Isnawati Hidayah, Anggota Panwaslu Termuda di Belanda

Isnawati Hidayah, Anggota Panwaslu Termuda di Belanda
info gambar utama

Dalam Pemilu 2019 yang tinggal menghitung hari saja, ada sedikit cerita mengenai Isnawati Hidayah, seorang anggota Panwaslu Luar Negeri termuda di Belanda.

Gadis asal Tingkir Tengah, Salatiga, ini merasa terpanggil untuk turut serta menjaga hak pilih Warga Negara Indonesia dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang di sana akan dilaksanakan pada tanggal 13 April 2019 mendatang.

"Pesta demokrasi kali ini adalah pesta yang terbesar di dunia, karena melibatkan ratusan juta WNI. Di sini, kami bertugas mengawasi dan menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan Pemilu. Mulai dari pendataan DPT, kampanye, pemungutan suara, hingga penghitungan suara," ujar Isna.

Isna (berkerudung pink) saat mengikuti Bimtek dengan Ketua Bawaslu RI
info gambar

Baginya, menjadi anggota Panwaslu Luar Negeri adalah hal yang sangat menantang.

"Kami kan dipilih berdasarkan Undang-Undang, jadi yang kami kerjakan juga diatur undang-undang. Untuk itu kami harus profesional, sebab seandainya timbul kesalahan, tidak menutup kemungkinan jika berpotensi mendapatkan hukuman pidana," lanjutnya.

Saat mendaftar, Isna sedikit merasa gugup dan tidak percaya diri karena pendaftar lainnnya kebanyakan sudah lama bekerja di Belanda, bahkan banyak juga yang memiliki gelar PhD. Namun akhirnya hal ini justru ia jadikan sebagai tempat untuk belajar hal-hal baru.

"Dalam proses ini saya belajar banyak hal. Partner-partner saya juga kompeten, saya belajar banyak dari mereka," ujar Isna, yang telah mengawali torehan prestasinya sejak masih mengenyam pendidikan dasar, yakni di SD Negeri Tingkir Lor 2 Salatiga, sebagai Juara II Lomba Sholat Putri Tingkat Kota Salatiga dan masuk dalam 6 besar Olimpiade IPA Tingkat Kota Salatiga.

Isna (berkerudung pink) saat dilantik sebagai Anggota Panwaslu Luar Negeri
info gambar

Lahir pada tahun 1994 silam, perempuan yang pernah menjadi Pembicara Termuda dalam 8th Asia Pacific Conference on Reproductive Health andRights, di Myanmar Tahun 2016 lalu ini, tumbuh dan dibesarkan dalam kesederhanaan.

“Saya adalah seorang perempuan sederhana yang diahirkan dalam keluarga yang sederhana dan dibesarkan dalam kesederhanaan. Berkontribusi dan mengabdi dari hal yang paling sederhana. Karena sederhana itu indah dan bukan berarti rendah, ujar Isna.

Ayah dan Ibu Isna adalah seorang wirausahawan yang sering mengalami pasang surut dalam usahanya. Dalam keterbatasan itulah ibunya selalu berkata “Gusti Allah iku sugih (Allah itu Maha Kaya)”, kata-kata inilah yang selalu Isna ingat hingga menjadikan dirinya sebagai pribadi yang sabar dan ikhlas dalam menjalankan ikhtiar selama ini.

Perjuangan yang paling dikenang Isna adalah saat ia menempuh strata satu di Malang. Untuk memenuhi kebutuhannya, Isna mencoba berjualan. Mulai dari reseller pulsa, produk kecantikan, hingga pisang coklat, tetapi semuanya tidak berhasil.

Akhirnya dengan jumlah beasiswa strata satu yang sangat terbatas, Isna berusaha mencukupkan kebutuhan sehari-harinya dan berusaha tetap menelurkan karya berupa publikasi karya ilmiah di konferensi nasional maupun internasional.

Sebab menurutnya, jika teman-teman yang lain membayar kuliah dengan materi, maka ia yang mendapat bantuan dari bangsa Indonesia melalui Kemenristekdikti harus semangat dan istiqomah dalam memberikan timbal balik dalam bentuk prestasi yang mengharumkan nama bangsa dan almamaternya.

Menjadi bermanfaat untuk orang di sekitar adalah prinsip hidup yang hingga kini Isna pegang. Ketika tinggal di Kota Malang, Isna banyak melakukan kegiatan sosial, salah satunya dengan merintis Komunitas Ekonomi Kerakyatan pada Tahun 2013, dan mengangkat isu sosial kependudukan yang kembali mengantarkan Isna untuk menorehkan prestasi di kancah internasional.

Bersama kedua rekannya, Isna mengikuti sebuah program sosial yang diadakan oleh International Council on Management Population Programs (ICOMP) dan Ford Foundation (CSR salah satu perusahaan mobil ternama, Ford).

Isna saat menjadi pembicara termuda di Myanmar
info gambar

Di Kabupaten Malang, presentase “anak melahirkan anak” mencapai 52,6%. Munculnya pergaulan bebas dan stereotipe yang mengakar dalam masyarakat bahwa “lebih baik menjadi janda muda daripada menjadi perawan tua” adalah salah satu faktor tingginya angka pernikahan dini tersebut.

Untuk itulah Isna mengajukan proposal berjudul “Zero Percent Early Marriage”, yang setelah tiga bulan menunggu akhirnya Isna memperoleh USD 2.600 untuk melaksanakan program yang telah ia buat.

Memanfaatkan komunitas ibu-ibu pengajian, Isna dan timnya mengadakan sosialisasi ke sekolah, madrasah, dan kelompok belajar lainnya. Hingga akhirnya, Isna terbang ke Myanmar menjadi Pembicara Termuda dalam 8th Asia Pacific Conference on Reproductive Health andRights Tahun 2016 lalu.

Meski demikian, Isna tidak pernah melupakan Kota Salatiga yang menjadi tanah kelahirannya. Pada saat pengerjaan skripsi, Isna mengambil topik mengenai perkembangan UMKM di Desa Wisata Tingkir Lor-Tingkir Tengah dan berhasil mendapatkan pendanaan penelitian dari PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil).

Tak hanya itu, Isna yang kini tinggal di Wageningen Belanda, tidak berencana untuk tinggal di negara tersebut. Ia yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru justru berharap agar bisa kembali ke Indonesia dan menjadi Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan.

Dari sana, Isna memberikan sepenggal doa untuk kota tercintanya, “Semoga Kota Salatiga tetap menjadi kota yang guyub rukun, toleran dan ayem tentrem. Bangga menjadi bagian dari kota kecil nan manis, Salatiga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EW
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini