Pemilihan Presiden dan Pelajaran dari Aljazair

Pemilihan Presiden dan Pelajaran dari Aljazair
info gambar utama

Pada awal bulan April 2019 ini, media global mewartakan peristiwa penting dalam sejarah Aljazair, yaitu mundurnya presiden Abdulazis Bouteflika yang sedang kena penyakit stroke, dari jabatannya sebagai presiden setelah sebelumnya ribuan rakyat Aljazair menentangnya.

Rakyat turun ke jalan berhari-hari untuk memprotes keputusan presiden yang sakit ini untuk maju lagi dalam dalam pilpres Aljazair yang dijadwalkan berlangsung pada bulan April 2019. Rakyat menuntut presiden mundur karena sudah berkuasa selama 20 tahun, dan banyak terjadi korupsi di pemerintahannya selama itu, mengakibatkan perekonomian menurun dan pengangguran merajalela.

Presiden Abdulazis Bouteflika yang sudah berumur 82 tahun dan duduk di kursi roda dengan kondisi lemah karena stroke sejak 6 tahun lalu, memang dibantu kroninya untuk maju lagi menjadi calon presiden yang kelima di negeri itu.

Itu yang tambah menyulut kemarahan rakyatnya. Baru setelah Panglima Militer Aljazair Letnan Jendral Ahmad Gaed Salah meminta dia mundur saja sebagai presiden, Abdul Azis muncul di TV dan menyatakan kemundurannya sebagai presiden.

Keputusannya itu disambut suka cita ribuan demonstran yang kebanyakan anak-anak muda yang mengikuti demonstrasi menentang pemerintah sejak Februari 2019 lalu.

Namun, para demonstran mengatakan bahwa memang mereka gembira mundurnya Abdulazis sebagai presiden sesuai dengan tuntutan mereka, dan sesuai dengan demokrasi yang sebenarnya; namun para demonstran itu akan tetap melakukan demonstrasi turun ke jalan untuk menuntut mundurnya semua kroni-kroninya mantan presiden ini.

Salah satu demonstran berkata didepan kamera TV Al Jazeera bahwa mereka menuntut mundurnya seluruh pemerintahan karena tidak ingin Aljazair dipimpin oleh “Gang”; harus dipimpin orang-orang yang sesuai dengan Konstitusi negara; dan mereka menuntut pemerintahan tidak dikuasai militer.

Negara Aljazair mulai menjadi jajahan Prancis sejak tahun 1830, dan setalah dijajah lebih dari 100 tahun, terjadi pemberontakan untuk meraih kemerdekaan dimulai pada tahun 1954. Revolusi yang berdarah itu berakhir dengan kemerdekaan Aljazair dari Perancis pada tahun 1962.

Presiden Abdulazis yang mundur itu sebenarnya adalah salah satu pahlawan revolusi kemerdekaan dan setelah merdeka dia menjadi menteri luar negeri dan kemudian menjadi presiden pada tahun 1999. Salah satu pahlawan revolusi Aljazair lainnya adalah Jamila Bouhired yang disebut sebagai “Srikandi Aljazair” yang juga pernah disebut Ir. Soekarno dalam pidatonya.

Sayapun ketika masih kelas 4 Madrasah di Surabaya juga mengetahui nama Jamila ini dari pidato Bung Karno, saya membaca sejarah Jamaila yang ikut pasukan perlawanan rakyat terhadap penjajah Prancis, ditangkap, dipenjara dan disiksa baik dipenjara Aljazair maupun di kota Reim Perancis.

Saya sekitar bulan Mei 2016 pernah berkunjung ke kota Reim ini, kota yang sepi sekitar 1-2 jam perjalanan dari Paris; dan membayangkan bagaimana Jamila di siksa di kota yang sepi ini.

Pemerintah maupun rakyat Aljazair sampai saat ini sangat mengagumi peran Indonesia terutama presiden Soekarno atau “Bung Karno” dalam membantu kemerdekaan Aljazair. Ketika Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, presiden Soekarno mengundang delegasi Aljazair yang saat itu negaranya masih di bawah penjajahan Perancis.

Konferensi Asia Afrika dan peran Soekarno dalam membantu negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Eropa, memberikan motivasi rakyat Aljazair untuk berjuang sampai darah penghabisan untuk merdeka.

Presiden Soekarno dalam banyak tulisan sejarah tidak hanya membantu Aljazair dengan retorika, tapi dikabarkan pada tahun 1957 membantu dengan menyelundupkan senjata/senapan mesin buatan Uni Sovyet lewat kapan selam (juga buaan Uni Sovyet) untuk para pejuang Aljazair, sampai mereka memproklamirkan kemerdekaannya pada 5 November tahun 1962.

Tindakan Bung Karno itu pernah ditanyakan oleh putranya, Guntur Soekarno (kakaknya Ibu Megawati), apakah Bung Karno tidak takut sanksi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena melanggar hukum interrnasional dengan menyelundupkan senjata ke Aljazair untuk membantu pejuang Aljazzair?

Bung Karno menjawab dengan suara kentut besar..!!; dan mengatakan kalau PBB berani menghukumnya karena membantu negara lain lepas dari penjajahan, dia akan mengentutinya.

“Soal Kemerrdekaan, soal menghancurrkan imperialism, itu buatku nomor satu,” kata Bung Karno.

Apa yang terjadi di Aljazair itu pernah kita alami di Indonesia, dari sejak penjajahan beberapa negara di bumi nusantara ini ratusan tahun, termasuk dinamika perjuangan bangsa baik melawan penjajah yang menyebabkan gugurnya ribuan pahlawan bangsa, penangkapan, pemenjaraan dan pengasingan para pemimpin bangsa pada masa penjajahan.

Ada yang diasingkan ke Afrika Selatan, Srilanka, Suriname dan ke beberapa daerah di nusantara, berbagai pemberontakan, sampai mundurnya presiden Soeharto setelah memimpin selama lebih dari 30 tahun, dan masa reformasi dewasa ini dengan berbagai dinamika sosial politik.

Jadi sebenarnya, Aljazair yang “layak belajar” dari Indonesia; namun kejadian politik yang terjadi di Aljazair pada tahun 2019 ini juga harus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, agar tidak mengalami lagi hal serupa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini