Malenge

Salah satu pulau yang terkenal di Kepulauan Togian adalah pulau Malenge. Namun tak banyak yang tahu kalau pulau ini sering disebut oleh warga sekitar sebagai pulau monyet. Sebutan pulau monyet karena di hutan tersebut banyak monyet. Spesies monyet di Malenge ini sangat berbeda dengan yang ada di daratan Sulawesi pada umumnya, yaitu macaca togeanus atau monyet togian.

“Lihat sana, monyet bergelantungan di pohon,” kata Akbar Labata, salah seorang warga.

Sore hari itu, monyet yang berjumlah sekitar delapan ekor terlihat dari rumah penduduk di pesisir. Topografi Malenge berbukit dengan pepohonan tinggi menjulang. Sejumlah warga mengaku kalau monyet itu sering turun ke kampung dan mengambil hasil kebun.

Menurut Akbar yang bekerja di penginapan Lestari Cottage, kawasan hutan Malenge sebagian sudah tidak bagus karena ada perambahan yang dilakukan warga. Pohon-pohon ditebang untuk keperluan pembuatan rumah, perluasan ladang, dan ada juga untuk pembuatan perahu.

Selain monyet, di sisi lain pulau ini ada burung rangkong. Burung itu sering terbang berpasangan, hinggap di pepohonan besar. Tidak jauh dari situ, terdapat pulau kecil yang ada pemukimannya. Pulau itu adalah Desa Pulau Papan. Disebut pulau papan karena jembatan yang terbuat dari papan sekitar satu kilometer lebih menjadi penghubung pemukiman warga dengan ujung Malenge.

Desa Pulau Papan dengan jembatan yang menjadi penghubung ke Pulau Malenge | Foto: Christopel Paino
info gambar

Rumah penduduk di Desa Pulau Papan ini berbentuk panggung persis seperti Suku Bajo. Namun sebagian besar penghuni kampung ini berasal dari Suku Togian dan mayoritas beragama Islam. Di tengah kampung, terdapat bukit kecil yang bisa didaki dengan mudah. Pemandangan akan terlihat indah dari atasnya. Hal ini menjadi salah satu alasan banyak turis mancanegara mendatangi Desa Pulau Papan.

Di Pulau Malenge juga terdapat goa kelelawar. Akbar lalu mengajak saya melihat goa tersebut. Jaraknya sekitar satu jam jalan kaki masuk ke hutan. Beberapa titik jalannya ada yang mendaki dan menurun. Sisa-sisa hujan membuat jalan agak sulit dilewati. Namun, semua itu terbayarkan ketika goa kelelawar yang ditunjukkan Akbar itu tampak jelas di depan mata.

“Goa kelelawar ini juga menjadi daya tarik turis mancanegara. Puncaknya pada Juli-Agustus. Bule ramai berlibur di Malenge, dan sering keluar masuk hutan melihat goa kelelawar ini,” katanya.

Meski Kepulauan Togian diberkahi keindahan hutan dan lautan, tetap saja dihadapkan pada ancaman nyata. Jika di hutan terjadi perambahan, di lautan sering terdengar bunyi ledakan para nelayan yang sering mencari ikan dengan cara yang cepat, tanpa memikirkan daya rusaknya. Bahkan, terumbu karang yang berada di dekat Malenge kini banyak mati.

“Saya sering mendengar ledakan bom ikan. Padahal sudah ada patroli dari kepolisian perairan,” urai Akbar.

Peta Kepulauan Togian | Sumber: Togean.net
info gambar


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini