Kecombrang yang Menggairahkan Kelompok Perempuan Peduli Situs Warisan Dunia

Kecombrang yang Menggairahkan Kelompok Perempuan Peduli Situs Warisan Dunia
info gambar utama
  • Kecombrang merupakan tanaman hutan yang tersebar luas di Indonesia. Sebutan lokalnya beragam, seperti unji, honje, cekala, patikala, bongkot, sambuang dan kencong
  • Selain bunga, buah, batang, daun, hingga rimpang [rhizoma] kecombrang dapat dimanfaatkan sebagai rempah-rempah dan obat tradisional
  • KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS telah menandatangani kerja sama kemitraan konservasi. Kelompok ini memiliki hak akses memanen kecombrang liar dan membudidayakannya di zona tradisional taman nasional seluas 10 hektar
  • Kecombrang berdasarkan penelitian memiliki beragam manfaat kesehatan: antioksidan, antihipertensi, dan antikanker

Kecombrang, Anda pernah mendengarnya?

Tumbuhan bernama latin Etlingera elatior ini merupakan spesies dari famili Zingiberaceae yang tersebar luas di Indonesia. Sebutan lokalnya beragam, seperti unji, honje, cekala, patikala, bongkot, sambuang dan kencong. Umumnya, kecombrang tumbuh di pinggiran hutan primer dan sekunder pada dataran rendah yang teduh.

Apa yang menarik dari tumbuhan ini? Selain bunga, buah, batang, daun, hingga rimpangnya dapat dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, obat tradisional beserta keperluan lainnya.

Beragam manfaat inilah yang mendorong kelompok perempuan peduli lingkungan untuk memanfaatkan kecombrang.

“Kami ingin mengolah kecombrang yang tumbuh di kawasan TNKS [Taman Nasional Kerinci Seblat] untuk kesejahteraan, kesehatan perempuan, dan tentunya turut melestarikan taman nasional. Dengan akses pemanfaatan yang kami miliki, kami ingin mewujudkan keinginan tersebut,” ujar Rita Wati, Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan [KPPL] Maju Bersama, Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, belum lama ini.

KPPL Maju Bersama dan Balai Besar TNKS telah menandatangani kerja sama kemitraan konservasi berikut rencana pelaksanaan program dan rencana kerja tahunan. Atas dasar perjanjian itu, KPPL memiliki hak akses memanen kecombrang liar dan membudidayakannya di zona tradisional taman nasional seluas 10 hektar. Selain tentunya, ikut serta memulihkan ekosistem TNKS dan sekitar.

Kecombrang, tanaman yang tumbuh di pinggiran hutan dengan beragam manfaat. Sumber foto: Wikimedia Commons/Hans Hillewaert/CC BY-SA 3.0/Free to share
info gambar

Inovasi

Selama ini masyarakat di Desa Pal VIII dan Bengkulu keseluruhan, memanfaatkan kecombrang sebagai sambal, gulai, atau lauk makan. Dengan akses yang diperoleh itu, KPPL akan mengolah kecombrang menjadi makanan dan minuman kemasan. “Bukan hanya untuk kesejahteraan anggota, keuntungan juga akan digunakan untuk pelestarian TNKS yang merupakan situs warisan dunia. Semisal, sosialisasi, penghijauan dan lainnya,” ujar Rita.

Dari sejumlah literatur yang dibaca Rita, kecombrang dijelaskan memiliki beragam manfaat kesehatan, seperti antioksidan, antihipertensi, dan antikanker. “Dengan memproduksi minuman dan makanan olahan, kami berharap bisa membantu perempuan menjaga kesehatan, terlebih mencegah kanker payudara dan serviks,” terang Rita.

Inisiatif KPPL berinovasi mengolah kecombrang direspon positif oleh Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Sekretaris Jurusan Teknologi Pertanian Fakulas Pertanian Universitas Bengkulu, Yessy Rosalina, mengatakan kerja sama dengan kelompok perempuan ini terkait pengembangan produk. Fokusnya pada pengawasan proses, perbaikan formula, dan kemasan produk. “Harapan kami, produk KPPL Maju Bersama bisa diterima pasar dengan daya saing yang baik,” kata Yessy.

Ketua KPPL Maju Bersama Rita Wati menunjukan bunga kecombrang di kawasan TNKS. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia
info gambar

Hak perempuan

Kepala Balai Besar TNKS Tamen Sitorus mengungkapkan, KPPL Maju Bersama merupakan kelompok perempuan pertama di Indonesia yang menjadi mitra unit pengelola konservasi, dari 47 balai besar dan balai taman nasional.

“Di Indonesia, ada [perempuan], namun belum menamakan dirinya kelompok perempuan peduli lingkungan karena masih bergabung dengan laki-laki,” katanya.

Tamen melanjutkan, pengelola kawasan konservasi didorong untuk memposisikan perempuan di garis terdepan. Karena, perempuan setiap hari berhubungan dengan sumber daya genetik, sumber daya hutan dan kehutanan. Mereka sehari-harinya berhubungan dengan material seperti kecombrang dan yang bersumber dari hutan.

“Perempuan di depan juga dilandasi fakta, perempuan lebih efektif mempengaruhi keluarga dan komunitas tentang arti penting melestarikan kawasan konservasi serta satwa liar dilindungi,” terangnya.

Selaku kelompok perempuan pertama mitra konservasi, Rita menambahkan, posisi ini sebagai motivasi sekaligus tantangan. Kami harus bisa membuktikan, ketika perempuan memperoleh akses pemanfaatan, kehidupan perempuan akan menjadi lebih baik dan lebih peduli terhadap upaya pelestarian TNKS.

“Banyak pihak awalnya meragukan kami dan menganggap tidak mungkin. Kedepan, kami ingin mendapat dukungan berbagai pihak,” jelasnya.

Objek wisata air terjun di TNKS | Foto: Asep Ayat
info gambar

Kesehatan

Sejumlah literatur telah mengulas manfaat positif kecombrang. Wijekoon et al. [2011] menuliskan, “Laporan-laporan yang ada menunjukan, bunga kecombrang memperlihatkan aktivitas antioksidan, antikanker dan antimikrobial yang kaya[Habsah et al., 2005; Chan et al., 2007, 2008; Wijekoon et al., 2010; Lachumy et al., 2010].”

Lalu, Lim [2014] menuliskan, “Ekstrak pucuk bunga juga menunjukkan aktivitas yang mempromosikan antitumor [Murakami et al. 2000]… Ekstrak etanol pucuk bunga E. elatior ada sitotoksik terhadap sel kanker serviks [Mackeen et al. 1997].”

Kecombrang atau honje, potensi yang melimpah di kawasan TNKS di Desa Pal VIII, Rejang Lebong, Bengkulu. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia
info gambar

Kementerian Kesehatan mengungkapkan [31 Januari 2019], di Indonesia, untuk perempuan, kanker payudara menempati urutan tertinggi sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 perempuan. Berikutnya, kanker leher rahim sekitar 23,4 per 100.000 penduduk, dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 perempuan.

Sebelumnya, Wahidin [2015] menjelaskan, estimasi insiden kanker payudara di Indonesia sebesar 40 per 100.000 perempuan dan kanker leher rahim 17 per 100.000 perempuan. Angka ini meningkat dari 2002, dengan insiden kanker payudara 26 per 100.000 perempuan dan kanker leher rahim 16 per 100.000 perempuan [Globocan/IARC 2012].

Referensi:

  • Farida, Sofa dan Maruzy, Anshary. 2016. Kecombrang (Etlingera Elatior): Sebuah Tinjauan Penggunaan Secara Tradisional, Fitokimia Dan Aktivitas Farmakologinya. Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Volume 9, No. 1, Agustus 2016. Hal 19 – 28
  • Wahidin, Mugi. 2015. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara di Indonesia dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Edisi Semester I Tahun 2015. Kementerian Kesehatan RI


Sumber: Ditulis oleh Dedek Hendry dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini