Mulai Langka di Hutan, Suku Anak Dalam Budidaya Jernang

Mulai Langka di Hutan, Suku Anak Dalam Budidaya Jernang
info gambar utama

Aroma pisang ranum menyeruak, bercampur tetesan getah pertanda baru ditebang. Hinatari, puteri Sikab, tampak malu-malu menyuguhkan kami setandan pisang baru mereka panen.

Pisang gembur, begitu suku anak dalam (SAD) menyebutnya. Pisang ini berukuran besar, cukup memakan satu buah sudah mengenyangkan.

Rombong Sikab, SAD di Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin, Jambi, terdiri dari empat keluarga. Mereka mendiami sekitar empat hektar di kelilingi kebun karet tua.

Sikab hari ini mendapatkan bantuan Pundi Sumatera sebanyak 350 batang bibit jernang. Dia dan beberapa anak keponakan terlihat mengangkat bibit-bibit dengan penuh hati-hati. Jernang (Daemonorops draco) bagaikan sumber emas bagi SAD.

Harga jual cukup menggiurkan, membuat Sikab dan rombongan rela berhari-hari mencari jernang. Selama dua hingga tahun ini, mereka tak bisa menemukan jernang di hutan.”Sejak dulu, kami terbiasa mengambil jernang dari hutan, tidak pernah berpikir caranya bertanam. Tantangan baru bagi kami mulai belajar. Jika berladang padi saja mempu kami lakoni, menanam jernang bisa juga,” katanya.

Beberapa bibit jernang diturunkan dari atas motor, berjejer tepat di samping halaman rumah. Besok atau lusa mereka berencana membuat lubang tanam dan menanam bibit-bibit itu. “Ketika hutan dak ada lagi, hewan buruan tak ada lagi, hasil hutan jugo dakada lagi. Kami belajar jugo berladang dan berkebun ini,” katanya.

Budidaya jernang mereka pelajari selama tiga hari, sebelum mendapatkan bantuan bibit.

Dewi Yunita Widiarti, Manajer Program Sudung Pundi Sumatera mengatakan, pelatihan diikuti 20 orang komunitas SAD dari Bungo dan Merangin.

“Inisiasi pembagian bibit jernang ini tidak serta-merta, kami pelatihan dan survei kecil terlebih dahulu. Kami sempat menawarkan bibit karet, namun komunitas menolak karena alasan harga jual rendah, mereka menginginkan jernang,” katanya.

Samsu, SAD Rombong Hari di Desa Pelepat, Muaro Bungo bercerita, saat ini bibit jernang mereka sudah tanam dan tumbuh baik.”Kami yang pertama kali diberikan bibit, sekarang sudah tanam dan berumur enam bulan.”

Berladang padi
Sikab bercerita, mereka hanya mengenal berladang umbi-umbian, tebu dan pisang, selebihnya alam sudah menyiapkan. Bagi mereka, hanya mengumpulkan, berburu berbagai hasil hutan. Keadaanpun berubah, hutan mulai perlahan jadi hutan tanaman industri (HTI), perkebunan skala besar dan pemukiman.

Komunitas SAD mulai berinteraksi dengan masyarakat luar sejak lama. Biasa mereka dibantu seorang jenang (orang luar yang ditunjuk sebagai perantara). Hubungan saat itu adalah sistem tukar–menukar hasil hutan dengan berbagai kebutuhan pokok yang mereka butuhkan. Termasuk perpindahan pengetahuan seperti berladang mereka dapatkan dari luar.

“Kami belajar dari mereka. Biasanya, mereka dan kami bekerja membuka ladang bersama. Terkadang, masyarakat luar, jadi tenaga kerja membantu kami membuka ladang. Begitupun sebaliknya.”

Suku Anak Dalam, katanya, lambat mengenal mata uang. “Kami hanya mengerti hasil alam diperoleh, ditukarkan dengan berbagai kebutuhan pokok dan kain.”

Kain memiliki nilai tinggi dalam sistem tukar-menukar. Biasa kain akan tukar dengan jernang hasil panenan dari hutan. Mereka baru tahu, harga jual jernang memiliki nilai tinggi.

Berladang padi tanpa cangkul dan bajak, mereka pun tidak mengenal pemberian pupuk dan semprot hama pada tanaman. Berbagai kearifan lokal, kata Sikab, misal, menggunakan berbagai daun dan hewan-hewan untuk menangkal hama penyakit pada padi yang ditanam.

Sebelum membuka ladang baru, mereka biasa gunakan ritual mengusir makhluk jahat dan roh-roh jahat agar terhindar dari malapetaka dan hasil panen berlimpah ruah.

“Setelah pohon-pohon besar ditumbang, kami membersihkan lahan dengan membakar. Kami membakar pun berhati-hati, dengan menyisakan beberapa pohon besar sebagai pagar pembatas agar padi tidak berpindah ke lokasi lainnya,” katanya.

Warga Suku Anak Dalam mulia budidaya jernang. Dulu, jernang mudah ambil di hutan, kini sudah sulit hingga mereka membudidayakan | Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia
info gambar

Tepatnya setelah Pak Lis, demikian kami memanggil Orang Limbur yang sudah berteman sejak dulu dengan komunitas SAD. Biasanya mereka menukar dua canting(sebesar kaleng susu) benih padi untuk ditanam. Untuk mengusir hewan dan hama pengganggu, mereka gunakan berbagai ubat (penangkal).

Daun sebalui, itu nama obat agar padi dapat tumbuh dengan baik. Daun ini dibakar di tengah ladang. “Asapnya kami percaya mampu membunuh hama dan penyakit tanaman. Jika ada tikus menyerang, kami membuat ikatan-ikatan batang sisa yang ditumbang dengan rotan, dan dibuat berjejer seperti setapak yang bisa dilangkah-langkahi dengan kaki.”

Cara ini, katanya, dipercaya bisa membuat tikus sulit memakan padi. Kura-kura, mereka yakini mampu mengantisipasi tanaman padi yang tiba-tiba layu.

Mekanisme pembagian tugas, antara laki-laki dan perempuan ketika berladang tak terlalu kentara. Pihak laki-laki dan perempuan SAD bersama-sama dalam mengerjakan ladang mulai pembukaan ladang baru, biasa oleh laki-laki, kemudian menabur benih dilakukan perempuan.

Dalam satu lubang tanam, biasa perempuan SAD menabur tiga hingga empat benih, dan lanjut menyiang bersama-sama. Saat menuai padi pun dengan bersama-sama.

Hinatari, bercerita, masih sempat membantu ibunya menjemur dan menumbuk padi. Hasil panen yang diperoleh cukup banyak bagi mencukupi kebutuhannya. “Hasil panen tak pernah kami jual ataupun ditukar dengan masyarakat luar. Panen yang kami dapatkan bisa mencapai ratusan kilogram. Itu akan jadi simpanan beras kami hingga lebih dari satu tahun,” katanya.

Mereka tanam jenis padi ladang, hanya satu kali setiap tahun. Biasanya, mereka menukar dua canting (sebesar kaleng susu) benih padi untuk ditanam masyarakat luar. Untuk mengusir hewan dan hama pengganggu, SAD gunakan berbagai ubat(penangkal). Daun sebalui, itu nama obat agar padi dapat tumbuh dengan baik. Daun ini dibakar di tengah ladang, dan asap mereka percaya mampu membunuh hama dan penyakit tanaman. Jika ada tikus menyerang, mereka membuat ikatan-ikatan batang tumbang dengan rotan, dengan berjejer seperti setapak yang bisa dilangkahi dengan kaki.

Cara ini, dipercaya dapat membuat tikus sulit memakan padi. Sementara kura-kura, hewan ini diyakini mampu mengantisipasi tanaman padi yang tiba-tiba layu.

Sikab mengajak saya berjalan ke kebun karet di sekitar rumah. Dia menunjukkan, beberapa pohon durian yang tersebar di beberapa titik. Durian sebagai penanda wilayah mereka. Setiap kematian, durian dipercaya sebagai penanda mayat disemayamkan.

Tentu saja, durian-durian itu bukanlah jadi penanda kuat atas lahan kepemilikan. “Kami dulu melangun hingga bertahun-tahun, tapi kembali ke hutan wilayah tinggal kami ternyata sudah berubah kebun-kebun. Akhirnya, kami terkepung seperti ini.”

Sikab, berusia hampir 80 tahun ini menerawang jauh. Keinginan dia bisa diterima dan mampu beradaptasi dengan kehidupan saat ini cukup kuat. Sikab menaruh harapan dan mimpi-mimpi dengan menyekolahkan cucu dan keponakan melalui pendidikan.

Bagi dia, apa saja bisa dipelajari, termasuk kemampuan berladang dan berkebun yang mereka miliki.

Para perempuan Suku Anak Dalam | Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia
info gambar


Sumber: Ditulis oleh Elviza Diana dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini