Mengenal Speaktograph di Good Talk Offline Session 2

Mengenal Speaktograph di Good Talk Offline Session 2
info gambar utama

Good Talk Offline Session. 2

Good Talk Offline Session. 2 kali ini bertajuk “Luber Jurdil 2019” dan menghadirkan narasumber spesial yakni Abdullah Aufa Fuad. Ia merupakan CEO & Co-Founder Speaktograph sekaligus salah satu alumni prodi Fisika UNAIR.

Beberapa orang mungkin masih awam dengan pengertian Speaktograph, tak terkecuali dengan audiens sore itu (12/4).

Adit Jufriansyah, selaku moderator mengawali acara dengan menanyakan pendapat peserta terkait jalannya debat capres dan cawapres.

Ada yang mengatakan seru, biasa saja, dan jenuh. Kata jenuh ini pula yang ternyata juga dirasakan oleh teman-teman Aufa dan lingkungan sekitarnya.

Rasa gelisah akan sengitnya debat kusir tentang pilpres di media, TV, dan media sosial turut andil melatarbelakangi pembuatan aplikasi Speaktograph.

Sebagian besar berpendapat kalau beberapa tokoh yang muncul dirasa tidak mendewasakan masyarakat namun justru memperuncing perseteruan. Lalu, debat kusir di media menurut mereka bersifat endless dan pointless.

Berangkat dari permasalahan tersebut, alumni Magister Nano Science di University of Lyon, Prancis, ini untuk tergerak mendirikan Speaktograph dengan tujuan agar masyarakat mempunyai jiwa demokrasi dan lebih melek politik.

“Speaktograph memang masih baru dan usia kami baru 6 bulan, tapi aplikasi ini merupakan cara baru yang bisa dimanfaatkan untuk menilai debat, diskusi, presentasi secara objektif dan terukur,” ujar Aufa

Good Talk Offline Session. 2

Bagaimana cara kerja Speaktograph?

Speaktograph akan mengubah audio menjadi teks, lalu mengelompokkannya ke dalam empat kategori.

Bagian pertama akan menganalisis tentang konten yang berisi berapa banyak kata yang diucapkan, kata unik yang dilontarkan, dan frekuensi jeda serta ambil napas.

Lanjut ke tahap berikutnya, aplikasi ini berfungsi untuk menghitung frekuensi kata yang berisi banyaknya pengulangan kata.

Lalu, di stage ketiga berfokus pada pola kalimat yang berguna untuk memetakan pola kata penyusun dari kalimat yang diucapkan.

Terakhir, di bagian keempat, keaktifan bicara, kepercayaan diri, optimisme, dan frekuensi penyebutan data atau angka juga tidak luput untuk diberikan nilai.

Pada sesi tanya jawab, ada audiens yang bertanya apakah kira-kira alat ini mampu dijadikan sebagai acuan atau jaminan untuk menilai apa yang sudah dipresentasikan oleh paslon?

Tentu sebelum itu, kita patutnya mengapresiasi keberadaan aplikasi ini. Pasalnya, Speaktograph penilaiannya objektif karena bersifat netral dan disertai dengan metrik.

Menariknya lagi, aplikasi yang diciptakan Aufa ini juga menggandeng psikolog untuk mengelompokkan kata-kata yang terkandung dalam kalimat yang diucapkan oleh paslon untuk dinilai seberapa besar tingkat optimisme atau pesimismenya.

“Hampir semua kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sudah dimasukkan ke program aplikasi ini. Speaktograph juga dapat menerjemahkan beberapa singkatan seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum), di mana tulisan yang muncul bukan lagi ka-pe-u,” jelas Aufa

Memang tidak ada jaminan yang mutlak, katakanlah hari ini paslon berkata A, lalu kemudian hari B, atau masa mendatang C.

Namun setidaknya, aplikasi ini sangat membantu untuk menilai performance paslon dan menjadikan kita sebagai millenials yang kritis dan mulai bisa menentukan pilihannya dengan bijak alias tidak golput.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FS
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini