Ampyang yang Manis Mengingatkan Kita Pada Bhinneka Tunggal Ika

Ampyang yang Manis Mengingatkan Kita Pada Bhinneka Tunggal Ika
info gambar utama

Di Surakarta, perkawinan antara orang Tionghoa-Indonesia dan orang Jawa disebut sebagai perkawinan ampyang.

Martono Hadinoto, yang merupakan tokoh lokal keturunan Tionghoa, mengatakan kata ampyang merujuk pada camilan yang terbuat dari gula merah dan kacang tanah. Gula merah di ampyang dianggap sebagai simbol etnis Jawa sementara kacang tanah melambangkan etnis Tionghoa.

Camilan Ampyang | Sumber: Websta.org
info gambar

“Ampyang memiliki rasa yang manis. Itu sebenarnya adalah inti dari pluralitas. Perbedaan itu normal," kata Martono.

Dia mengatakan pernikahan ampyang menyatukan tidak hanya dua orang tetapi juga dua budaya. Ini adalah contoh nyata dari akulturasi dan asimilasi antara budaya Tionghoa dan Jawa.

Di Surakarta, hubungan harmonis antara orang Jawa dan etnis Tionghoa dapat ditemukan dalam skala yang lebih besar dalam masyarakat, seperti di Sudiroprajan, sebuah kelurahan pecinan.

"Sudiroprajan adalah contoh mini dari pertemuan dua budaya, Jawa dan Tionghoa," kata Martono.

Sejarawan Heri Priyatmoko mengatakan bahwa komunitas etnis Tionghoa telah tinggal di Surakarta sejak kota ini pertama kali didirikan pada tahun 1746. Mereka telah tinggal di Sudiroprajan dari awal dan mempertahankan keharmonisan hubungan dengan masyarakat asli Surakarta dan pendatang baru lainnya, termasuk etnis Arab di Pasar Kliwon.

Grebeg Sudiro di Solo | Sumber: horizon Budaya
info gambar

Selama masa pemerintahan sultan Surakarta Pakubuwono X (1893-1939), etnis Tionghoa dipindahkan ke desa Balong, di belakang Pasar Gede, untuk meramaikan perdagangan di daerah tersebut.

"[Relokasi tersebut] menandai awal dari asimilasi etnis dan budaya yang terjadi secara alami antara masyarakat etnis Jawa dan etnis Tionghoa di Balong," kata Heri.

Dia menjelaskan bahwa relokasi tersebut dilakukan pada awal 1900-an. Ini kemudian menjadi titik awal terjadinya akulturasi di daerah Pecinan lainnya di Sudiroprajan, seperti di Kepanjen, Ketandan, Limolasan, dan Mijen.

Di Sudiroprajan, toleransi dan asimilasi agama antara orang Jawa dan etnis Tionghoa dianggap sebagai norma. Perbedaan etnis, budaya dan agama tidak menghalangi orang untuk berinteraksi satu sama lain.

Etnis Tionghoa Indonesia | Sumber: IDN Times
info gambar

Akibatnya, banyak perkawinan antar-etnis terjadi secara turun-temurun, dan mereka membesarkan keluarga yang multietnis, multikultural, dan beragam agama.

Kebanyakan orang di Balong, Mijen, Limolasan, Kepanjen, dan desa-desa lain di Sudiroprajan akrab dengan pernikahan ampyang.

"Pernikahan ampyang itu normal. Sudah biasa sejak lama,” kata Camat Sudiroprajan, Dalima.

Di Indonesia, perkawinan campuran seperti ini tidak hanya terjadi antara etnis Jawa dengan etnis Tionghoa saja tentunya. Bisa dibayangkan ada berapa banyak suku yang hidup berdampingan di Indonesia ini.

Orangtua saya contohnya, Ibu saya adalah keturunan Jawa dan ayah saya adalah keturunan Banjar. Mau disebut orang Banjar ataupun Jawa saya sih terserah, yang pasti saya adalah orang Indonesia.

Dari pluralitas yang ada di keluarga saya, saya belajar untuk selalu menghargai siapapun tidak peduli apapun latar belakangnya.

Pluralitas sudah menjadi bagian dari identitas negara ini, lantas untuk apa sibuk mencari kekurangan mereka yang berbeda dengan kita dan berbangga diri atas kelebihan yang kita miliki sebagai warga negara Indonesia yang identitasnya adalah keberagaman?

Sebaiknya kita mulai kembali kepada apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa, Bhinneka Tunggal Ika, meskipun beragam pada hakikatnya kita ini satu jua. Satu Indonesia.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini