Siapa Sangka Bunga Indah nan Cantik Ini Ternyata Bumbu Penyedap?

Siapa Sangka Bunga Indah nan Cantik Ini Ternyata Bumbu Penyedap?
info gambar utama

Masih ingat alasan Belanda pertama kali memasuki wilayah Indonesia? Karena rempah-rempah yang ada di Indonesia, khususnya pala. Namun, tidak salah memang bahwa Indonesia sangatlah kaya akan rempah-rempah.

Salah satu bumbu masak yang sudah ada di Indonesia sejak lama namun baru-baru ini booming di kalangan koki dunia. Bumbu masak tersebut ialah bunga kecombrang atau honje. Bumbu ini dilirik karena rasa dan aromanya yang unik.

Kecombrang atau tumbuhan bernama latin Etlingeraelatioriniberbentukbungayangmeskipuncantiknamunbanyakdimanfaatkansebagaibumbumasak di Asia. Selain Indonesia, kecombrang juga banyak dipakai di Malaysia dan Thailand.

Bunga ini dikenal dengan sebutan berbeda di wilayah yang berbeda di Indonesia. Di Medan misalnya, bunga ini dikenal dengan nama kincung, lain lagi di Minangkabau yang disebut sebagai sambuang atau rias, dan di Bali sebagai kecicang, sementara di Sunda disebut dengan honje.

Bunga Kecombrang | Sumber: Istimewa
info gambar

Tumbuhan ini memiliki bentuk seperti pohon pisang-pisangan dengan bentuk daun memanjang. Batangnya yang kokoh bisa tumbuh mencapai 5 meter.

Biasanya bagian bunga yang digunakan ialah kelopak bunga yang masih menutup dan berwarna merah muda. Adapun bentuk bunga memanjang dengan ukuran cukup besar.

Jika dicium, bunga ini memiliki aroma segar dan rasa yang harum khas bunga ini yang membuatnya banyak dijadikan sebagai bumbu penyedap. Rasanya asam mirip jeruk lemon dan pedas jahe dengan aroma harum serai. Karenanya kecombrang disebut 'ginger torch' dan kini menjadi primadona bumbu para koki internasional.

Kulupan dengan bunga kecombrang | Sumber: Istimewa
info gambar

Beda penamaan, beda pula penggunaan. Di Jawa Barat, honje biasanya dijadikan lalapan atau direbus untuk disantap bersama sambal, di Jawa Tengah kecombrang diolah sebagai campuran urap atau pecel. Di Banyumas, seringkali kecombrang ditemukan sebagai pelengkap pecel, sementara di Pekalongan urap terdiri dari nangka muda dengan campuran kecombrang iris.

Di Pulau Dewata, bunga dan batang mudanya diiris kasar, kecincang dan batangnya yang disebut bongkot biasanya dijadikan campuran sambal matah.

Penyebaran kecombrang ternyata sangat luas, masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara menggunakan kecombrang sebagai bahan baku membuat sayur asam khas Karo. Bunga harum ini juga biasa dijadikan penghilang bau amis saat memasak olahan ikan.

Di Sumatra Utara, kecombrang populer dengan sebutan asam cekala. Bunga ini juga dijadikan campuran untuk memasak arsik ikan mas khas Batak.

Sedangkan Sulawesi Selatan, bunga ini populer disebut patikala. Hidangan yang biasa dimasak dengan bunga ini adalah pallu mara yang berbahan baku ikan. Ada juga urap khas Luwu bernama kapurung yang selalu mencampur irisan bunga kecombrang.

Tak hanya bermanfaat bunganya saja, tunas mudanya pun juga bermanfaat sebagai obat pereda masuk angin dan penurun panas alami. Dengan cara penggunaan yang mudah cukup dibakar kemudian dikonsumsi.

Bunga ini juga dengan mudah ditemui di pasar tradisional maupun di supermarket. Bunga banyak dijual dalam bentuk kuncup dan dijual secara satuan.

Hampir semua bagian tanaman ini bisa dimanfaatkan dalam masakan, termasuk bagian buahnya. Buah kecombrang yang dikenal sebagai asam patikala ini berbentuk berjejalan dalam bongkol cukup besar, diameternya bisa sampai 20 centimeter.

Setiap butir buah kecombrang memiliki bentuk bulat kecil dengan rambut halus dipermukaannya. Saat sudah matang, buah ini berwarna kemerahan hingga coklat. Rasa asam patikala ini asam segar kecut.

Mirip seperti bunga dan batang mudanya, bagian buah kecombrang juga digunakan sebagai campuran masakan. Saking populernya, buah kecombrang ini sekarang banyak dijual secara online dengan harga beragam mulai Rp 35 ribu hingga Rp 61 ribu dengan ukuran 500 gram sampai 1 kilogram.

Sumber: Detik

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini