Para Diplomat Bangsa Tanpa Digaji

Para Diplomat Bangsa Tanpa Digaji
info gambar utama
Saya sering kesal kalau ke luar negeri mendengar lawan bicara kita mengatakan bahwa dia tidak tahu di mana Indonesia itu, padahal negeri kita ini begitu besar yang kalau di bentangkan di benua Eropa maka negeri ini panjangnya seperti dari London di Inggris sampai Rusia.
Waktu sekolah di University of London pun, seorang profesor di kelas bertanya dari mana saya, “Indonesia, Sir,” saya jawab. Eh malah bertanya lagi “Where is that?, is that Sumatra?”, saya “mangkel” (jengkel) karena bagi saya tidak mungkin seorang profesor tidak tahu Indonesia. Dalam hati yang dongkol saya bertanya “apa profesor ini guyon (bercanda) atau serius”.

Pada saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1998, seorang jamaah tua dari negara di Timur Tengah bertanya dalam bahasa Arab dari mana saya, ketika saya jawab Indonesia, orang tua ini berteriak “Oh Soekarno, Bali” sambil merangkul saya erat-erat.

Saya lalu merasa (secara subyektif) bahwa kita dengan masyarakat negara-negara mayoritas Islam di Timur Tengah seperti “Cinta Bertepuk Sebelah Tangan” artinya kita menganggap mereka seperti saudara dan tentu kenal Indonesia, nyatanya tidak, tahu nya hanya Bali dan presiden pertama kita, Bung Karno.

Yang lebih menjengkelkan lagi pengalaman saya dengan teman kuliah di Inggris seorang anak muda dari Taiwan yang menanyakan apakah “Head Hunters” atau pemburu kepala manusia itu masih ada di Indonesia; dalam persepsinya Indonesia itu hanya seperti hutan belukar di mana orang-orangnya suka memburu kepala manusia seperti cerita komik masa lalu.

Bisa jadi pengalaman saya ini sangat personal dan subyektif, karena pengalaman saya itu dulu, bukan zaman now, tapi memang pada kenyataannya sampai sekarang pun ibaratnya dari 1.000 orang di Eropa, hanya satu yang tahu Indonesia.

Itu mungkin sama dengan pengalaman saya waktu mengikuti pertemuan pemuda di Tokyo tahun 1985, ketika saya di barisan depan delegasi Indonesia dan pas berdampingan dengan delegasi negeri “Palau”, saya bertanya dalam hati “Palau?, dimana ya?.

Tapi pikiran saya memberontak apabila kita di samakan dengan orang asing yang tidak tahu Indonesia seperti hal nya saya tidak tahu Palau; karena ……ah Palau kan negeri pulau kecil ditengah-tengah samudra luas; sementara negeri kita itu “buuuueeeessaar” – kata orang Surabaya kalau menyebut sesuatu sangat besar.

Oleh karena itu saya menyadari ketika pernah presiden Jokowi menginstruksikan diplomat Indonesia itu harus menjadi marketer yang andal tidak hanya pandai mencari market di luar negeri untuk produk-produk Indonesia, tapi juga menjelaskan di mana dan bagaimana Indonesia itu. Namun nampaknya itu tidak cukup, karena yang harus menjadi marketer itu tidak hanya diplomat, tapi semua kita ini.

Misalkan saja para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri harus tidak henti-hentinya menjelaskan tentang Indonesia. Saya ketika pada bulan Oktober-November 2016 di beberapa kota di Amerika Serikat bulan seperti di Los Angeles, California, Beverly Hills, Las Vegas, New York dan Washington DC setiap kali saya naik taxi Uber, pengemudinya yang keturunan berbagai bangsa menanyakan dari mana saya lalu saya jawab Indonesia, mereka mengatakan “I heard that”.

Lalu saya menjelaskan berkali-kali setiap ada kesempatan – seperti pita kaset yang diputar terus menerus sampai rusak menjelaskan jumlah pulau-pulau kita yang 13 ribu lebih, jumlah suku kita yang ratusan, jumlah suku bahasa yang “buaaanyyaaak” (jujur saya menghapalkan dari infografik yang selalu ditayangkan teman-teman Good News From Indonesia) mereka terkejut “Wow!”.

Apalagi ketika saya jelaskan (dengan wajah serius) bahwa ada kontribusi bahasa Indonesia kepada bahasa Inggris Amerika yaitu kata “Boogeyman” – yang sering dipakai para orang tua AS menakut-nakuti anaknya agar tidur adalah berasal dari kata Bugis, atau pelaut Bugis, mereka tambah “Wow” lagi.

Karena itu, bagi siapapun yang ke luar negeri cobalah membawa info tentang Indonesia misalnya baju batik, pin bendera merah putih, wayang golek, dsb. Tapi jangan lupa juga membawa postcard, atau buku, atau majalah, atau WA dll yang ada foto-foto gedung-gedung modern di Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar dsb tidak hanya foto-foto tentang sawah atau gunung saja agar tidak dikira Indonesia itu hutan saja yang tidak ada gedung tinggi dan listriknya.

Ya segala cara harus di tempuh yang penting Indonesia dikenal; misalkan ketika saya mengikuti pertemuan staf lokal senior Kedubes AS di seluruh dunia di pusat pendidikan diplomat AS di Washington, tiba-tiba panitia mengumumkan besok ada hari Internasional di mana para partisipan pertemuan harus menampilkan apa-apa tentang negaranya.

Lha saya tidak ada persiapan, lalu dengan apa adanya- dua baju batik saya setrika saya gantung dengan hanger, buku tentang Surabaya dan Malang saya taruh di meja – voila! Jadilah tempat pameran mini. Lalu bak ahli batik saya jelaskan tentang batik, filosofi batik, arti warna di batik, asal daerah batik dsb. Padahal jujur saya tidak tahu menahu tentang batik.

Menjelaskan Indonesia kepada orang-orang di luar negeri tentu harus dengan ideologi kebangsaan yang tinggi, tentu tanpa menutup-nutupi hal-hal yang masing menjadi tantangan Indonesia misalnya soal korupsi, soal money politic di pilkada, soal kebersihan dsb, karena zaman sudah berubah, dengan demikian tidak ada hal yang harus ditutupi.

Toh mereka juga sudah baca dari berbagai sumber dengan mudah, apalagi zaman IT seperti sekarang ini. Akan tetapi penjelasan dengan rasional itu, ya menjelaskan hal-hal yang bersifat negatif itu bukan menganggapnya sebagai suatu masalah, namun sebagai sebuah tantangan yang sedang gencar-gencarnya di carikan solusinya oleh semua pihak. Dan perlu diingat bahwa Indonesia – is not the only one (tidak sendirian) tentang tantangan-tantangan tersebut.


Penjelasan yang rasional itu termasuk soal kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai Indonesia, soal pembangunan ekonomi, soal masih terpeliharanya budaya lokal dan nasional, masih bersatunya Indonesia karena memiliki bahasa pemersatu, soal kekayaan alam, keanekaragaman hayati, soal munculnya anak-anak muda yang kreatif, soal munculnya “the new consuming class” atau kelompok kaya baru.

Akan sangat naïf, kalau ada orang asing yang berpendapat negatif tentang kita dan cenderung menyudutkan, kita malah mengiyakan dan ikut menjelek-jelekkan kita sendiri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini