Kenapa NKRI Harga Mati Itu Penting

Kenapa NKRI Harga Mati Itu Penting
info gambar utama

NKRI harga mati adalah kalimat yang sering kita dengar di negara kita. Kalimat yang berisi seruan untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia ini, kalau hanya berupa jargon mungkin kita menanggapinya sambil lalu karena saking seringnya diucapkan, ataupun diucapkan sambil bergurau di acara reuni.

Tapi kalau kita belajar dari kejadian-kejadian di belahan bumi sekarang ini, misalkan di Libya, baru kita menyadari betapa pentingnya substansi NKRI Harga Mati itu.

Libya adalah negara yang dulu kaya raya, makmur karena hasil minyak buminya, dan karena kekayaan alamnya inilah Libya pernah dijajah Italia setelah merebutnya dari kekuasaan Ottoman Turki dan berakhir pada Perang Dunia II. Saat itu Italia menyerah pada sekutu.

Dinamika politik yang keras setelah dijajah itu menyebabkan seorang perwira muda Angkatan Darat Libya melakukan kudeta melawan rajanya sendiri, Raja Idris, yang pro barat. =

Perwira muda ini namanya Muammar Muhammad Abu Minyar Gaddafi. Kalau tidak salah berumur 27 tahun waktu itu, dan berhasil melakukan kudeta tahun 1969. Ia mengumumkan pangkat tertinggi angkatan bersenjata di Libya adalah Kolonel. Maka sejak itu perwira muda ini terkenal dengan sebutan Kolonel Muammar Gaddafi.

BACA JUGA: Kemewahan dalam Kegagahan Dua Mobil Militer Baru Indonesia

Kolonel Gaddafi memimpin Libya selama 42 tahun, membuat negaranya kaya raya karena minyaknya itu. Tahun 2009 misalnya, Libya memiliki IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan PDB (Produk Domestik Bruto) tertinggi di Afrika, yang membuatnya disegani beberapa negara-negara dunia terutama negara-negara Timur Tengah.

Beberapa pemimpin negara-negara Eropa diduga menerima uang bantuan dari Gaddafi dalam Pemilu negaranya. Tapi sang kolonel ini memimpin Libya dengan keras, diktator, dan sering berbicara keras melawan negara-negara barat terutama Amerika Serikat.

Sebaliknya, negara-negara barat menuduh Gaddafi sering membiayai teroris, atau pemberontakan yang memakai simbol Islam seperti di Mindanao, Filipina Selatan.

Singkatnya, gaya memimpin yang otoriter ini menyebabkan pemberontakan di mana-mana tahun 2011, sampai anak-anak muda yang di luar negeri pulang ke Tanah Air untuk bergabung pemberontak menggulingkan Kolonel Gaddafi.

Mudah diduga, negara-negara barat dan Amerika mendukung pemberontak dengan memberlakukan peraturan sepihak “No Fly Zone” di Libya, agar Angkatan Udara Libya tidak bisa melakukan pemboman terhadap pemberontak.

BACA JUGA: Keren, Peneliti ITB Ciptakan "Kecoa" untuk Mata-mata Militer

Tapi peraturan itu tidak berlaku bagi negara barat pembuat peraturan itu. Inggris dan Prancis tergabung dalam NATO melakukan pengeboman dengan rudal ratusan kali lewat pesawat-pesawat pembunuh mereka pada kekuatan Gaddafi.

Perang saudara yang juga disebut Toyota War –karena para pemberontak itu menggunakan kendaraan pick-up buatan Jepang ini sebagai kendaraan perang dengan dipasang senjata-senjata berat- akhirnya pemberontak itu menang, tentu karena dibantu NATO dan Amerika Serikat.

Nasib tragis pimpinan tertinggi Libya, Kolonel Muammar Gaddafi, tertangkap pemberontak di Sirte daerah kelahirannya ketika sembunyi di pipa beton saluran air pada bulan o]Oktober 2011. Dia diseret-seret di jalan, disiksa berdarah-darah, sebelum dieksekusi mati.

Para pemimpin barat yang dulunya berbisnis dengan Gaddafi bersorak gembira melihat video Gaddafi disiksa dan ditembak mati. Politik Kotor kata orang, tapi dalam kasus Libya ini saya menyebut politik itu ibarat “membunuh teman sendiri sambil tertawa”.

Bayangkan para presiden dan perdana menteri negara-negara barat yang dulu dekat Gaddafi, bersorak menyaksikan dia mati secara ironis. Para analis politik internasional menyebutkan bahwa keterlibatan negara-negara besar itu tujuannya hanya satu, menguasai Minyak. Sumber kekayaan Libya.

BACA JUGA:

Perang saudara itu setelah berhasil menumbangkan Gaddafi ternyata belum berakhir. Ketika artikel ini saya tulis, di Tripoli ibu kota Libya terjadi pertempuran hebat antara pemerintahan Libya yang didukung PBB dengan pasukan yang dipimpin perwira angkatan udara Marsekal Khalifa Belqasim Haftar, yang ketika zamannya Gaddafi bekuasa, dia lari ke Amerika Serikat dan kabarnya direkrut badan intelijen AS (CIA).

Ia pulang ke Libya melakukan usaha perebutan kekuasaan. Presiden AS Donald Trump mendukung dia, negara Mesir juga mendukung dia (Presiden Mesir Jendral El Sisi menerimanya di Istana Negara Mesir di Kairo).

Perebutan kekuasaan ini melibatkan suku-suku, mantan pengikut Gaddafi, partai-partai politik, tentara, jenderal, milisi-milisi sempalan, bahkan preman dsb.

Perang saudara sejak awal menggulingkan Gaddafi sampai perang perebutan kekuasaan sekarang ini sudah menelan ribuan korban jiwa, ribuan orang mengungsi, ribuan orang melarikan diri ke Eropa menjadi pengungsi gelap, dan gedung-gedung yang dulu megah-megah sekarang runtuh rata dengan tanah.

Anak-anak kecil kena penyakit karena air minum tidak ada. Pokoknya menderita sekali!

Pelajaran dari Libya yang bisa kita ambil, perseteruan politik berdasarkan kesukuan dan kepentingan jangka pendek, ingin menguasai negara termasuk menguasai kekayaan alam negara, serta terpengaruh dengan kekuatan asing, menyebabkan perang saudara yang berkepanjangan. Ribuan korban jiwa, kemiskinan di mana-mana, air mata para ibu terus mengalir karena anak-anak mereka mati akibat ikut perang atau karena kemiskinan.

BACA JUGA: Kalau Negara Kita Stabil, TNI Bertambah Kuat

Saya membayangkan, kalau Indonesia tidak bijak mengambil sejarah pergolakan negara-negara berkembang selama ini sebagai pelajaran, dan terjadi perang saudara yang melibatkan negara asing, gedung-gedung tinggi di Jalan Thamrin dan Sudirman Jakarta, Tunjungan Surabaya, atau kota-kota lain luluh lantak rata dengan tanah.

Kota gelap tidak ada listrik, tidak ada TV, hanya terdengar suara tembakan dan bom serta teriakan-teriakan orang mau mati. Ribuan orang dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki antri panjang hanya untuk mendapatkan air setiap hari.

Dalam situasi seperti ini jangan membayangkan ada acara festival dangdut, Java Jazz di Kemayoran, pertandingan bola Persib melawan Persija, atau Persebaya melawan Arema.

Negara dalam keadaan gelap gulita, kalaupun ada sinar, itu adalah cahaya dari rudal-rudal jarak jauh yang diluncurkan dari kapal induk asing yang berada jauh di Laut Cina Selatan menghantam Indonesia.

Ngeri rasanya membayangkan kalau kejadian seperti itu menimpa bangsa kita yang besar ini.

Oleh sebab itu kalau kita berkaca pada Libya (atau negara-negara konflik lainnya), maka harus ada kesadaran bahwa negara kita yang jumlah sukunya lebih banyak dari Libya, kekayaan alamnya yang lebih kaya dari Libya, haruslah dijaga keutuhan negara ini.

Keragaman suku janganlah dianggap sebagai kelemahan (liability), tapi merupakan kekuatan (aset) bangsa. Haruslah ingat para pendiri negara ini meletakkan dasar politik bebas aktif dalam hubungan internasional, sehingga tidak terpengaruh dengan negara A atau B.

Siapapun nanti yang menjadi presiden, yang duduk di DPR, DPD, dan DPRD, harus wajib menyadari hal ini. Kalau kita tidak menyadari, maka bisa-bisa kita mengalami malapetaka seperti Libya, Siria, Irak, Irlandia, Sudan (yang baru saja militernya menggulingkan presidennya), Afghanistan, dan lain lain yang terpecah berantakan. Naudzubillah!!

Maka betul jargon NKRI Harga Mati itu penting.

*Penulis adalah alumnus Universitas Airlangga dan University of London, Inggris. Saat ini merupakan Staf Khusus Rektor UNAIR Bidang Internasional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
YF
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini