Di Hutan Ini Ribuan Monyet Membangun Istana Asri

Di Hutan Ini Ribuan Monyet Membangun Istana Asri
info gambar utama
  • Alas Kedaton di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali merupakan hutan seluas 10 hektar dengan pohon-pohon besar yang asri dan nominator Penghargaan Kalpataru tahun 2019, 2014 dan 2015.
  • Uniknya Alas Kedaton yang secara harfiah berarti hutan istana, ‘berkuasa’ sekitar 2.000 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang jinak dan menjadi daya tarik wisatawan
  • Para monyet ini diberi pakan harian oleh pengelola, bahkan warga Desa Adat Kukuh, pengelola hutan Alas Kedaton khusus memberi pakanbuah segar setiap 6 bulan sekali dalam upacara Tumpek Kandang
  • Hutan sakral Alas Kedaton juga menjadi rumah bagi kelelawar raksasa (bukal) yang hampir punah.

Suasana asri menyambut pengunjung di kawasan Alas Kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Pohon-pohon menjulang tinggi hingga sekitar 10 meter tersusun rapat di hutan seluas lebih dari 10 hektar ini.

Dalam bahasa Bali, Alas Kedaton secara harfiah berarti hutan istana. Namun, uniknya ‘istana’ di sini karena ‘penguasa’-nya adalah para monyet. Ada sekitar 2.000 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hidup di hutan berjarak sekitar 35 km dari Denpasar ini.

Karena keunikannya itu, Alas Kedaton menjadi salah satu daerah tujuan wisata (DTW) alam di Bali yang menampilkan habitat monyet sebagai daya tariknya. Tempat ini serupa dengan Monkey Forest di Ubud, Gianyar dan Sangeh di Abiansemal, Badung.

Alas Kedaton berlokasi di antara Bedugul dan Tanah Lot. Karena itu pengunjung ke sini sebagian besar adalah turis asing yang pulang dari jalan-jalan di Bedugul menuju Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan.

Alas Kedaton merupakan hutan seluas lebih dari 10 hektar dengan habitat monyet di dalamnya | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Untuk menikmati suasana di Alas Kedaton, pengunjung dewasa harus membayar Rp20.000. Tarif itu belum termasuk tips untuk pemandu yang dibayar sukarela.

Sebagai obyek wisata, Alas Kedaton tertata rapi mulai dari tempat parkir hingga jalur masuk hutan.

Sepanjang jalan itu, para monyet sudah menyambut pengunjung. Sejak dari loket masuk, monyet-monyet sudah berkeliaran di jalan. Beberapa di antaranya berebut makanan. Ada pula yang asyik mencari kutu di bulu-bulu anaknya. Pada umumnya mereka bersikap jinak kecuali jika pengunjung membawa makanan.

Monyet jenis ekor panjang ini sebenarnya termasuk hama bagi para petani. Namun, di tengah hutan Alas Kedaton, mereka justru sangat dihormati. Salah satunya dengan menyediakan makanan. Jenis makanan itu antara lain ubi rambat pada pagi hari dan beras jagung pada sore hari.

“Dalam sehari, kami memberi makan mereka dua kali,” kata Nyoman Sukastra, salah satu pegawai Alas Kedaton. Pemberian makanan itu, menurut Sukastra, termasuk salah satu cara agar monyet-monyet itu tetap ada di kawasan hutan tersebut.

Selain itu, warga Desa Adat Kukuh yang mengelola hutan Alas Kedaton juga melaksanakan upacara penghormatan Tumpek Kandang tiap enam bulan sekali. Pada saat Tumpek Kandang itu, warga adat akan mempersembahkan buah-buahan segar untuk para monyet penghuni Alas Kedaton.

Gebogan, sesaji berupa tumpukan buah, akan diarak mengelilingi pura lalu diletakkan di halaman Pura. Lalu, para monyet akan berebut buah-buahan segar.

Bagi warga lokal, monyet merupakan satwa yang dihormati termasuk memberikan hari khusus untuk sembahyang bagi monyet | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Tidak Pernah Akur

Pura Dalem Kahyangan merupakan daya tarik lain di hutan Alas Kedaton. Berbeda dengan pura lain, tempat sembahyang umat Hindu di Alas Kedaton ini memiliki pintu di empat penjuru mata angin: barat, selatan, timur, dan utara. Padahal, pada umumnya Pura di Bali hanya memiliki satu pintu.

Di bagian selatan pura ini terdapat tanah terbuka seluas 400 meter persegi yang dianggap sebagai kuburan. Uniknya, menurut Sukastra, kuburan tersebut merupakan salah satu wilayah kekuasaan di Alas Kedaton.

Pembagian wilayah itu dipercaya warga secara turun temurun. Lokasinya terbagi menjadi empat wilayah dengan Pura Dalem Kahyangan sebagai titik tengahnya. Tiap wilayah dikuasai gerombolan monyet tersendiri yang tidak pernah akur satu sama lain.

“Kalau ada monyet dari wilayah lain berani masuk kawasan yang bukan daerahnya, pasti mereka akan berantem. Sampai luka-luka,” kata Sukastra.

Garis batas wilayah masing-masing kelompok itu berupa jalan setapak di sekeliling Pura Dalem Kahyangan. Jalan ini menembus asrinya hutan dan menjadi jalur pengunjung yang ingin menjelajah bagian dalam Alas Kedaton.

Dua turis berfoto dengan monyet di Alas Kedaton. Pada umumnya monyet di sini jinak | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Hutan Sakral

Sukastra mengatakan secara turun temurun warga memang menghormati monyet-monyet di Alas Kedaton. Mereka pun menganggap hutan tersebut sebagai daerah sakral yang harus dihormati.

Ada beberapa pantangan bagi warga setempat, termasuk tidak boleh menebang pohon di dalamnya. Bahkan ketika pohon itu sudah mati sekalipun. Tidak hanya itu, warga setempat juga melakukan reboisasi sehingga luas hutan Alas Kedaton saat ini disebut mencapai menjadi 12 hektar dari semula hanya 8 hektar.

Menurut Kepala Desa Kukuh I Made Sugianto reboisasi di Alas Kedaton itu telah berdampak tidak hanya secara ekologis, tetapi juga ekonomi. Dari sisi ekologi, pelestarian hutan di Alas Kedaton telah menjaga habitat monyet sekaligus menjaga mata air di sekitar hutan. Bahkan, saat kemarau pun mata air itu tetap terjaga.

Secara ekonomi, pelestarian itu berdampak pada kunjungan turis yang mendatangkan pendapatan bagi warga setempat. Begitu pula dengan ritual tumpek kadang. “Tradisi ini berdampak pada ekonomi yakni meningkatkan jumlah kunjungan ke DTW Alas Kedaton dan buah-buahan lokal terserap untuk bahan gebobagan (gunungan buah),” kata Sugianto sebagaimana ditulis Radar Bali.

Karena itulah, Dinas Lingkungan Hidup Bali pun menominasikan sebagai penerima Penghargaan Lingkungan Kalpataru tahun ini. Sebelumnya, desa ini pernah dua kali menjadi nominasi pada 2014 dan 2015.

Alas Kedaton juga menjadi habitat bagi kelelawar raksasa atau bukal | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Menjaga Kelelawar

Tak hanya monyet yang ada di Alas Kedaton. Tempat ini pun menjadi rumah bagi kelelawar raksasa yang dalam bahasa Bali disebut bukal. Padahal, dulunya kelelawar ini sudah hampir punah.

Hal itu karena dua warga setempat yang mengembangbiakkan kelelawar itu. Salah satunya adalah Agung Aryana Putra yang mengaku mewarisi keahlian dari bapaknya. Dia merawat tak hanya dengan memberikan makan tetapi juga memandikannya.

Agung mengembangbiakkan kelelawar itu di sisi utara Alas Kedaton. Ada delapan ekor kelelawar yang dia pelihara sehari-hari. Uniknya dia memberi nama untuk semua kelelawar itu. “Itu Diego. Umurnya 22 tahun. Dia yang paling tua,” katanya menunjuk salah satu kelelawar peliharaannya.

Agung mengatakan dia memelihara kelelawar itu karena jika dibiarkan bebas akan ditangkap atau ditembak orang lain. Dia bahkan mengandangkannya saat malam. Padahal, kelelawar sebenarnya satwa nokturnal, beraktivitas pada malam hari.

“Daripada dibiarkan bebas dan ditembak orang, lebih baik saya menjaganya di kandang,” ujarnya soal dilema antara melepasliarkan atau mengandangkan kelelawar.


Sumber: Ditulis oleh Anton Muhajir dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini