Berjuang untuk HKm, Warga Desa Tuabao Sekarang Nikmati Hasil Kemiri dan Mete

Berjuang untuk HKm, Warga Desa Tuabao Sekarang Nikmati Hasil Kemiri dan Mete
info gambar utama
  • Warga Dusun Tuabao dan Wutadetun, di Kecamatan Waiblama, Sikka sejak awal abad ke-20 berdiam di dalam kawasan hutan lindung dan bertahan hidup dari menikmati hasil perkebunan dan pertanian.
  • Warga bersikeras keberadaan mereka di dalam kawasan hutan telah ada jauh sebelum ditetapkannya Tapal Batas 32 tahun 1932 oleh Belanda maupun Tapal Batas 84 tahun 1984 oleh Kehutanan.
  • Setelah perjuangan dan rangkaian negosiasi, di tahun 2012 lewat SK Bupati Sikka Nomor 128/2012 masyarakat mendapat pengakuan lewat pemberian Hutan Kemasyarakatan (HKm) Wairkung, Desa Tuabao, seluas 429 hektar.
  • Hasil kebun andalan petani seperti kemiri dan jambu mete, juga kopi arabica yang sekarang sedang dikembangkan. Dalam setahun seorang petani dapat memperoleh puluhan juta rupiah dari hasil kebunnya.

Wajah Desa Tuabao, Kecmatan Waiblama, sebenarnya mirip dengan wajah perdesaan lainnya di Kabupaten Sikka. Warga bekerja dari bercocok tanam di kebun. Jarak dari ujung dusun hingga jalan kabupaten sekitar 3,5 kilometer.

Jalan lintas dusun sudah disemen, semua rumah sudah memiliki listrik baik dari PLN maupun tenaga surya. Warga tampak sejahtera. Desa ini dihuni 234 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 900 lebih. Namun, jika ada yang berbeda, sebagian permukiman desa ini berada di dalam kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo.

Hal itu terbukti, berjarak hanya sekitar 900 meter arah jalan kabupaten sebuah tanda tapal batas 84 sudah terlihat persis di samping jalan kampung. Di dekatnya terdapat sebuah prasasti bertuliskan HKm yang ditandangani Bupati Sikka berangka tahun 2012.

Rumah warga Dusun Tuabao, Desa Tuabao, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka yang berada di dalam kawasan HKm Hutan Lindung Egon Ilimedo Tapal Batas 84 | Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
info gambar

Sejak memasuki wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di tapal batas 84 Dusun Tuabao, deretan pohon jambu mente memenuhi areal hutan hingga ke perkampungan. Deretan pohon kemiri pun berjejer di kedua sisi jalan semen hingga arah perbukitan.

Tuabao sendiri sebagian besar wilayahnya sekitar 70 persen merupakan kawasan hutan. Pepohonan besar berjejer rapi di sepanjang jalan kabupaten maupun jalan antar dusun.

“Buah kemiri dijadikan minyak lampu pelita. Juga untuk membuat sabun bayi, obat tali pusar dan obat luka,” jelas Patrisius Nong, Sekretaris Kelompok HKm Wairkung menjelaskan.

Saat Mongabay Indonesia bertanya, bagaimana sejarah masyarakat ada di dalam kawasan hutan lindung, dia menyebut keberadaan warga jauh sebelum kawasan hutan ini ditetapkan oleh Belanda pada tahun 1932.

Dia menunjuk adanya bukti tanaman bambu yang ditanam oleh leluhur mereka. Juga ada tanah makam, tanaman kelapa dan beberapa tanaman kemiri tua yang dulu ditanam warga. Sebutnya, zaman itu para leluhur menetap di dalam hutan lindung karena menghindar dari penjajah.

Dia tak menampik, pernah ada masanya, warga bermasalah dengan pemerintah saat diminta keluar dari kawasan hutang lindung.

Saat itu, kurangnya lahan garap membuat warga melakukan penggarapan lahan di kawasan hutan. Mereka menanam tanaman padi dan jagung dengan model tebas bakar dan ladang berpindah.

Di tahun 1992 ketika wilayah hutan itu ramai digarap, pemerintah mengadakan program reboisasi. Tujuannya untuk menghutankan kembali kawasan itu.

Di sisi lain warga bersikeras mereka tidak merambah, tapi menggarap lahan leluhurnya. Mereka bersikukuh jejak leluhur telah ada jauh sebelum kawasan itu ditetapkannya lewat tapal batas hutan pal 32 tahun 1932 maupun Tapal Batas 84 tahun 1984.

Setelah kemerdekaan, kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo sendiri disahkan Menhut lewat SK No.423/KPTS-II/1999 meliputi lima kecamatan, yaitu Waigete, Mapitara, Doreng, Talibura dan Waiblama.

“Ada beberapa kuburan dan bisa diidentifikasi apakah kuburan ini ada sebelum tahun 1932 ataukah sesudah tahun 1932,” sebut Arnoldus Delfi, anggota Badan Perwakilan Desa Tuabao (28/03).

Masyarakat bilang bahwa mereka tidak bercocok tanam di dalam pal 32 yang dibuat Belanda. Itu pun sesuai dengan konsep lokal hutan tutupan dalam kosmologi masyarakat setempat.

“Masyarakat kami etnis Tana Ai sangat kental dengan tradisi adat. Ada istilah Opi Dun Kare Taden, daerah-daerah yang dilarang untuk dibuka kebun dan menebang pohon,” jelas Arnoldus.

Jalan menuju Dusun Wutadetun yang telah disemen | Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
info gambar

Dalam budaya masyarakat setempat, maka dilarang menebang pohon di wilayah sekitar mata air, sekitar tempat-tempat ritual adat, hutan adat dan sekitar jurang dilarang keras.

“Bila melanggar maka akan ada sanksi adat yang berat dan harus dibuat upacara adat untuk pemulihan alam kembali.”

Dari tiga dusun yang ada di Desa Tuabao, dua dusun yakni Dusun Tuabao (54 KK) dengan Wutadetun (50 KK) puluhan rumahnya masuk di dalam kawasan hutan lindung tapal Batas 84. Sebagian lainnya berbatasan langsung dengan hutan lindung.

Sekitar tahun 2000, katanya pola ladang berpindah mulai berkurang. Inisiatif penanaman kemiri dan jambu mete mulai dilakukan warga dan pemerintah.

Setelah perjuangan dan rangkaian negosiasi, akhirnya di tahun 2012 lewat SK Bupati Sikka Nomor 128/2012 tertanggal 21 Mei, wilayah kelola masyarakat ini mendapat pengakuan lewat pemberian izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) Wairkung. Luas arealnya 429 hektar dibagi untuk 364 anggota kelompok.

Perubahan Pasca HKm

Kanisius Kani (28) warga dusun Tuabao yang ikut mendampingi Mongabay Indonesia melintasi kampung di kawasan hutan bertutur, penghasilan warga saat ini sejahtera.

Hampir semua rumah memiliki sepeda motor. Bahkan di Dusun Wutadetun, ada dua warga yang memiliki mobil pick up.

“Ini rumah yang paling megah dan baru dibangun. Dimiliki oleh kerabat saya,’ katanya sembari menunjuk sebuah rumah yang sedang dibangun..

Rumah ini tergolong megah untuk ukuran warga di kawasan hutan. Keseluruhan dinding rumah terbuat dari batu bata dan beratap seng. Rata-rata rumah di Tuabao menggunakan atap berdinding bambu.

Dia juga sebut, hampir semua anak di Tuabao mengenyam pendidikan hingga SMA. Bahkan ada beberapa diantaranya sudah sarjana.

“Orang tua disini hampir semua mampu membiayai anak kuliah, kalau ada satu dua anak yang putus sekolah, itu faktor malas. Bukan karena orang tua tidak mampu biayai.”

Kebun jambu mente di kedua sisi jalan di Dusun Tuabao yang berada di dalam kawasan HKm HL Egon Ilimedo Tapal Batas 84 | Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
info gambar

Katanya, masyarakat berhasil dari hasil kebun yang digarapnya. Menurut Patrisius Nong, lahan masyarakat sekarang telah ditumbuhi jambu mete, kemiri dan kopi arabika.

Sebagai contoh, Marianus Ketua RT 12/06 Dusun Wutadetun, yang menyebut dia memiliki lahan kemiri sekitar 4 hektar. Dalam setahun dirinya mendapatkan uang puluhan juta rupiah. Uang ini dia sebut cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya.

Di sisi lain, Arnoldus menyebut dia bersyukur dengan adanya skema HKm yang amat menguntungkan masyarakat ini.

“Banyak tanaman perkebunan di lahan tersebut yang telah dinikmati hasilnya,” sebutnya.

Dia mengungkap jalan semen turut membantu akses warga desa. Sebutnya jalan ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda, tapi waktu itu hanya jalan tanah untuk dilewati kuda dan manusia.

Di tahun 2000 katanya lewat program padat karya jalan diperlebar. Di tahun 2009 jalan disemen lewat program PNPM.

“Pengerjaan lanjutan pun terus dilakukan menggunakan dana desa. Sejak tahun 2016 jalan terus ditingkatkan dan masyarakat dilibatkan untuk mengerjakannya.”

Saat ini jalan digunakan untuk memudahkan akses masyarakat menjual hasil perkebunan. Tapi untuk merambah hutan lindung sudah tidak dilakukan lagi.

Jika ada warga yang membutuhkan kayu untuk buat rumah atau pondok, maka kayu itu ditebang dari pohon tanaman masyarakat di kebun. Itu pun tidak boleh untuk dijual.

“Meski garap lahan hutan lindung, namun hampir semua masyarakat membayar pajak setiap tahunnya. Masyarakat pun tidak keberatan, karena sudah merasakan manfaatnya,” ucap Arnoldus.


Sumber: Ditulis oleh Ebed de Rosary dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini