Dua Start-Up Muda Indonesia Berlaga di Tingkat Asia-Pasifik

Dua Start-Up Muda Indonesia Berlaga di Tingkat Asia-Pasifik
info gambar utama

United Nations Development Program (UNDP) Indonesia bersama Citi Foundation Indonesia di akhir tahun 2018 menggelar sebuah program kewirausahaan pemuda yaitu Youth Co:Lab. Ini adalah program kompetisi dan pelatihan startup di Indonesia untuk memecahkan masalah yang umumnya terjadi di masyarakat serta guna mendukung tercapainya Sustainable Development Program (SDGs).

Setelah melalui seleksi ketat dari 200 orang pendaftar, akhirnya 15 start-up terpilih menjalani Boot Camp dimana ke 15 start-up ini diberi pelatihan selama dua minggu di Bali dengan mentor-mentor seperti Deputi Akses Permodalan BEKRAF, Fadjar Hutomo dan Direktur Platform Usaha Sosial Stephanie Arifin bersama 4 mentor lainnya yakni Co-Founder Social Corporate Law Society Lousie E. Particia, Consultant UNDP Youth Economic Empowerment Linka, Senior Communications Officer KOPERNIK Andre Dananjaya dan Policy Program Manager Facebook Indonesia Dessy Sukendar.

D penghujung program, 2 start up pemenang juara 1 dan 2 akan melaju di Vietnam untuk berkompetisi di tingkat Asia-Pasifik. Nah inilah profil mereka.

  1. Yudha Abdul Gani
Yudha Abdul Ghani (Sumber : Innovative Financing Lab)
info gambar

Anak muda asli Karawang yang besar di Ambon ini memiliki kepekaan terhadap kekurangan darah yang ada di Indonesia, khususnya Ambon. Hal ini didasari oleh pengalamannya ketika ada seorang ibu hamil di Ambon yang meminta dirinya untuk mendonor karena Yudha sendiri adalah pendonor aktif.

“Waktu itu saya pernah dimintai tolong untuk mendonorkan darah, Ibu hamil yang mengalami pendarahan. Ia membutuhkan 8 kantong darah sedangkan di waktu yang sama setelah mencari selama dua jam baru terkumpul 2 kantong darah padahal waktu terus berjalan”, ujarnya.

Berbekal dengan pengalaman tersebut, mahasiswa Universitas Pattimura memiliki ide untuk memecahkan masalah kelangkaan pendonor dan kesediaan darah di pulau rempah.

Di Ambon setiap harinya membutuhkan 40-60 kantong darah, sedangkan stok dari PMI dan Rumah Sakit belum tentu ada”, kata Yudha.

StartUp Kantung darah ini diinisiasi pada September 2018 dan saat ini memiliki 6 orang dalam tim Yudha. Hal unik dari start up ini adalah sistemnya yang mudah dan melalui aplikasi.

“Jadi nantinya orang tinggal order dengan mengisi form pendonor maupun penerima donor melalui aplikasi. Pendonor akan kami jemput, lalu diantar ke rumah sakit peminta donor dan darah akan diambil disana lalu diberikan kepada peminta donor”, terang Yudha kepada GNFI.

Setiap tahunnya Indonesia memerlukan 1,1 juta kantung darah sedangkan persediaan darah di Indonesia terbatas. Yuda berpikir akan bagaimana memanfaatkan teknologi dan digitalisasi dalam mengatasi problematika kekurangan donor darah di Indonesia.

Tidak hanya itu, menurut pemuda berusia 24 tahun ini di Ambon rata-rata setiap hari juga ada kecelakaan yang membutuhkan donor darah. Sedangkan, stok darah di Ambon juga masih minim.

Selama di Boot Camp, Yudha mendapatkan banyak pengetahuan seperti model bisnis.

“Meski dulu saya pernah belajar model bisnis di Binar Academy, di Boot Camp Youth Co:Lab ini saya mendapat pengetahuan mendalam mengenai model bisnis terutama untuk social entrepreneur

Melajunya Kantung Darah untuk berkompetisi di Co:Lab Asia Pacific ini memiliki tantangan tersendiri karena kompetitor yang lebih luas dan tentunya sangat ketat. Namun Yudha optimis akan bisa memenangkan kompetisi ini.

Juara 1 Youth Co:Lab Indonesia ini memiliki pesan penting untuk anak muda, terutama untuk Indonesia bagian Timur, “Kita sebagai anak dari timur indonesia bisa membuktikan bahwa bisa membawa indonesia bersaing di kancah global, jangan pernah meyerah Tuhan pasti beri jalan”, tutupnya.

  1. Luh Rika
Luh Rika (Sumber : Innovative Financing Lab)
info gambar

Gadis bernama Luh Rika Ini memiliki start up bernama Pandoo yang merupakan juara dua kompetisi Youth Co:Lab dari Indonesia. Start-up yang berdiri pada September 2018 ini bergerak di bidang digital marketing khusus daerah pedesaan.

Berfokus pada SDGs poin 8 dan 17 yakni tentang pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi serta kemitraan.

Rika dan rekan-rekan pendiri Pandoo menyadari bahwa banyak penduduk di daerah pedesaan yang belum sadar akan potensi besar digital marketing.

“Kita melihat bahwa banyak yang belum sadar bahwa income suatu daerah wisata bisa bertambah dengan adanya digital marketing”, ujarnya kepada GNFI.

Start up nya telah berkontribusi di gunung Bunder, tepatnya di Loka Purna yang mana belum banyak pengunjung meski air terjunnya indah. Hal ini juga dikarenakan daerah wisata Puncak lebih terkenal dan menjadi destinasi banyak orang.

“Yang kami lakukan pertama adalah riset langsung ke lokasi mengenai perkembangan bisnis disana. rata-rata orang bergantung pada sektor pariwisata daripada Loka Purna ini. Namun ternyata pendapat dan pengunjung yang datang tidak sebanyak Puncak. Untuk itu kita berdiskusi dengan koperasi Hijau Loka Purna untuk menggali informasi apa yang kurang dari pariwisata ini. Disini kami temukan bahwa promosi pariwisatanya kurang, orang lebih mengandalkan alat promosi seperti brosur”.”, terang Rika

Hasil dari diskusi dan riset ini menjadi bahan acuan untuk mencari solusi melalui digital marketing. di Koperasi Loka Purna sendiri, mereka mempekerjakan anak muda lulusan SMA/SMK, namun karena tidak terlalu banyak turis yang berkunjung, akhirnya banyak juga yang menganggur.

“Yang kita lakukan pada akhirnya adalah menginisiasi program pelatihan mulai dari branding, promosi melalui web dan sosial media serta pelatihan Content marketing yang bagus untuk meningkatkan daya tarik wisatawan”, tuturnya.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Rika dan timnya adalah bagaimana mendapatkan kepercayaan dari penduduk dan anak muda sekitar.

Start up ini juga mengatasi youth unemployment yang juga menjadi problematika, apalagi Indonesia akan memiliki bonus demografi pada tahun 2045.

“Banyak anak muda yang berpikir bahwa pekerjaan itu hanya ada di kota, padahal mereka sebenarnya bisa juga bekerja di daerah pedesaan. Nah kita mencoba memecahkan masalah ini dengan digital marketing”.

Lolos menjadi salah satu dari 15 start-up yang diberi pelatihan oleh UNDP Indonesia di Boot Camp, Rika mendapatkan pengetahuan dan networking yang dapat digunakan untuk Pandoo kedepannya.

Di masa depan Rika menginginkan ada ambassador di tiap-tiap daerah yang mampu untuk membantu majunya daerah pedesaan di Indonesia melalui digital marketing.

Juara 1 dan 2 Youth Co:Lab Indonesia ini pada tanggal 2 - 5 April bertanding di Vietnam dengan start-up lainnya di tingkat Asia Pasifik.

Baik Yudha maupun Rika merasa optimis bahwa mereka beserta start-up yang dibawanya akan mampu bersaing di tingkat Asia Pasifik.

Dalam acara Youth Co:Lab di Indonesia, UNDP Indonesia bekerjasama dengan Citi Foundation. HUBUD, dan BEKRAF

Country Director UNDP Indonesia Christophe Bahuet mengatakan Youth Co:Lab juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi besar kaum muda Indonesia. Menurutnya, dengan lebih dari 63 juta populasi Indonesia yang terdiri dari kaum muda, menghasilkan potensi dan sumber daya yang sangat besar

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini