Ada Senyum Petani Lokal Dibalik Agrowisata Cau Chocolate Bali

Ada Senyum Petani Lokal Dibalik Agrowisata Cau Chocolate Bali
info gambar utama

Di Bali, sebuah pulau di mana pariwisata telah menjadi kekuatan ekonomi dan sosiologis yang dominan selama beberapa dekade, pertanian semakin menjadi sektor yang terlupakan.

Akibatnya, petani lokal harus menghadapi semakin banyak tantangan untuk tetap mampu bersaing.

Peneliti Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) I Wayan Alit Artha Wiguna telah mengerjakan beberapa inisiatif untuk membantu para petani tersebut.

Alit, yang telah bergabung dengan BPTP selama lebih dari 30 tahun, memperkenalkan sistem metode intensifikasi padi (SRI - System of Rice Intensification) kepada para petani di Wongaya Betan di Tabanan, Bali, untuk meningkatkan produktivitas.

Kebun kakao Cau Chocolate | Sumber: Cau Chocolate
Kebun kakao Cau Chocolate | Sumber: Cau Chocolate

Bersama dengan Stephen Lansing, seorang antropolog dan pakar terkemuka tentang subak, Alit menyusun teks akademik yang memainkan peran penting dalam dimasukkannya subak dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2012.

Inklusi mendorong pemerintah daerah untuk menetapkan beberapa subak sebagai situs konservasi, melarang konversi sawah di daerah itu menjadi bangunan atau fasilitas pariwisata.

Empat tahun lalu Alit memutuskan untuk membuat lompatan besar yang akan memungkinkannya untuk membuat lebih banyak senyum di wajah para petani lokal. Dia menginvestasikan Rp 600 juta untuk mendirikan pabrik cokelat di tempat kelahirannya, desa Cau di Tabanan, sekitar 35 kilometer dari barat Denpasar.

“Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia, namun fakta tersebut tidak diiringidengan senyum di antara petani kakao kita. Bukankah mereka pantas bahagia?" Katanya.

Varian es krim rasa coklat di Cau Chocolates | Sumber: TripAdvisor
info gambar

"Pasti ada sesuatu yang salah dengan cara kita memproses biji kakao kita," tambahnya, menunjukkan bagaimana negara-negara Eropa, seperti Swiss dan Belgia, memiliki kehadiran yang menjulang tinggi dalam industri cokelat, terlepas dari kenyataan bahwa semua perkebunan kakao utama berlokasi di luar benuanya.

Lalu Alit mengabdikan dirinya untuk belajar tentang kakao dan proses pascapanennya, terutama bagaimana mengubah biji kakao menjadi cokelat batangan yang lezat.

“Kami membangun pabrik ini di desa karena visi kami melibatkan penciptaan platform ekonomi bagi desa untuk berkembang," kata direktur Cau Chocolates Surya Prestya Wiguna.

Dia mengklaim bahwa Cau Chocolates adalah satu-satunya perusahaan cokelat di pulau Bali yang sepenuhnya dimiliki oleh orang Bali.

"Ini bukan tentang provinsialisme tetapi ini tentang memberi tahu dunia bahwa orang Bali dapat membuat produk cokelat berkualitas tinggi.”

Pabrik tersebut memfermentasi biji kakao langsung dari petani di Tabanan dan Jembrana. Sebagai suatu kebijakan, ia menolak untuk membeli dari tengkulak.

"Kami membeli biji kakao fermentasi hanya dalam upaya untuk mendidik petani tentang cara memproses panen mereka sehingga mereka dapat menetapkan harga yang lebih tinggi," kata Surya, menambahkan bahwa fermentasi juga akan meningkatkan rasa.

Cau Chocolates juga menawarkan harga yang lebih baik bagi petani. September lalu, ketika harga nasional adalah Rp 30.000 per kilogram, ia membeli biji fermentasi dari petani seharga Rp 50.000 per kilogram untuk biji organik dan Rp 40.000 untuk non-organik.

Pada tahun pertama, pabriknya memproses hingga 40 kilogram biji per hari. Jumlah tersebut telah melonjak hingga 700 kilogram.

Staff di Cau Chocolates Bali | Sumber: TripAdvisor
info gambar

Pabriknya menemukan partner setia di Kerta Semaya Samaniya Cooperative (KSS) dalam mengatasi meningkatnya permintaan akan biji fermentasi. KSS adalah koperasi dari sekitar 600 petani di 38 subak dan pada tahun 2017, ia menghasilkan 55 ton biji fermentasi.

“Saat ini permintaan jauh lebih tinggi daripada yang dapat kami suplai. Cau Chocolate adalah pembeli terbesar kami di Bali,” kata ketua KSS I Ketut Wiadnyana.

KSS juga mengekspor biji fermentasi ke Prancis dan Jepang.

Anggota KSS Ni Ketut Sri Astuti mengatakan fermentasi biji kakao membutuhkan proses selama enam hari.

"Ini memang memakan waktu tetapi harga jualnya jauh lebih mahal."

Warga asli desa Nusa Sari di Melaya, Jembrana, ia mengatakan bahwa kakao telah menjadi sumber utama keuangan keluarganya.

Cau Chocolates memproses biji fermentasi menjadi butiran, bubuk, mentega, dan batangan. Produk mereka tersedia di Bandara Internasional Ngurah Rai, toko-toko di Kuta, Denpasar, dan Ubud serta toko-toko tertentu di Singapura dan Australia.

Pengunjung Cau Chocolates Bali | Sumber: Bali
info gambar

Pabrik ini membuka pintunya bagi para pengunjung yang ingin menyaksikan langsung transformasi ajaib dari biji fermentasi menjadi berbagai cokelat yang lezat.

"Ini adalah pengalaman yang luar biasa menyaksikan seluruh proses dan mempelajari dukungan kuat perusahaan kepada petani lokal," kata seorang pengunjung asal Jerman, Evelyn Knopwerth.


Sumber: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini