Peran Strategis Indonesia Menyelesaikan Masalah Palestina

Peran Strategis Indonesia Menyelesaikan Masalah Palestina
info gambar utama

Pengumuman resmi presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memerintahkan Deplu AS untuk segera memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem mengejutkan dan membuat marah dunia.

Berbagai kecaman dari para pemimpin dunia termasuk dari sekutu AS seperti Inggris, Prancis dan Jerman diarahkan kepada Donald Trump. Presiden AS ini mengaku sebagai orang yang selalu menepati janji-janjinya di kala kampanye dulu yang sudah berjanji akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dia menuduh presiden-presiden AS terdahulu tidak menepati janji-janji politik pada waktu kampanye dan tidak berani mengakui Yerusalem ibu kota Israel.

Memang Kongres Amerika Serikat sejak tahun 1995 telah mencapai kompromi untuk secara resmi mengakui Yerusalem ibu kota Israel. Namun semua presiden AS sebelum Donald Trump tidak melaksanakan keputusan Kongres AS itu karena mengetahui resiko bahaya yang akan ditimbulkan bila melaksanakan keputusan itu. Hanya Donald Trump yang melakukannya.

Memang banyak kalangan di Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa di samping Donald Trump itu memiliki kebijakan rasis, anti imigran, anti Islam dan membatalkan segala perjanjian AS dengan negara-negara lain yang pernah dilakukan presiden Barack Obama, serta kebijakan proteksionisme “America First”, juga banyak mendapat dukungan kalangan warga Amerika Serikat garis keras White Supremacy.

Selain itu Donald Trump juga di kelilingi kalangan yang menganut isolationist, garis keras berdasarkan garis agama dan penasihatnya yang keturunan Yahudi, yaitu menantunya sendiri Jared Kushner yang dekat dengan Israel secara terang-terangan.

Akibatnya, begitu menjadi Presiden, Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang kontroversi dari membangun tembok di perbatasan dengan Meksiko, memprotes WTO, mengecam NAFTA – asosiasi perdagangan bebas AS dengan Kanada dan Mexico, mengecam NATO yang notabene sekutu AS di Eropa sejak lama, melarang warga negara beberapa negara Islam dari Timur Tengah masuk AS, menarik diri dari perjanjian tentang pengurangan emisi global, membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran (yang sudah di tandatangani Obama dengan para sekutunya di Eropa) dan terakhir mengakui resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Keputusan Trump soal Yerusalem ini sangat berbahaya karena menggagalkan berbagai upaya perdamaian antara Isreael dan Palestina, membuat marah negara-negara muslim di dunia, serta masyarakat internasional, memunculkan gerakan-gerakan radikal anti barat di seluruh dunia, dan membuat Israel dapat mengusir total dari tanah airnya sendiri.

Begitu Trump resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, negeri zionis ini langsung membangun ratusan perumahan untuk warga Yahudi dengan mengusir orang-orang Palestina dari tanahnya sendiri. Sebelumnya Israel sudah berkali-kali melakukan settlement untuk warga Yahudi yang didatangkan dari seluruh belahan dunia dengan melawan secara terang-terangan resolusi PBB soal pelarangan settlement atau pembangunan rumah-rumah baru untuk warga Yahudi.

Selain itu pemimpin Palestina, Mahmud Abas, mengkhawatirkan konflik Israel-Palestina akan menjadi isu perang agama. Padahal perjuangan Palestina itu untuk merebut kemerdekaan, baik warga Muslim dan Kristen bersatu menghadapi Israel.

Negara-negara Timur Tengah tidak satu suara

Seluruh dunia terutama negara-negara yang warganya mayoritas Muslim melakukan demonstrasi besar-besaran menentang keputusan Trump, di Indonesia, Malaysia, Australia, di negara-negara Eropa, Mesir, Iran, Turki dsb. Presiden Turki Erdogan bahkan mengeluarkan pernyataan keras dan pedas kepada AS dan Israel.

Sayangnya negara-negara mayoritas Islam di Timur Tengah tidak satu suara. Tokoh-tokoh Islam di Indonesia seperti dari Muhammadiyah menyayangkan sikap tidak solidnya negara-negara Arab atas isu ini. Arab Saudi negara yang dituduh tidak bersikap tegas tetang keputusan Trump ini, malah cenderung lebih dekat dengan Israel.

Jared Kushner menantu Trump sebelum adanya keputusan tentang Yerusalem itu sudah melakukan lobby ke Arab Saudi. Sepertinya Arab yang di gadang-gadang negara-negara Muslim dunia untuk membela Palestina malah lebih tertarik soal kekhawatiran meluasnya pengaruh Iran di Timur Tengah ketimbang membela Palestina.

Arab yang monarki ini memang khawatir dengan pengaruh Iran yang meluas di Iraq (60% warga Irak adalah shiah yang pro Iran), Bahrain – negara tetangga Arab yang 60% shiah yang menentang pemerintahan negaranya yang monarki, di Yaman di mana pemberontak suku Huthi yang juga didukung Iran karena itu Saudi berkali kali melakukan pemboman di Yaman unntuk mengusir Huthi. Selain itu di Lebanon, Syria dan Palestina sendiri.

Arab juga memutuskan hubungan dengan Qatar yang diikuti Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab karena menuduh Qatar melindungi teroris dan dekat dengan Iran. Negara Qatar yang kecil ini juga di blokade oleh Arab di darat laut dan udara.

Suriah yang masih menghadapi konflik perang saudara di dalam negeri, menghadapi ISIS dengan bantuan Rusia dan Iran. Lebanon juga masih menghadapi persoalan konflik politik dalam negeri karena sistim politiknya yang pembagian kekuasaan pemerintahannya berdasarkan sektarian.

Mesir juga menghadapi persoalan politik dalam negeri yang rumit, ancaman teroris, pemerintahan yang dianggap diktator. Libya juga mengalami persoalan pemberontakan di mana-mana usai matinya Muamar Ghadafi.

Karena itu, sering kali kita di Indonesia ini salah melihat konstelasi politik negara-negara Timur Tengah yang kita anggap One Entity, dan dengan mudah kita membuat pendapat bahwa “bila semua negara Arab bersatu maka Israel yang kecil itu akan mudah dihancurkan”.

Ternyata kenyataannya tidak begitu, negara-negara Arab tidak bersatu alias fragmented. Semua itu menyebabkan perjuangan membebaskan Yersusalem – di mana Masjidil Aqsa yang disebut di kitab suci Al-Quran berada- tidak maksimal. Palestina seakan sendiri menghadapi kebrutalan Israel bertahun-tahun.

Peran strategis Indonesia

Indonesia sejak lama mendukung kemerdekaan Palestina, semua presiden Indonesia sampai Presiden Jokowi secara terbuka juga tetap menyuarakan dukungannya terhadap Palestina. Bahkan ketika dulu Gaza digempur Israel dengan bom-bom canggih, kondisi Gaza menjadi porak poranda, banyak korban mati dan luka-luka serta dipenjara Israel, dan ketika dunia Arab masih sibuk urusannya sendiri, masrakat Indonesia mendirikan Rumah Sakit di Gaza

Rumah Sakit Indonesia (RSI) berhasil dibangun di Jalur Gaza. Bangunan itu berdiri di tanah wakaf pemerintah Palestina seluas 16.261 meter persegi. Kapasitas rumah sakit terdiri dari 100 tempat tidur. RS ini baru-baru ini merawat warga Palestina korban penembakan tentara Israel ketika berunjuk rasa menentang keputusan Trump.

Dalam kasus pasca keputusan Donald Trump ini, sebenarnya peran Indonesia bisa dilakukan dengan maksimal, menggalang solidaritas negara-negara Timur Tengah (menyadarkankan mereka akan pentingnya masalah Palestina ini), dan harus bersuara lantang menentang keputusan AS ini.

Selama ini memang Indonesia politik luar negerinya menghindari cara-cara Megaphone Diplomacy atau tidak mau bersuara keras memperjuangkan sikapnya. Pada tanggal 10 Desember 2017, Menlu Indonesia, Retno Marsudi, terbang ke Yordania bertemu dengan Menlu Yordan dan Palestina membahas keputusan Trump tentang Yerusalem ini.

Mengingat pentingnya persoalan Yerusalem ini untuk perdamaian dunia, sudah saatnya Indonesia tidak lagi melakukan diplomasi dengan Silent Mode-Megaphone Diplomacy, karena Indonesia memiliki posisi strategis, dekat dengan semua negara di Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat.

Politik Bebas Aktif Indonesia harus dijalankan dengan seksama terukur dan agresif -bukan dengan cara diam-diam, karena memang sudah dimanatkan di UUD 45. Indonesia tanpa harus bersikap sombong- harus memberi contoh negara-negara Timur Tengah di mana waktu menghadapi penjajah Belanda, Jepang – masyarakat Indonesia tidak tersekat-sekat dengan sektarian dan suku, masyrakat Islam di mana-mana, masyarakat Hindu di Bali, masyarakat Kristen di NTT dan Sulawesi Utara dsb. sama- sama memiliki tujuan sama yaitu Merdeka dari segala bentuk penindasan.

Bung Tomo dalam pidatonya sebelum pecah pertempuran melawan Inggris di Surabaya, dengan lantang menyebut Arek-Arek Suroboyo, Jong Ambon, Jong Sumatra dan suku-suku lainnya bersatu melawan Inggris.

Contoh Indonesia seperti itu perlu dibagikan ke negara-negara Timur Tengah untuk mengesampingkan kepentingan politik wilayahnya masing-masing dengan menghilangkan sekat-sekat sektarian termasuk soal syiah, sunni, alawite, Islam, Kristen, dan sebagainya dalam menghadapi common issue yaitu masalah perdamaian Palestina.

Indonesia perlu menunjukkan dirinya pada dunia, bahwa Indonesia dengan posisinya yang strategis itu memiliki kepedulian terhadap bangsa-bangsa dunia yang tertindas dari segala bentuk penjajahan di muka bumi. Indonesia harus menunjukkan pada dunia bahwa Undang Undang Dasar 45-nya sudah mengamanatkan agar Indonesia ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini