Bali Democracy Forum, Momen Menunjukkan Kearifan Lokal Indonesia

Bali Democracy Forum, Momen Menunjukkan Kearifan Lokal Indonesia
info gambar utama

Secara umum bangsa Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang menjunjung nilai–nilai luhur, menjaga tata krama kesopanan, menghindari konflik agar orang lain tidak tersinggung. Di dunia politik bisa kita lihat kenyataan apabila ada seorang politisi muda yang memang pintar, tapi cenderung menggurui orang lain lebih-lebih senior nya (misalnya ketua partai) maka sulit bagi yang bersangkutan kariernya meningkat, bisa-bisa keluar dari gelanggang politik. Dalam kancah pergaulan antarnegara, Indonesia juga mendasarkan sikapnya dengan karakter bangsa ini.

Banyak nilai-nilai luhur yang ada di berbagai suku di Indonesia mengajarkan bagaimana bersikap santun terhadap orang lain, tidak merasa benar sendiri. Kiai sepuh kharismatik dan ahli Fiqh dari Sarang, Rembang Jawa Tengah KH. Maimoen Zubeir yang terkenal disebut Mbah Moen dalam wejangan atau nasihatnya yang terkenal pada waktu acara haul nya Pondok Pesantren Denanyar 28 Maret 2017, mengatakan tentang bagaimana orang pintar dan benar:



Ora kabeh wong pinter kuwi bener…
(Tidak semua orang pintar itu benar)
Ora kabeh wong bener kuwi pinter…
(Tidak semua orang benar itu pintar)
Akeh wong pinter ning ora bener…
(Banyak orang pintar tapi tidak benar)
Lan akeh wong bener senajan ora pinter…
(Dan banyak orang benar meskipun tidak pintar)
Nanging tinimbang dadi wong pinter ning ora bener…
(Tapi daripada jadi orang pintar namun tidak benar)
Luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter…
(Lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar)
Ana sing luwih prayoga yoiku dadi wong pinter sing tansah tumindak bener
(Ada yang lebih baik lagi yaitu orang pintar yang selalu beperilaku benar)
Minterno wong bener.. kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter…
(Membuat orang benar itu pintar… itu lebih gampang daripada memperbaiki orang pintar)
Mbenerake wong pinter.. kuwi mbutuhke beninge ati, lan jembare dodho..
(Memperbaiki orang pintar.. itu butuh jernihnya hati dan lapang dada)

Filosofi yang maknanya dalam itu adalah local wisdom yang ada di bumi nusantara ini yang mengajari bagaimana menyebarkan atau berbagi pengalaman, pendidikan dan sebagainya kepada orang lain secara profesional (pintar) dengan berperilaku transparan (benar) dan dengan kejujuran dan lapang dada, low profile tidak merasa paling benar sendiri.

We are not lecturing you local wisdom, atau kearifan lokal sepeti itu yang dipakai oleh para pemimpin nasional Indonesia dalam mendirikan Bali Democracy Forum pada tahun 2008 saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden.

Forum yang didirikan ini adalah pertemuan internasional tahunan yang dihadiri banyak Presiden, Perdana Menteri, Raja, Menteri Luar Negeri dari banyak negara untuk membicarakan, mendiskusikan isu-isu tentang promosi demokrasi yang berkelanjutan dunia terutama di kawasan Asia Pasifik. Lembaga pelaksana atau The Implementing Body dari Bali Democracy Forum ini adalah Institute for Peace and Democracy (IPD) yang berkedudukan di Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Sebenarnya Forum ini adalah bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia untuk mewujudkan tata bangun demokrasi atau Democratic Architecture melalu praktek berbagi pengalaman atau sharing experience dan mendiskusikan best practices dan menganut prinsip equality serta saling menghormati.

Dalam forum ini Indonesia dengan memakai filosofi kearifan lokal di atas secara jujur, “Jembare dodho” – lapang dada dan transparan berbagi pengalaman tentang upaya Indonesia menuju demokrasi. Indonesia pun tidak menggurui negara-negara yang ikut dalam forum ini, tidak “lecturing” dengan mengatakan pada negara-negara tersebut “You have to do this, to do that”.

Indonesia dengan jujur juga menjelaskan tantangan yang dihadapi misalnya soal korupsi, soal ketimpangan ekonominya dan sebagainya, tapi juga menjelaskan kenapa transisi demokrasi di Indonesia mulus, kenapa militer tidak melakukan kudeta.

Cara Indonesia yang membuat semua negara partisipan sebagai mitra bukan subordinate atau bawahan, menarik banyak negara-negara berkembang untuk ikut forum ini; karena merasa dihargai untuk menerapkan demokrasi sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Mereka juga merasa dibesarkan hatinya untuk melaksanakan demokrasi secara berkelanjutan; tanpa harus di ajari seperti murid yang tidak tahu apa-apa dan sering di kritik “You are wrong”.

Saya pernah bertemu beberapa kali dengan Direktur Eksekutif IPD, Dr. I Ketut Putra Erawan, baik di Bali maupun di Jakarta. Beliau menjelaskan bahwa banyak negara-negara yang masih mengalami transisi ingin belajar mengetahui lebih lanjut proses demokrasi di Indonesia, tentang bagaimana Indonesia mengelola masyarakat yang plural dsb.

Misalnya setelah revolusi Tahrir Square di Kairo, Mesir, atau Tunisia (di mana Arab Spring bermula) banyak tokoh-tokoh cendekiawannya datang ke Indonesia untuk melihat sendiri kondisi demokrasi di Indonesia, bahkan mereka tertarik belajar Pancasila.

Para politisi Myanmar, Kamboja, Laos, dan Vietnam, juga sering datang ke Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Mereka sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh reformis Indonesia seperti Letjen. TNI Agus Wijoyo, tokoh NU almarhum KH. Hasyim Muzadi, mantan Menlu, Hasan Wirayudha, dan menghadiri
seminar, workshop yang diselenggarakan IPD.

Bahkan dalam pemilihan gubernur Jakarta, IPD berpartisipasi dalam EVP atau Election Visit Program yang diselenggarakan KPU untuk menyaksikan Pemilihan Guberrnur DKI di mana negara-negara lain juga tertarik untuk ikut program ini seperti delegasi dari Korea Selatan, Australia, Nepal, Thailand, Tunisia, Timor Leste, Bangladesh, Filipina dan lain lainnya.

Para delegasi diajak menyaksikan sendiri proses pesta demokrasi dengan mengunjungi TPS-TPS yang tersebar di kota Jakarta dan mendiskusikan isu-isu yang berkembang dalam Pilgub itu.

Apa kita harus terus rendah diri?

Sikap low profile Indonesia dalam berbagi pengalaman demokrasi kepada negara-negara sahabat itu memang tepat, karena sesuai dengan karakter bangsa yang tidak mau menggurui negara lain, dan nampaknya sikap ini menjadi best practice di Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Akan tetapi dari perspektif komunikasi politik, nampaknya sikap low profile ini barangkali perlu di review, karena berbagai terobosan gemilang Indonesia dalam diplomasi di berbagai negara dan di pertemuan-pertemuan internasional tidak diketahui publik secara luas atau “nobody knows”.

Keberhasilan para Menteri Luar Negeri Indonesia dalam misi diplomatiknya seperti di PBB, Timur Tengah dan Myanmar tidak banyak diketahui. Tentu beberapa pemimpin negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Rusia, Australia, Jepang, Cina, dll. tahu dan paham betul terobosan-terobosan gemilang Indonesia ini; dan itu diungkapkan apabila para pemimpin negara-negara tersebut bertemu dengan Presiden Indonesia, atau Menlu, namun hal ini tidak diketahui secara luas publik.

Sebaliknya kedatangan Menlu AS di negara tertentu seperti Myanmar, gaungnya mendunia, diberitakan berhari-hari, karena AS menggunakan strategi high profile.

Keberhasilan Bali Democracy Forum dalam menarik banyak negara untuk belajar melihat proses demokrasi Indonesia dan Pancasila, perlu digaungkan secara luas dan terbuka agar rakyat tahu; dan hal ini juga merupakan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat, dan itu bukan berarti membusungkan dada. Indonesia tetap harus melakukan tugasnya dalam menjaga ketertiban dunia dengan memakai local wisdom yang dimilikinya.

Keberlangsungan Bali Democracy Forum

Mengingat begitu pentingnya peran Bali Demokrasi Forum ini dalam menularkan demokrasi yang positif, promosi hak-hak asasi manusia, penghormatan terhadap negara lain, pengelolaan pluralisme, perekonomian yang pro rakyat dsb kepada negara-negara sahabat; maka sepatutnya Forum ini tidak terlalu di politisasikan dalam artian “ini proyek siapa?”

Sebab, menjadikan forum ini sebagai isu politik akan counter-productive atau tidak ada gunanya, karena forum seperti ini tidak mampu sustain. Pergantian rezim akan membuat tidak berfungsinya forum ini disebabkan suatu rezim yang memiliki kepentingan politik jangka pendek.

Jangan sampai forum seperti ini ibaratnya seperti kurikulum SMP atau SMA yang selalu berganti kalau menterinya ganti, dan Kalau hal ini terjadi maka sia-sia upaya positif Indonesia dalam menggandeng negara-negara lain berdemokrasi tanpa adanya pertumpahan darah.

Semoga Tidak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini