Purwaceng yang Hanya Hidup di Dieng

Purwaceng yang Hanya Hidup di Dieng
info gambar utama
  • Ada sejumlah kekhasan dataran tinggi Dieng, Jateng, salah satunya tanaman purwaceng (Pimpinella priatjan Molk.), tanamannya seperti rumput yang langka.
  • Purwaceng dianggap “Viagra of Java” diyakini bisa menambah vitalitas dan daya seksual pria, sehingga banyak dijual sebagai minuman maupun dalam bentuk kemasan oleh masyarakat Dieng.
  • Sejumlah penelitian ilmiah membenarkan adanya kandungan afrodisiak dari purwaceng yang dapat merangsang daya seksual.
  • Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto sedang mengembangkan budidaya purwaceng untuk meningkatkan produktivitas dan konservasi tanaman yang semakin langka itu.

Kabut tebal dan hawa dingin merupakan karakteristik dataran tinggi Dieng yang berada di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Desa-desa di wilayah Dieng berketinggian 1.500, bahkan di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, memang eksotik. Ada sejumlah kekhasan yang tidak dipunyai wilayah lainnya. Diantaranya adalah tanaman purwaceng (Pimpinella priatjan Molk.), tanamannya seperti rumput, pendek. Para peneliti menyatakan kalau purwaceng termasuk tumbuhan langka, karena umumnya merupakan tanaman liar. Tetapi kini, ketika mulai diketahui khasiatnya, bahkan disebut sebagai “Viagra of Java” maka sebagian petani di Dieng mulai membudidayakan tanaman itu.

Jangan heran, ketika datang ke Dieng dan mampir di warung-warung sekitar kawasan wisata setempat, maka minuman purwaceng pertama kali yang ditawarkan. Biasaya ada purwaceng murni, ada pula yang telah dicampur dengan kopi atau susu. Rasanya, sama-sama menyegarkan. “Hampir pasti kalau orang atau wisatawan yang datang ke Dieng, mencicipi Purwaceng,”ungkap Saroji (54) petani sekaligus pelaku usaha purwaceng di Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara pada Selasa (5/2/2019).

Kawasan Dieng yang berada di perbatasan antara Banjarnegara-Wonosobo merupakan wilayah endemik tanaman purwaceng | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Tanaman purwaceng, katanya, sebetulnya tidak banyak yang membudidayakan seperti halnya kentang. Namun, tetap ada yang menanam tanaman purwaceng. “Petani di Dieng tidak terlalu banyak yang membudidayakan purwaceng pada areal luas, karena setiap tahun hanya sekali panen. Jadi, mulai dari awal tanam membutuhkan waktu setahun untuk panen. Berbeda misalnya dengan kentang yang dapat memanen tiga kali dalam setahun. Meski hasil purwaceng sebetulnya cukup bagus,” ungkapnya.

Saroji mengatakan kalau hasil dari purwaceng hitungannya adalah berat secara keseluruhan tanaman, mulai dari akar, batang dan daun. Sebab, biasanya untuk membuat bahan minuman, seluruhnya diekstrak. “Dalam setahun, ada 6-8 pohon beratnya 1 kg. Tetapi ada pula 1 kg sebanyak 30 tanaman. Bobot hasil panen tergantung kondisi tanah, subur atau tidak. Untuk harga basah, tanaman purwaceng berkisar antara Rp60 ribu hingga Rp75 ribu/kg. Sedangkan kalau sudah kering, misalnya akarnya, harganya bisa mencapai Rp700 ribu hingga Rp800 ribu/kg,” katanya.

Saroji mengatakan selain menanam, dirinya juga memiliki usaha pembuatan bahan purwaceng siap seduh. “Saya menjual enam bungkus plastik atau saset dengan harga Rp40 ribu, ada purwaceng murni maupun yang telah dicampur susu atau kopi. Kami juga menyediakan akar purwaceng rendaman dalam botolan, seperti ginseng. Kalau itu harganya Rp50 ribu/botol dengan isi satu akar. Kalau dihitung-hitung sebetulnya memang lumayan. Masalahnya adalah tanaman Purwaceng itu baru dapat dipanen satu tahun,” ujarnya.

Sekretaris Kelompok Tani Perkasa, Dieng, Kabul Suwoto mengakui kalau purwaceng yang merupakan tanaman endemik hanya merupakan tanaman sampingan, meski hampir setiap warga di Dieng pasti memilikinya. “Rata-rata, mereka hanya menanam di sela-sela tanaman kentang saja. Tidak terlalu banyak juga. Namun, hampir pasti setiap penduduk di Dieng memiliki tanaman purwaceng. Mereka menanam dengan pot atau di sekitar rumah. Jumlahnya juga tidak banyak. Biasanya memang dipakai untuk persediaan sendiri. Karena tanaman itu membuat hangat tubuh dan stamina,” ungkap Kabul.

Ia mengatakan sebetulnya tanaman Purwaceng merupakan tanaman liar. Kalau di kawasan Dieng, tanaman tersebut paling banyak di Bukit Pangonan. “Dulu sewaktu saya kecil, tanamannya cukup besar. Ukuran akarnya mencapai satu jempok kaki. Dan bagi para petani Dieng, sejak dulu telah mengkonsumsinya. Mereka mengaku kalau minum ekstrak akar purwaceng ternyata menambah stamina dan menyegarkan. Apalagi membuat badan hangat,” ujarnya.

Tanaman Purwaceng yang dibudidayakan warga Dieng, Jateng. Purwaceng diyakini dapat menambah vitalitas pria | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Teknologi Budidaya

Ahli teknologi pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Eni Sumarni yang telah melakukan transfer teknologi dan riset tanaman Purwaceng di Dieng sejak 2017 lalu, menjelaskan kalau pihaknya datang untuk melakukan transfer teknologi budidaya purwaceng melalui budidaya terkontrol di dalam greenhouse dan pengelolaan nutrisi. “Sebab, selama ini banyak kendala yang dihadapi petani. Misalnya, ketika terjadi suhu ekstrem dan muncul ‘embun upas’ atau embun beku, tanaman purwaceng yang terkena di lahan terbuka dapat mati semua. Belum lagi soal serangan hama dan nutrisi tanaman. Karena itulah, kami mengenalkan teknologi greenhouse dibarengi dengan budidaya secara hidroponik yaitu pemberian nutrisi dengan teknik irigasi drip dan nutrient film technique (NFT),”kata Eni.

Selain Eni, pengabdian masyarakat di Dieng itu dilaksanakan bersama Noor Farid ahli pemuliaan dan bioteknologi serta Prof Loekas Soesanto yang merupakan pakar hama dan penyakit tumbuhan.

Eni mengatakan dengan teknik irigasi drip tersebut, ternyata hasilnya mengalami peningkatan, lebih baik jika dibandingkan dengan di luar greenhouse. “Dengan teknik irigasi drip itu, pada usia 70 hari, tanaman purwaceng memiliki berat hingga 500 gram. Padahal di luar greenhouse, baru mencapai 100 gram. Jadi, biomassa purwaceng di dalam greenhouse jauh lebih banyak dan berat kalau dibandingkan di luar. Hal itu dapat terjadi karena adanya pengelolaan nutrisi yang terukur. Kami berusaha supaya hasil produksinya 3-4 kali lipatnya. Penanaman purwaceng di dalam greenhouse secara irigasi drip juga telah mendapatkan sertifikat uji bebas pestisida dari Sucofindo tahun 2017,”ujar Eni.

Sampai sekarang ada dua greenhouse yang merupakan bagian transfer teknologi dan sebagai bentuk pengabdian Unsoed melalui program Hi Link dari Kementerian Ristekdikti, dan satu greenhouse dari Pemkab Banjarnegara. Satu greenhouse sengaja digunakan juga untuk membuat benih. Sebab, benih dapat tumbuh dari biji-biji purwaceng yang jatuh.

Peneliti Teknologi Pertanian Unsoed Eni Sumarni memperlihatkan akar Purwaceng yang telah dikeringkan | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

“Kendala yang kami hadapi adalah ketekunan petani dalam mempertahankan sustainabilitas alih tekonologi yang diberikan. Sebab tidak gampang menumbuhkan kesadaran bagi petani untuk disiplin dalam budidaya dengan teknologi semacam itu, mengingat Purwaceng adalah bukan tanaman komoditas pangan yang dapat dipanen dalam waktu tiga bulanan seperti kentang yang banyak dibudidayakan petani setempat sebagai mata pencaharian. Persoalan lainnya adalah pembuatan greenhouse yang tentu dipandang tidak murah. Namun demikian, ke depan seharusnya dapat dilakukan modifikasi-modifikasi dalam rangka mengurangi biaya produksi sehingga akan lebih murah biayanya,”ujarnya.

Doktor bidang teknologi pertanian itu juga menyatakan kalau budidaya dengan teknologi tersebut sebagai bagian dari konservasi. Sebab, populasi Purwaceng semakin langka karena mengalami pemanenan tanpa diikuti dengan pembaharuan kembali.

Eni menambahkan jika kegiatan pengabdian masyarakat di Dieng berlanjut, maka pada tahun ketiga akan fokus pada pengembangan teknologi pengolahan dan diversifikasi produk dari Purwaceng. Sementara ini, Purwaceng dapat diproduksi tidak saja untuk bahan minuman semata, tetapi daun-daunnya dapat diproduk menjadi keripik. “Bahkan, ada produk yang memadukan antara Purwaceng dengan Sidat. Dengan perpaduan itu, maka khasiatnya diperkirakan akan lebih baik untuk stamina dan vitalitas pria. Produk ini perlu mendapatkan perhatian, tentang bagaimana sertifikasi halalnya dan bagaimana komposisinya. Selain itu juga soal kemasan serta varian rasa untuk meningkatkan nilai jual,”ujarnya.

Purwaceng telah terkenal sebagai tanaman “Viagra of Java” yang hanya dapat tumbuh optimal di pegunungan. Dia mengatakan purwaceng mampu hidup pada ketinggian 1.800-3.300 mdpl, tetapi paling baik tumbuhnya pada ketinggian 2.000-3.000 mdpl. Suhu pada kisaran 15-20 derajat celcius dengan kelembaban antara 60-70% serta pH tanah kisaran 5,7 hingga 6. “Dari beberapa riset yang ada, tanaman purwaceng bisa tumbuh di luar Dieng seperti Gunung Putri, Bogor, tetapi hasilnya masih tetap kalah dengan yang ada di Dieng,”jelas Eni.

Tanaman Purwaceng ditanam di polibag. Hampir setiap warga di Dieng memiliki tanaman Purwaceng, namun hanya sedikit yang membudidayakan | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Ditulis oleh L Darmawan dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini