Bagaimana Bali di Hari Nyepi Tahun Ini?

Bagaimana Bali di Hari Nyepi Tahun Ini?
info gambar utama
  • Hari ini, umat Hindu di Bali melakukan ritual Nyepi setelah diawali dengan ritual Melasti. Nyepi dilakukan dengan Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan.
  • Pada ritual Melasti, ratusan ribu orang menuju pantai dan melakukan persembahyangan menghadap sang baruna
  • Selanjutnya dilakukan upacara Tawur Kesanga yang dilakukan dengan sejumlah prosesi, kemudian ritual Upakara Tawur Agung dan terakhir dilakukan Pangerupukan, saat ribuan ogoh-ogoh diarak keliling desa.
  • Saat Nyepi, penyedia jasa transportasi laut, darat, dan udara, lembaga penyiaran televisi dan radio, serta provider penyedia jasa seluler dan internet tidak diperbolehkan beroperasi.

Rangkaian hari raya tahun baru saka 1941 yang dirayakan dengan Hari Raya Nyepi sudah dimulai dengan upacara Melasti. Sebagian garis pantai dipadati umat Hindu yang melakukan ritual penyucian diri dan alam selama beberapa hari sebelum Nyepi pada Kamis (7/3/2019) ini.

Mulai Kamis pagi mulai pukul 6, Bali menyepi. Seluruh aktivitas kecuali di instansi darurat berhenti, tidak ada warga di luar rumah, termasuk penghentian internet sampai Jumat pagi pukul 6.

Pentingnya sumber-sumber air seperti laut bagi Bali, terlihat saat ritual Melasti. Ribuan orang di tiap desa menuju ke pantai dan melakukan persembahyangan menghadap sang baruna. Bahkan ritual ini terasa magis karena sarana suci perwujudan Ida Betara di pura-pura dibawa ke laut untuk disucikan. Bahkan tak jarang ada warga yang trance.

Hal ini terlihat di sepanjang pantai di pesisir Gianyar sejak Minggu (3/3/2019). Gemuruh ombak menemani ratusan ribu orang bersembahyang dan membuat parade di pantai membawa seluruh sarana suci. Misalnya di Pantai Masceti, tiap desa masih datang bergantian untuk Melasti di pesisir yang makin dimakan abrasi ini pada Selasa (5/3/2019).

Prosesi Melasti menuju pantai Masceti, Gianyar, Bali dan secara simbolis membasuh diri dan sarana upacaranya | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Di tengah panas terik, warga menunggu persembahyangan bersama, kemudian mendapat percikan tirta, air suci untuk dibasuh di kepala dan diseruput dengan tangan. Sedikit tapi meluruhkan dahaga. Setelah itu mereka menuju laut sebagai simbol penyucian sebelum menyambut Tahun Baru Saka dengan Nyepi.

Suara baleganjur bersaing dengan debur ombak. Para penjaga pantai mengamati dan berjaga di pantai. Sebuah bendera merah, tanda peringatan dilarang berenang terlihat berkibar-kibar, sudah lapuk dan tinggal setengahnya. Warga yang ingin mengambil air laut dengan wadah pun harus bersabar menunggu ombak agar tak tergulung.

Ketut Anim, anggota Balawista Gianyar ini sedang berjaga dengan temannya. Hanya ada 24 orang petugas penyelamat di sepanjang pantai Gianyar yang terkenal berombak ganas di Selat Badung ini. Tak heran, abrasi makin mengikis pantai. “Banyak kejadian terseret ombak. Abrasi makin parah, untung diisi penahan ombak, kalau tidak bisa habis,” ujarnya sambil mengamati aktivitas melasti.

Usai prosesi melasti di pantai, dengan sigap sejumlah petugas kebersihan mengumpulkan sampah dominan organik dari sesajen ini. Salah satunya Pande, pria tua ini menyapu dengan gesit. Ia dan 7 orang temannya diupah membersihkan area melasti selama 4 hari dan harus melakukannya dengan cepat sebelum rombongan melasti desa lain tiba.

Prosesi Melasti menuju pantai Masceti, Gianyar, Bali dan secara simbolis membasuh diri dan sarana upacaranya | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Dibanding ritual-ritual melasti sebelumnya, kali ini sampah plastik terlihat berkurang. Masih ada kresek pembungkus canang dan kemasan makanan minuman. Tapi dibanding dengan ribuan orang yang melasti, sampah plastik ini mungkin dari puluhan orang yang masih tak peduli dengan dampak sampahnya. Petugas kebersihan yang diorganisir sangat membantu mencegah sampah plastik ini ke laut.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menyampaikan pedoman pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1941. Rangkaian upacaraya dimulai dengan Melis/Melasti/Mekiyis sampai 6 Maret yang pelaksanaannya disesuaikan dengan desa setempat.

Selanjutnya adalah upacara Tawur Kesanga yang dilakukan dengan sejumlah prosesi. Pertama, perwakilan dari masing-masing desa/kecamatan datang ke Pura Besakih membawa perlengkapan persembahyangan untuk mohon Nasi Tawur dan Tirtha Tawur untuk disebarkan dan dipercikkan di wilayah masing-masing.

Selanjutnya tiap desa menggunakan Upakara Tawur Agung dengan segala kelengkapannya. Dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catuspata (perempatan utama) pada waktu tengah tepet (sekitar pukul 12.00 Wita).

Berlanjut sampai tingkat rumah tangga dengan sarana persembahyangan lebih sederhana. Misalnya menghaturkan Segehan Manca Warna 9 (sembilan) dengan olahan ayam brumbun, disertai tetabuhan tuak, arak, berem, dan air yang didapatkan dari desa setempat, dihaturkan ke hadapan Sang Bhuta Raja dan Sang Kala Raja.

Keramaian kemudian berpindah ke jalan-jalan, disebut Pangerupukan, saat ribuan ogoh-ogoh dari ukuran kecil sampai 6 meter diarak oleh anak-anak dan orang tua. Dilengkapi api (obor), bunyi-bunyian seperti baleganjur dan lainnya. Ngerupuk dilakukan dengan keliling desa, dan parade ogoh-ogoh ini bisa sampai tengah malam.

Ogoh ogoh Sang Maungpati | Foto: dwicreative/denpasar now
info gambar

Hingga Kamis pagi, pukul 6, petugas keamanan tradisional (pecalang) sudah berjaga-jaga di tiap pemukiman dan jalan. Keriuhan Pangerupukan berganti dengan sunyi, sepi. Nyepi Sipeng dilaksanakan 24 jam sejak jam 06.00 Wita sampai dengan jam 06.00 Wita keesokan harinya, dengan melaksakan Catur Brata Penyepian.

Di antaranya Amati Geni, yaitu tidak menyalakan api/lampu termasuk api nafsu yang mengandung makna pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka. Amati Karya, tidak melakukan kegiatan fisik/kerja namun melakukan aktivitas rohani untuk refleksi diri. Amati Lelungan, tidak berpergian, dan Amati Lelanguan, tidak mengadakan hiburan/rekreasi yang bertujuan untuk bersenang-senang, melainkan tekun melatih batin.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali juga menyepakati agar penganut agama dan keyakinan lain menyesuaikan pelaksanaan Brata Penyepian seperti tidak ada bunyi pengeras suara misalnya saat sholat dan tidak menyalakan lampu pada waktu malam hari. Dapat diberikan pengecualian bagi yang menderita atau sakit dan membutuhkan layanan untuk keselamatan.

Ketua PHDI I Gusti Ngurah Sudiana dan majelis-majelis agama dan keagamaan di Bali menyatakan seruan bersama lainnya yakni penyedia jasa transportasi laut, darat, dan udara tidak diperkenankan beroperasi selama Hari Raya Nyepi. Demikian juga lembaga penyiaran televisi dan radio. Provider penyedia jasa selular pun diharapkan mematikan data selulernya.

Seruan ini direspon Kemenkominfo dengan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No.3/2019. Seluruh penyelenggara telekomunikasi yang menyediakan akses internet di Bali mendukung seruan kecuali di obyek vital dan sarana darurat. Misalnya rumah sakit, kantor polisi, militer, BPBD, BMKG, Basrnas, dan lainnya.

Dampak silent day 24 jam saat Nyepi ini kerap diukur oleh BMKG untuk menilai pengurangan emisi, dengan memasang alat di sejumlah titik.


Sumber: Ditulis oleh Luh De Suriyani dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini