Pertama Di Dunia, Pembudidaya Kini Dilindungi Dari Bencana dengan Asuransi

Pertama Di Dunia, Pembudidaya Kini Dilindungi Dari Bencana dengan Asuransi
info gambar utama
  • Pemerintah mulai memberikan asuransi kesehatan dan jiwa kepada para pembudidaya ikan di seluruh untuk melindungi dari kerugian terutama pasca bencana alam.
  • Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Kecil (APPIK) itu kerja sama KKP dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) diklaim jadi program perlindungan nelayan pertama di dunia.
  • Pada 2017, alokasi anggaran APPIK Rp1,485 miliar dengan 2.004 penerima asuransi dan pada 2018 naik menjadi Rp2,987 miliar, dengan 6.914 nelayan telah mendapatkan asuransi dari total 3.740.528 pembudidaya seluruh Indonesia.
  • Hingga November 2018, telah dibayarkan Rp666 juta klaim asuransi dari pembudidaya karena banjir atau terserang penyakit.

***

Menjelang pergantian 2017 ke 2018, Pemerintah Indonesia mulai memberikan perlindungan kepada para pembudidaya ikan di seluruh Indonesia melalui asuransi kesehatan dan jiwa. Perlindungan itu, akan menjadi harapan baru bagi para pembudidaya ikan, terutama saat sedang terjadi bencana alam. Biasanya, saat kondisi tersebut berlangsung, pembudidaya hampir pasti mengalami keterpurukan secara ekonomi.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, bencana alam biasanya menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi pembudidaya ikan. Kerugian tersebut, biasanya disebabkan hancurnya fasilitas budidaya yang mencakup kolam tambak ataupun sarana pendukung lainnya.

“Kerugian yang ditimbulkan biasanya membuat pembudidaya kehilangan modal dan itu tidak bisa menjalankan usaha ke tahap berikutnya,” ungkapnya, di Jakarta, pekan lalu.

Kartu asuransi pembudidaya perikanan dari program Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Kecil (APPIK). Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia
info gambar

Saat kondisi sedang terpuruk, Slamet menyebutkan, para pembudidaya biasanya akan mengajukan kredit pinjaman uang kepada perbankan ataupun lembaga keuangan lain. Namun, karena kondisinya sedang terpuruk, pinjaman yang didapat pun akhirnya banyak yang tidak bisa dikembalikan alias mengalami macet.

Banyaknya pembudidaya yang tidak bisa mengembalikan kredit pinjaman kepada lembaga keuangan, menurut Slamet, membuat kepercayaan dari perbankan dari waktu ke waktu terus menurun. Akibatnya, saat pembudidaya ingin kembali mengembangkan usahanya, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan kredit pinjaman.

“Walaupun, mereka sama sekali belum pernah mengajukan kredit,” jelasnya.

Faktor bencana alam juga, menurut Slamet, ikut memberikan cap buruk pada usaha perikanan budidaya, di mana semua perbankan dan lembaga keuangan memandang bahwa usaha tersebut resikonya sangat tinggi jika sudah terjadi bencana alam dan serangan hama dan penyakit. Resiko itu, akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi pada perikanan budidaya.

“Bahkan, tidak itu saja, ancaman gagal panen hingga menurunkan pendapatan para pembudidaya juga sangat berkaitan,” tuturnya.

Perempuan ini hanya bisa menyaksikan keramba jaring apungnya berisi ribuan ikan membusuk di Danau Toba pada4 Mei 2016. Jutaan ikan ditaksir lebih dari 1.200 ton mati mengapung merugikan puluhan pembudidaya ikan. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
info gambar

Resiko Bencana

Bagi Slamet, resiko seperti itu dari waktu ke waktu semakin meningkat, karena Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana alam dan gempa bumi. Dia mencontohkan, bencana alam dan gelombang tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah dan Selat Sunda, menjadi gambaran bagaimana bencana alam ikut mengendalikan keberlangsungan usaha perikanan budidaya.

Menurut Slamet, bencana alam yang terjadi di dua lokasi berbeda itu, harus bisa menjadi pembelajaran tentang pentingnya asuransi bagi pembudidaya ikan. Hal itu, karena bencana alam berpotensi akan menyebabkan kerugian sarana dan prasarana perikanan budidaya milik para pembudidaya.

“Saat tsunami Selat Sunda misalnya, sebagian usaha perikanan budidaya di sana mengalami kerusakan yang cukup parah. Di antaranya ada kerusakan kolam, tambak, sarana perbenihan, dan kematian ikan massal. Dengan demikian, harus ada penyadartahuan bahwa perikanan budidaya sangat dipengaruhi oleh kondisi alam,” jelasnya.

“Untuk itu, KKP serius mengatasi persoalan tersebut dengan melaksanakan program asuransi perikanan bagi pembudidaya kecil (APPIK). Tujuannya sudah jelas, yaitu untuk mengatasi kerugian usaha budidaya yang diakibatkan oleh bencana alam,” urainya.

Diberikannya asuransi, menurut Slamet, tidak lain karena Pemerintah fokus ingin memberikan perlindungan kepada pembudidaya ikan skala kecil yang menyebar luas di semua provinsi. Dengan adanya perlindungan, mereka bisa segera bangkit setelah bencana alam atau serangan penyakit yang mengakibatkan kegagalan produksi.

Pemilik keramba melihat, jutaan ikannya mati di Danau Maninjau pada September 2016 | Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia
info gambar

APPIK adalah program hasil kerja sama antara KKP dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan menggandeng Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Kerja sama tersebut kemudian melahirkan konsorsium dengan melibatkan perusahaan asuransi seperti PT Jasa Indonesia (Jasindo). Di dunia, program tersebut menjadi yang pertama.

Untuk program APPIK sendiri, menurut Slamet, sudah digulirkan oleh KKP sejak 2017 dan kemudian dilanjutkan pada 2018 dengan jumlah yang lebih besar. Pada 2017, program tersebut mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp1,485 miliar dan pada 2018 naik menjadi Rp2,987 miliar. Selama dua tahun pelaksanaan, pembudidaya yang sudah mendapatkan asuransi mencapai 6.914 orang.

“Jadi, pada 2017 jumlahnya masih 2.004 orang pembudidaya dengan 3.300 hektare luasan lahan budidaya. Kemudian, pada 2018 meningkat menjadi 6.914 orang pembudidaya dengan 10.220 hektare luasan,” jelasnya.

Dengan anggaran yang meningkat, Slamet menambahkan, provinsi dan kabupaten/kota sasaran juga semakin meluas lagi dari 37 kabupaten/kota di 14 provinsi pada 2017, menjadi 59 kabupaten/kota di 22 provinsi pada 2018. Akan tetapi, untuk program tersebut, tidak semua komoditas perikanan budidaya saat ini dimasukkan.

“Tahun 2018 ini, KKP fokuskan untuk komoditas udang, bandeng, nila dan patin, yang sudah mencapai 10.200 hektar,” sebutnya.

Kematian massal ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia
info gambar

Perlindungan Negara

Slamet menambahkan, program asuransi ini merupakan implementasi amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Selain itu, program tersebut juga menjadi implementasi dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Adapun, bentuk bantuan programnya adalah pembayaran premi asuransi perikanan senilai Rp450.000/hektare/tahun dengan manfaat pertanggungan Rp15.000.000/hectare. Bagi calon penerima premi asuransi, KKP menetapkan syarat yakni memiliki kartu pembudidaya ikan (aquacard).

“Sudah tersertifikasi Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) dan merupakan pembudidaya ikan kecil dengan pengelolaan lahan kurang dari lima hektar dengan menggunakan teknologi sederhana,” terangnya.

APPIK sendiri, menurut Slamet, akan melindungi pembudidaya dari bencana alam seperti banjir, tsunami, gempa bumi, longsor hingga erupsi gunung berapi. Hingga November 2018, tercatat klaim senilai Rp666 juta telah dibayarkan kepada pembudidaya. Klaim rata-rata berasal dari pembudidaya lokasi usahanya terkena banjir atau terserang penyakit.

Adapun, potensi komoditas yang diasuransikan pada 2018 menyebar luas di berbagai provinsi di Indonesia. Untuk udang, KKP mencatat sebarannya ada di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Maluku.

“Untuk udang, target produksi pada 2018 mencapai 806.257 ton,” jelasnya.

Kemudian, komoditas berikutnya adalah bandeng yang menyebar di Sulsel, Jabar, Jateng, Sultra, Kalimantan Selatan, Sumsel, Aceh, dan Kalbar dengan target produksi 924.150 ton. Lalu, komoditas ikan patin di Sumsel, Kalteng, Kalsel, Riau, Jambi, Jabar, Lampung, Sumbar, Jatim, dan Kaltim dengan target produksi 604.587 ton.

“Dan komoditas nila di Jabar, Sumsel, Sumbar, Sulut, Sumut, Jateng, Bengkulu, Jatim, Kalsel, dan Jambi dengan target produksi 1.567.488,” tandasnya.

Untuk saat ini, jumlah pembudidaya ikan di seluruh Indonesia jumlahnya mencapai 3.740.528 orang. Potensi dan besarnya jumlah pembudi daya tersebut, bagi Slamet menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan asuransi untuk menuju asuransi mandiri.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, perluasan cakupan APPIK menjadi bentuk penegas kebijakan (affirmative policy) untuk pembudidaya ikan kecil. Dengan demikian, para pembudidaya ikan kecil diharapkan bisa mendorong dirinya sendiri untuk lebih aktif mengembangkan usahanya.

Susi mengatakan, asuransi tak hanya dibutuhkan untuk melindungi stakeholderperikanan, tetapi juga untuk melindungi uang Negara. Untuk itu, semua kontrak atau bisnis, baik yang menggunakan uang pribadi maupun Negara harus mendapat perlindungan melalui asuransi.

“Melindungi uang Negara dan melindungi orang-orang dari kemungkinan force majeure, kemungkinan frauddengan adanya asuransi di sana. Jadi every single contract or business itu semua covered by protection,” ungkapnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia ditulis oleh M Ambari atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini