Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser

Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser
info gambar utama
  • Jernang merupakan tanaman yang potensinya menjanjikan
  • Di Aceh, harga satu kilogram jernang bisa mencapai Rp400 ribu. Sementara, jika resin telah diolah atau berwujud tepung, harganya bisa meroket Rp2 juta per kilogram
  • Untuk daerah-daerah yang sering terjadi konflik gajah, budidaya jernang menjadi solusi tepat karena satwa besar ini tidak menyukainya
  • Di Indonesia, tanaman ini tersebar di Sumatera [Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan], Kalimantan [Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan], dan Jawa yang mulai sulit ditemukan

Jernang tengah naik daun di Aceh. Jernang yang merupakan sejenis resin yang dihasilkan dari jenis rotan, harga satu kilogram bisa mencapai Rp400 ribu. Sementara, jika resin telah diolah atau berwujud tepung, harganya bisa meroket Rp2 juta per kilogram.

Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, termasuk yang bergairah membudidayakan tumbuhan ini. Beberapa kebun jernang telah dipanen, sementara lainnya sedang dikembangkan.

Pohon rotan jernang yang mulai dibudidayakan masyarakat Desa Bunin yang berada di kaki hutan Leuser | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Kepala Desa Bunin, Mustakirun mengatakan, desa yang diapit hutan lindung di kaki Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] ini, jika masyarakatnya tidak memiliki mata pencaharian alternatif maka perambahan hutan akan terjadi. Umumnya, warga bekerja sebagai petani, pencari rotan, petani madu, dan mencari ikan di sungai

“Salah satu potensi yang menjanjikan adalah menjadi petani jernang. Kami ingin mengembangkannya guna menambah pendapatan masyarakat. Terlebih, harga jualnya cukup tinggi,” ujarnya Minggu [31/3/2019].

Mustakirun yang merupakan mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka [GAM] itu mengatakan, umumnya masyarakat masih mencari buah jernang di hutan. Bukan hanya warga Bunin, tapi juga masyarakat dari berbagai daerah.

“Ini merupakan produk hasil hutan bukan kayu. Mencarinya di hutan bukan urusan gampang, butuh waktu berhari. Jika tidak berpengalaman, bisa mengancam nyawa.”

Menurut dia, ketimbang menembus hutan belantara, lebih baik dibudidayakan saja. Banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menanam bibit jernang. Pastinya, bibit harus bagus, agar hasilnya maksimal.

Bibit kualitas bagus akan menghasilkan getah jernang yang baik tentunya | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Desa Bunin, dibantu Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], saat ini tengah mengusulkan 1.189 hektar hutan lindung dan 1.951 hektar hutan produksi menjadi hutan desa. Dokumen Usulan Hak Pengelolaan Hutan Desa [HPHD] ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah diserahkan pada 20 Februari 2019.

“Hutan desa kami usulkan bukan untuk dirambah atau dijadikan kebun, tapi untuk kegiatan pariwisata dan ditanami jernang,” jelasnya.

Mustakirun menyebutkan, menanam jernang memberikan keuntungan. Selain harga jual menjanjikan, hutan tetap terjaga karena tumbuhan ini membutuhkan pohon pelindung. “Jernang tumbuh baik dan cepat berbuah jika ditanam di hutan yang tidak dirusak, atau hutannya masih lebat,” ujarnya.

Buah jernang yang nantinya diolah untuk diambil resinnya | Foto: KKI Warsi
info gambar

Menjanjikan

Supervisor Restorasi Forum Konservasi Leuser [FKL], Bahtiar menyebutkan, jernang merupakan tanaman yang menarik untuk dikembangkan. Bibitnya bisa didapatkan dengan mudah di hutan atau dibeli.

“Di hutan Leuser banyak, hanya yang mengambil paham tidak, bibit yang kualitasnya bagus,” ujar lelaki yang juga memiliki tempat budidaya berbagai bibit jenis tumbuhan, termasuk jernang.

Bahtiar menambahkan, untuk daerah-daerah yang sering terjadi konflik gajah, budidaya jernang menjadi solusi tepat karena satwa besar ini tidak menyukainya.

“Jangankan gajah, kita saja malas dekat pohonnya karena duri di tangkai daun yang tajam dan banyak,” ujarnya.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh juga mendukung budidaya tanaman hutan ini. Termasuk mengizinkan masyarakat mencari di hutan. “Bahkan, dinas juga menyediakan bibit untuk ditanam masyarakat,” terangnya.

Hutan, air, dan udara bersih adalah harta tak ternilai bagi masyarakat Bunin | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Getah mahal

Rotan jernang merupakan hasil hutan bukan kayu [HHBK] yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Getah rotan jernang merupakan getah/resin termahal sampai saat ini.

Berdasarkan laporan Agus Kurniawan dan Joni Muara mengenai “Manajeman Usaha Rotan Jernang” di Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], disebutkan bahwa ada empat jenis pohon rotan yang menghasilkan resin jernang. Daemonorops draco, Daemonorops micracantha, Daemonorops Didymophylla, dan Daemonorops mattanensis. Semua jenis ini mulai berbunga pada umur tanaman 2-3 tahun dan berbuah antara 4-6 tahun [Sumarna, 2005].

Rotan jernang tersebar di tiga negara yaitu: Indonesia, Malaysia dan India. Di Indonesia, tanaman ini tersebar di Sumatera [Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan], Kalimantan [Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan], dan Jawa yang mulai sulit ditemukan.

Kawasan Ekosistem Leuser merupakan hutan yang begitu penting bagi manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Getah jernang diambil dari kulit buahnya. Getah ini mengandung senyawa dracoresen(11%), draco resinolanol (56%), draco alban (2,5%), sisanya asam benzoat dan asam bensolaktat.

Secara umum, jernang digunakan sebagai bahan pewarna, keramik, marmer, bahan baku lipstik dan lainnya. Selain itu juga digunakan sebagai bahan obat seperti diare, disentri, obat luka pembeku darah [Grieve 2006 dalam Waluyo, 2008].


Sumber: Ditulis oleh Junaidi Hanafiah dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini