Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi

Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi
info gambar utama
  • Sejak dahulu, Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, Jateng terkenal karena komoditas sayuran, terutama kubis atau kol dan cabai
  • Sejak 2011, Petani sayuran Desa Babadan mulai menanam kopi pasca terjadinya bencana longsor yang menewaskan 4 orang pada 2005, karena tanaman sayuran membuat lahan jadi rawan longsor
  • Komoditas kopi ternyata jauh lebih menguntungkan dibandingkan komoditas sayuran. Bahkan kopi merek Java Bisma Desa Babadan berhasil memperoleh penghargaan regional maupun nasional
  • Karena pohon kopi mampu memitigasi bencana longsor, konservasi lingkungan dan menguntungkan petani, Kantor Bank Indonesia meluncurkan program ‘Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani’ di Banjarnegara pada pekan lalu

Sejak dahulu, Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, Jawa Tengah terkenal karena komoditas sayuran, terutama kubis atau kol dan cabai

Desa yang terletak di lereng Pegunungan Bisma di ketinggian antara 1.200-1.300 meter di atas pemukaan laut (mdpl) itu memang cocok untuk budidaya sayuran, sehingga masyarakat setempat hampir seluruhnya berprofesi sebagai petani sayuran.

“Dari 964 keluarga, sebagian besar merupakan petani. Namun, karena tanam sayur, maka daerahnya rawan longsor, terutama mereka yang menanam pada lereng-lereng perbukitan yang curam,”ungkap Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati pada Senin (11/02/2019).

Kades mengatakan pada 2005 di desa setempat pernah terjadi tragedi bencana longsor yang menyebabkan 4 orang meninggal dunia. “Longsor terjadi salah satu faktornya areal setempat tidak ada pohonnya karena telah berganti menjadi areal sayur-sayuran. Erosi juga tinggi, sehingga sedimentasi banyak yang masuk ke Sungai Tulis,” ungkapnya.

Namun sejak 2011, petani mulai berubah menanam kopi ketika ada yang mengenalkannya. Meski pada awalnya warga sangat sulit menerima karena telanjur akrab dengan budidaya sayuran. “Dari perkiraan kami, sudah ada 30% yang beralih menjadi petani kopi. Sebagian lainnya masih menanam campuran antara kopi dengan sayuran. Jumlah petani kopi telah mencapai sekitar 185 orang. Lumayan banyak,” katanya.

Salah satu lokasi areal tanaman sayuran yang rawan terjadinya erosi dan longsor di Banjarnegara, Jateng | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Mengapa mereka beralih kopi?

Salah seorang petani kopi, Sugiman Darsono (41) yang juga Ketua Kelompok Tani Rukun Kinaryo Desa Babadan, mengatakan dirinya mulai menanam kopi sejak 2013. “Salah satu alasanya adalah soal ekonomi. Menanam kopi lebih menguntungkan hasilnya dibandingkan sayuran. Meski pada awalnya saya agak ragu ketika memutuskan menanam kopi. Maka, biasanya pada awalnya petani menanam kopi di sela-sela sayuran,” katanya.

Umumnya, sekarang ini para petani memiliki sekitar 1.000 batang pohon kopi. Tetapi Sugiman mempunyai 1.500 pohon kopi. Rata-rata pohon kopi mampu menghasilkan 4-5 kg ceri kopi atau biji kopi baru petik berwarna merah. Namun ada pohon yang mampu berproduksi hingga 12 kg. Harga ceri kopi berkisar Rp12 ribu/kg untuk jenis arabica Babadan. Kalau sudah jadi greenbean, harganya melonjak hingga berkisar Rp105-150 ribu/kg.

“Saya memutuskan berubah haluan dari sayuran ke kopi, karena ternyata budidaya kopi jauh lebih menguntungkan. Kalau kopi, rata-rata per bulan, memperoleh hasil sekitar Rp2 juta/bulan. Sedangkan budidaya sayuran sangat fluktuatif harganya. Bahkan kerap harganya anjlok saat panen. Pada saat panen sayuran, paling saya memperoleh Rp2 juta, padahal panenan selama setahun maksimal hanya tiga kali,” ungkapnya.

Secara terpisah Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sida Makmur Desa Babadan sekaligus Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata, Turno, membenarkan komoditas kopi lebih menguntungkan dibandingkan sayuran. Ia mengilustrasikan, misalnya sama-sama memperoleh pendapatan Rp50 juta, tetapi kalau sayuran membutuhkan biaya operasional hingga Rp30 juta atau 60%, sedangkan biaya pemeliharaan kopi hanya hanya sekitar Rp10 juta/tahun.

“Saya pernah menghitung, saya mendapatkan harga Rp20 juta dari areal 1 ha sayuran, tetapi ongkos produksi mencapai Rp12 juta. Dengan luasan yang sama, panen dari kopi mampu menghasilkan Rp60-70 juta dengan biaya pemeliharaan Rp15 juta. Nah, dengan perbedaan penghasilan yang cukup nyata, maka banyak petani yang kemudian beralih bertanam kopi,” katanya.

Kopi jenis arabica yang tumbuh baik di Desa Babadan yang merupakan lereng pegunungan Bisma, Banjarnegara, Jateng | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Dia mengungkapkan koperasi menerima hasil panenan dalam bentuk ceri kopi. Namun, ada juga petani yang memproses ceri kopi menjadi greenbean maupun roast bean. Butuh waktu sekitar 15 hari hingga sebulan untuk memproses 7 kg ceri kopi menjadi 1 kg menjadi greenbean. Sedangkan untuk mendapatkan roast beanatau kopi siap saji dari 1 kggreenbean akan mendapatkan 8 ons.

Turno menjelaskan koperasinya mewadahi 6 kelompok tani dengan jumlah anggota sebanyak 198 petani. 90-an orang diantaranya petani kopi dengan 150 ribu pohon pada luas lahan 60 ha dan 40 ha diantaranya siap panen. “Penanaman dimulai sejak 2010 dan panen perdana pada 2014. Tahun 2018, koperasi mampu menghasilkan 5 ton greenbean. Koperasi menerima hasil kopi ceri dari petani dan yang memproses koperasi,”ujarnya.

Turno menjelaskan total produksi greenbean petani Babadan lebih dari 5 ton, karena ada yang langsung menjual ke konsumen. “Kalau koperasi, prosesnya sangat selektif untuk mendapatkan kopi yang benar-benar berkualitas untuk dipasarkan. Apalagi, ketika kami bersama dengan Pemkab Banjarnegara memeriksakan kopi ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (ICCRI), kopi Babadan masuk dalam grade Special T. Artinya taste-nya sangat khas dan tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Aromanya ke arah gula jawa dengan bodi kuat dan karena arabika pasti ada asamnya,” paparnya.

Ia mengatakan koperasi telah memiliki brand nama kopi Babadan dengan Java Bisma. Pasar sudah tahu bagaimana kualitas Java Bisma, sehingga antara produksi dengan permintaan masih belum imbang. “Kami masih kewalahan untuk mencukupi kebutuhan pasar. Tidak hanya datang dari kafe-kafe lokal seperti Purwokerto, Banjarnegara dan Wonosobo saja, melainkan juga dari kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan lainnya. Bahkan, kami masih belum dapat melayani permintaan dari Surabaya,”ungkapnya.

Sugiman Darsono, Ketua Kelompok Tani Rukun KInaryo, Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara memperlihatkan kopi asal desa setempat dengan nama kopi Java Bismo | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Wakil Bupati Banjarnegara Syamsuddin menambahkan ada sejumlah prestasi baik regional maupun nasional yang telah ditorehkan oleh kopi Babadan dengan nama Java Bisma tersebut. Pada 2017, kopi Banjarnegara meraih juara I Festival Kopi Nusantara di Bondowoso, kemudian pada 2018 juara I Uji Cita Rasa Kopi tingkat Jateng. “Bahkan beberapa waktu lalu, Bu Lurah Babadan telah diundang ke Istana Negara dalam acara minum kopi. Tentu saja, Pemkab akan terus mendorong keberadaan kopi. Karena kopi tak sebatas untuk kepentingan ekonomi semata,” katanya.

Sejuta Kopi di Banjarnegara

Syamsudin menambahkan bahwa kopi tidak hanya di Desa Babadan, Kecamatan Pagentan saja, melainkan juga di daerah lainnya. Selain jenis arabica, Banjarnegara juga memproduksi kopi robusta. “Minat masyarakat untuk menanam kopi cukup tinggi. Hingga kini, luasan lahan kopi telah mencapai 2.657 ha. Warga antusias menanam, karena telah terbukti meningkatkan kesejahteraan petani. Di sisi lain, kopi juga mampu sebagai pohon konservasi serta sebagai tanaman yang mampu memitigasi bencana longsor,” jelasnya.

Ia menyambut baik dan berterimakasih dengan program Kantor Bank Indonesia (BI) yang memiliki program ‘Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani’ di Banjarnegara.

Kepala Kantor Perwakilan BI Purwokerto Agus Chusaini mengatakan pihaknya telah melakukan kick off program sejuta pohon kopi pada pekan lalu. “Pohon kopi merupakan komoditas unggulan daerah. Kopi bukan saja dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, juga bisa sebagai pohon konservasi untuk menghindari erosi. Topografi di Banjarnegara yang berada di wilayah perbukitan menjadikan wilayah setempat rawan longsor. Dari data yang ada, 13 dari 20 kecamatan merupakan daerah rawan longsor mulai kategori rendah sampai tinggi,”ungkap Agus.

Areal pohon kopi yang berada di lereng pegunungan di Banjarnegara, Jateng. Selain bernilai ekonomi, tanaman kopi juga sebagai pohon konservasi | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Bahkan, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara menyebutkan selama kurun waktu 7 tahun terakhir, telah terjadi 367 kali peristiwa longsor dengan korban jiwa hingga 113 orang serta kerugian material mencapai miliaran rupiah. “Di wilayah rawan longsor, banyak yang menanaminya dengan sayuran. Padahal, komoditas tersebut diduga menjadi salah satu faktor meningkatkan risiko longsor, karena akarnya tidak mencengkeram kuat ke tanah. Sebab, sayuran memiliki akar serabut. Karena itulah, BI mendorong budidaya pohon kopi, karena tanaman ini bisa untuk konservasi. Kopi memiliki akar yang kuat mencengkeram tanah. Karena akar tunggang yang dimilikinya mampu sampai kedalaman 3 meter dan akar lateral bisa sepanjang 2 meter,” jelasnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Studi Mitigasi Bencana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Endang Hilmi menyatakan bisa saja tanaman kopi menjadi pohon konservasi, apalagi jika dibandingkan dengan sayuran.

“Kopi bisa saja menjadi tanaman konservasi. Namun demikian, sebetulnya perakarannya tidak terlalu kuat. Kalau untuk mitigasi bencana longsor, misalnya, tanaman kopi harus diimbangi dengan pohon keras lainnya, misalnya aren. Pohon aren akan sangat bagus untuk penahan longsor. Nah, saya kira nantinya akan lebih baik juga di antara tanaman kopi ada pohon aren,” tegasnya.


Sumber: Ditulis oleh L Darmawan dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini