Mengulik Makna Tradisi Jimpitan

Mengulik Makna Tradisi Jimpitan
info gambar utama

Indonesia dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya memiliki banyak tradisi luhur yang dipraktekkan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi yang merupakan kearifan lokal itu, terbukti dapat memberdayakan masyarakat dan dapat saling membantu sesama.

Ketika di belahan dunia lain, kita dapat menyaksikan kemiskinan yang meluas dan mengakibatkan penduduk tidak memiliki apa-apa, sehingga menimbulkan kelaparan dan berujung pada kematian. Tentu kita tidak boleh menafikan bahwa kemiskinan itu juga ada di Indonesia; jumlah warga yang miskin cenderung meningkat dimana-mana. Tapi jarang kita saksikan pemandangan setragis seperti yang terjadi di belahan dunia tadi.

Nenek moyang kita ternyata sudah memiliki pandangan yang visioner, tentang bagaimana mengatur hubungan dan saling membantu sesama dengan kesepakatan bersama membentuk kearifan lokal, yang salah satunya adalah sistem "jimpitan". Sistem kemasyarakatan ini sudah berlangsung lama dan masih banyak daerah-daerah yang mempraktekkan sistem ini. “Jimpit” dalam bahasa Jawa berarti “wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji” atau mengambil barang lembut/kecil dengan menggunakan ujung jari.

Sedangkan “jimpitan” dalam istilah yang lebih konkret berarti “beras kang diklumpukake saka warga kanggo ragad pakumpulan desa” – atau beras yang dikumpulkan warga demi kepentingan perkumpulan desa. Sistem jimpitan ini terbukti andal sepanjang masa membantu warga miskin atau warga dimasa-masa sulit. Biasanya jimpitan dilakukan di waktu ronda malam, dan para petugas ronda mengambil beras (dalam jumlah sedikit) yang dikumpulkan dari setiap rumah tangga yang ditaruh di depan rumah.

Dalam perkembangannya ada juga warga desa yang sepakat untuk mengganti beras dengan uang agar lebih efisien dan hasilnya pun tetap dipakai untuk kepentingan desa terutama untuk membantu warga yang sangat memerlukan. Pada tahun ’60-an, ketika penulis masih kecil, menyaksikan ibu-ibu rumah tangga dengan kesadaran sosial yang tinggi mengumpulkan beras untuk di–jimpit pada malam harinya oleh petugas ronda, dan hasilnya dikumpulkan di balai RT atau RW untuk dibagikan pada warga yang kurang mampu.

Pada masa itu inflasi Indonesia mencapai angka 650%, semua kebutuhan warga di-“ransum” (ration) atau dibagi-bagikan oleh pemerintah. Penulis ikut antre di kampung untuk mendapatkan bagian pemerintah itu. Namun warga kala itu tidak merasa sangat menderita, karena di kampung kami masih ada sistem jimpitan ini. Seringkali kearifan lokal ini dianggap “ndeso” atau ketinggalan zaman dalam perspektif modern, tapi tidak dapat dimungkiri, bahwa ketahanan nasional bangsa Indonesia ini berlangsung karena kearifan lokal seperti sistem jimpitan itu.

Konsep pembangungan ekonomi suatu negara selalu menjadi bahan perdebatan. Umumnya soal apakah pembangunan itu fokusnya ke pertumbuhan atau pemerataan. Pertumbuhan ekonomi yang melejit seringkali memiliki “collateral damage”, misalkan makin tingginya jurang antara yang kaya dan miskin. Dalam dunia yang dianggap modern, seringkali juga kita saksikan meningkatnya sikap individualisme yang cenderung mengabaikan kepentingan warga yang kurang beruntung.

Sikap konsumerisme yang tinggi selalu mengabaikan rasa keadilan sosial bagi warga yang tidak mampu. Sistem kearifan lokal seperti jimpitan di atas, sudah diasah lama sejak nenek moyang kita dulu, dan terbukti dapat memunculkan rasa solidaritas yang tinggi di masyarakat kita. Sistem ini tidak usang walaupun perkembangan ekonomi dan gaya hidup modern yang berubah; dan sebagai bangsa yang besar tentu kita tidak boleh menghilangkan kearifan lokal hanya demi pandangan modern yang sempit.

Indonesia memiliki beragam budaya luhur, dan sistem "jimpitan" yang kita bahas secara singkat ini hanyalah bagian dari mosaik kekayaan budaya bangsa itu. Setiap suku di negeri ini, masing-masing memiliki kearifan lokal yang luhur dan membuat bangsa ini tetap menjadi satu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini