Maria, Wanita Indonesia yang Sukses Kembangkan Suatu Komoditas di NTT

Maria, Wanita Indonesia yang Sukses Kembangkan Suatu Komoditas di NTT
info gambar utama

Perjalanan melewati jalan tanah berbatu sejauh 10 kilometer segera sirna saat bersua hamparan sorgum di tanah gersang yang eksotik di Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur (Flotim), NTT.Siapa nyana, di tanah gersang berbatu ini, tanaman sorgum dapat tumbuh subur. Sebuah bukti ajaibnya alam pemberian Sang Pencipta yang diramu dengan tangan-tangan manusia terampil yang pantang menyerah.

Adalah Maria Loretha, perempuan tangguh yang tak pernah lelah mengajak masyarakat di dusun ini jatuh cinta pada wata blolong, nama lokal tanaman serelia sorgum. Tak heran jika ia diganjar oleh beberapa kali penghargaan termasuk Kartini Award sebagai perempuan terinspiratif bidang lingkungan (2012) dan Kehati Award bidang Prakarsa Lestari Kehati (2012).

“Saya tertarik sorgum, karena saatpertama kali dihidangkan masakan sorgum oleh tetangga saya, Maria Helan, rasanya sangat enak,” ujar Maria kepada Mongabay (20/6) mengenang perjumpaan awalnya dengan sorgum.

Tak berhenti hanya menikmati rasanya, perempuan keturunan Dayak Kanayatn ini pun tak lelah bergerilya mencari sorgum hingga ke berbagai daerah di NTT. Ternyata memang benihnya susah didapat dan langka, hingga seorang teman suaminya menyarankan dia ke Desa Noba di Ile Buru.

Ternyata betul, disana Maria tertegun menyaksikan sorgum merah sedang berbulir. Dirinya lalu meminta bibit kepada seorang petani tetapi tidak diberikan saat itu.Tak hilang akal, Maria pun ke dapur dan menyelipkan uang seratus ribu rupiah kepada isteri petani tersebut, sambil berharap hati petani ini bisa luluh dan memberikan sedikit bibit sorgum.

“Betul juga, tiga hari kemudian kami ditelepon untuk datang ambil benih. Dari situ saya berjanji akan mengembangkan sorgum dan membagikannya gratis kepada para petani yang mau dan menanam wata blolong,” tuturnya mengenang.

Menjadi pendamping petani sebenarnya bukan pilihan jalan hidup Maria dan suaminya, Jeremias. Hingga 1997 pasangan ini bermukim di Malang. Namun, krisis ekonomi memaksa mereka meninggalkan Jawa dan kembali ke Flores, asal keluarga Jeremias. Lahan kebun milik keluarga suami yang luas pun mereka tanami berbagai tanaman pertanian.

Sejak berhasil memanen sorgum di lahan keluarga pada 2007, semakin yakinlah Maria bahwa tanaman ini berpotensi besar dan cocok dikembangkan di lahan kering dan tandus seperti NTT. Maria pun makin bersemangat mencari banyak referensi tentang sorgum. Arahan para penyuluh, membaca buku, dan belajar langsung dari para petani menjadi modal utama Maria.

 Maria Loretha (paling kiri), pakar sorgum Balitbangtan Dr. Marcia Buanga Pabendon (tengah) dan anggota kelompok tani. Maria sedang menjelaskan manfaat sorgum | Foto: Ebed de Rosary
info gambar

Sebenarnya penanaman sorgum telah dikenal dengan berbagai nama di NTT. Di Flotim disebut jagung solo, wata blolong atau wata holot. Orang Sumba menyebutnya wataru hemu tuji tinggi ke atas dan wataru hemu kadipta menjuntai ke bawah.

Orang Timor menamakannya benwuka atau bennina. Orang Rote menyebutknya jagung rote, jagung sabu. Orang Ende menyebutnya lolo, orang Sikka menyebutnya watar, watar minten dan watar gahar. Sedangkan orang Kedang di Lembata menyebutnya watar woloq.

“Dari nama ini terbukti sorgum ini sudah ada sejak lama di NTT dam ditanam di hampir semua daerah lahan kering,” ungkap Maria. Sejak dirinya mengembangkan sorgum, sekarang Maria telah mengkoleksi 14 jenis sorgum yang berasal dari berbagai daerah seperti Flotim, Kupang, Sabut hingga Manggarai Barat.

Dari “Virus” Hingga Mencari Pembeli Sorgum

Kegigihan Maria berbagi ilmu tentang sorgum berbuah manis. Bersama dengan Yayasan Cinta Alam Pertanian Kadiare, yayasan pendamping yang dibuatnya, hingga tahun 2016 sudah banyak petani di NTT yang kemudian turut mengembangkan sorgum. Tercatat hingga sekarang tersebar 34 kelompok tani di delapan kabupaten, yaitu Ende, Nakegeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Lembata, Sikka dan Flores Timur. Mereka inilah yang kemudian menularkan ‘virus’ sorgum kepada para petani lainnya.

Diantaranya, ada Richard Tambur dan Avend Turu di Manggarai Barat, Nando Watu di Detusoko dan Epit Wangge di Ende. Di Lembata, ada Paskalis seorang guru, di Kedang, ada Tonce seorang penyuluh, dan ibu Oni di Wuakerong. Di Flotim ada Yos Mukin dan Klemens di Tanjung Bunga, ibu Seldis dan Kartini dari Serinuho, Eman dari Lato, serta Rosa dari Watowiti.

“Setelah dirintis, kami banyak miliki agen perubahan yang kini tidak perlu lagi diperintahkan mereka sendiri yang mengecek tanaman yang mereka tanam,” ungkap Maria. “Saya bersyukur orang-orang yang meminta saya datang mendampingi, terus konsisten mengembangkan sorgum,” jelas penerima Ashoka Fellow 2013 ini.

Sorgum yang dipanen di Flores Timur, memanfaatkan lahan tidur yang ada dengan tanaman produktif | Foto: Dewi Hutabarat
info gambar

Sejalan dengan berhasilnya pengembangan sorgum, petani pun merasakan dampak ekonomi. Pembeli dapat membeli sorgum kepada kelompok petani. Di Likotuden pembeli langsung ke sentra sorgum dan membeli dengan rata-rata harga lima ribu rupiah perkilogramnya. Di beberapa tempat untuk sorgum dengan jenis kualitas baik, harganya dapat mencapai sepuluh ribu rupiah bahkan lebih.

DiLikotuden sekarang, sudah ada perusahaan olahan asal Jakarta dan Bali yang langsung membeli sorgum dari sentra petani. Padahal awalnya Maria mengaku hanya melakukan kontak pada kenalannya yang ada di pemerintahan, LSM maupun di jaringan petani untuk membeli dan mempromosikan sorgum hasil panen petani Likotuden. Untuk area penanaman, terdapat sekitar 30 hektar tanaman sorgum di Likotuden yang dikelola oleh sekitar 37 KK petani.

Selain menanam dan mengembangkan sorgum, Maria pun meyakinkan para petani bahwa sorgum merupakan tanaman yang layak dikonsumi dan bergizi.

“Kami didik petani untuk mengkonsumsi sorgum agar mereka dapat merasakan manfaat kesehatan dari tanaman yang mereka tanam,” jelas Maria. “Jadi tidak dijual semua, paling seperempat hasil panen saja karena sisanya harus dipergunakan untuk bibit dan dikonsusi petani.”

Dengan keberhasilan di tingkat basis ini, menurut Maria harusnya pemerintah NTT dapat memetik pembelajaran penting, yaitu kearifan pangan lokal harus didorong dan ditingkatkan.

“Saya ingin orang mengenal Flores dan tahu di tanah gersang ini sorgum organik tumbuh dan bisa dikembangkan besar-besaran. Masih banyak lahan tidur di NTT yang belum ditanami sorgum.”

Selain sorgum sebagai bahan pangan masyarakat, menurutnya untuk perkebunan lahan di NTT ini amat cocok untuk kapas, karena kecocokan alam dan klimatnya.Khusus untuk Likotuden, Maria bermimpi untuk mengangkat Likotuden sebagai daerah destinasi ekowisata.

“Setiap jam sepuluh pagi wisatawan bisa melihat lumba-lumba yang melintasi pesisir pantai dan menatap tiga pulau yakni Solor, Adonara dan Flores daratan. Wisatawan juga bisa mencicipi ikan segar hasil tangkapan nelayan tradisional yang dijual murah. Tentunya mereka bisa melihat sorgum yang sedang berbulir dan mencicipi makanan olahan sorgum.”

Semoga mimpi Maria menjadi kenyataan.


Sumber: Ditulis oleh Ebed de Rosary dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini