Kenapa NKRI Harga Mati Itu Penting

Kenapa NKRI Harga Mati Itu Penting
info gambar utama

Oleh Ahmad Cholis Hamzah

Alumnus Universitas Airlangga,

University of London,

Staf Khusus Rektor Unair

Bidang Internasional.

NKRI harga mati adalah kalimat yang sering kita dengar di negara kita, kalimat yang berisi seruan untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia ini. Kalau hanya berupa jargon mungkin kita menanggapinya sambil lalu karena saking seringnya diucapkan, ataupun diucapkan sambil bergurau di acara reuni. Tapi kalau kita belajar dari kejadian-kejadian di belahan bumi sekarang ini – misalkan di Libia, baru kita menyadari betapa pentingnya substansi NKRI Harga Mati itu.

Libia adalah negara yang dulu kaya raya, makmur karena hasil minyak buminya. Dan karena kekayaan alamnya inilah Libia pernah dijajah Italia setelah merebutnya dari kekuasaan Ottoman Turki dan berakhir pada Perang Dunia II ketika Itali menyerah pada sekutu. Dinamika politik yang keras setelah dijajah itu menyebabkan seorang perwira muda Angkatan Darat Libia melakukan kudeta melawan rajanya sendiri raja Idris yang pro barat. Perwira muda ini namanya Muammar Muhammad Abu Minyar Gaddafi kalau tidak salah berumur 27 tahun waktu itu, berhasil melakukan kudeta tahun 1969 dan mengumumkan pangkat tertinggi angkatan bersenjata di Libia adalah Kolonel. Maka sejak itu perwira muda ini terkenal dengan sebutan Kolonel Muammar Gaddafi.

Kolonel Gaddafi memimpin Libia selama 42 tahun, membuat negaranya kaya raya ya karena minyaknya itu. Tahun 2009 misalnya Libia memiliki IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan PDB (Produk Domestik Bruto) tertinggi di Afrika, disegani beberapa negara-negara dunia terutama negara-negara Timur Tengah. Beberapa pemimpin negara-negara Eropa diduga menerima uang bantuan dari Gaddafi dalam pemilu negaranya. Tapi sang Kolonel ini memimpin Libia dengan keras, diktator dan sering berbicara keras melawan negara-negara barat terutama Amerika Serikat. Sebaliknya negara-negara barat menuduh Gaddafi sering membiayai teroris, atau pemberontakan yang memakai simbol Islam seperti di Mindanao Pilipina Selatan.

Singkatnya, gaya memimpin yang otoriter ini menyebabkan pemberontakan dimana-mana tahun 2011, sampai-sampai anak-anak muda yang diluar negeri pulang ketanah air untuk bergabung pemberontak menggulingkan Kolonel Gaddafi. Mudah diduga, negara-negara barat dan Amerika mendukung pemberontak dengan memberlakukan peraturan sepihak “No Fly Zone” di Libia, agar angkatan udara Libia tidak bisa melakukan pemboman terhadap pemberontak. Tapi peraturan itu tidak berlaku bagi negara barat pembuat peraturan itu, Inggris dan Perancis tergabung dalam NATO melakukan pemboman dengan rudal ratusan kali lewat pesawat-pesawat pembunuh mereka terhadap kekuatan Gaddafi.

Perang saudara yang juga disebut Toyota War – karena para pemberontak itu menggunakan kendaraan pick-up buatan Jepang ini sebagai kendaraan perang dengan dipasang senjata-senjata berat- akhirnya pemberontak itu menang, tentu karena dibantu NATO dan Amerika Serikat. Nasib tragis pimpinan tertinggi Libia Kolonel Muammar Gaddafi tertangkap pemberontak di Sirte daerah kelahirannya ketika sembunyi di pipa beton saluran air pada bulan oktober 2011, dia diseret-seret di jalan, disiksa berdarah-darah sebelum dieksekusi mati. Para pemimpin barat yang dulunya berbisnis dengan Gaddafi bersorak gembira melihat video Gaddafi disiksa dan ditembak mati. Politik Kotor kata orang, tapi dalam kasus Libia ini saya menyebut politik itu ibarat “membunuh teman sendiri sambil tertawa”, bayangkan para presiden, perdana menteri negara-negara barat yang dulu dekat Gaddafi bersorak menyaksikan dia mati secara ironis. Para analis politik internasional menyebutkan bahwa keterlibatan negara-negara besar itu tujuannya hanya satu – menguasai Minyak !! sumber kekayaan Libia.

Perang saudara itu setelah berhasil menumbangkan Gaddafi ternyata belum berakhir. Ketika artikel ini saya tulis, di Tripoli ibukota Libia terjadi pertempuran hebat antara pemerintahan Libia yang didukung PBB dengan pasukan yang dipimpin perwira angkatan udara marsekal Khalifa Belqasim Haftar yang dulu jamannya Gaddafi bekuasa dia lari ke Amerika Serikat dan kabarnya direkrut badan intelijen AS – CIA. Pulang ke Libia melakukan usaha perebutan kekuasaan. Presiden AS Trump mendukung dia, negara Mesir juga mendukung dia (Presiden Mesir Jendral El Sisi menerimanya di istana negara Mesir di Kairo). Perebutan kekuasaan ini melibatkan suku-suku, mantan pengikut Gaddafi, partai-partai politik, tentara, jendral, milisi-milisi sempalan, bahkan preman dsb.

Perang saudara sejak awal menggulingkan Gaddafi sampai perang perebutan kekuasaan sekarang ini sudah menelan ribuan korban jiwa, ribuan orang mengungsi, ribuan orang melarikan diri ke Eropa menjadi pengungsi gelap, dan gedung-gedung yang dulu megah-megah sekarang runtuh rata dengan tanah. Anak-anak kecil kena penyakit karena air minum tidak ada, pokoknya menderita sekali….!

Pelajaran dari Libia yang bisa kita ambil, perseteruan politik berdasarkan kesukuan dan kepentingan jangka pendek ingin menguasai negara termasuk menguasai kekayaan alam negara serta terpengaruh dengan kekuatan asing – menyebabkan perang saudara yang berkepanjangan, ribuan korban jiwa. kemiskinan dimana-mana, air mata para ibu terus mengalir karena anak-anak mereka mati karena ikut perang atau karena kemiskinan.

Saya membayangkan, kalau Indonesia tidak bijak mengambil sejarah pergolakan negara-negara berkembang selama ini sebagai pelajaran, dan terjadi perang saudara yang melibatkan negara asing, gedung-gedung tinggi di Jalan Thamrin dan Sudirman Jakarta atau Tujungan Surabaya atau kota-kota lain luluh lantak rata dengan tanah, kota gelap tidak ada listrik, tidak ada TV, hanya terdengar suara tembakan dan bom serta teriakan-teriakan orang mau mati. Ribuan orang dengan pakain lusuh tanpa alas kaki antri panjang hanya untuk mendapatkan air setiap hari. Dalam situasi seperti ini jangan membayangkan ada acara festival dangdut, Java Jazz di Ancol, pertandingan bola Persib melawan Persija, atau Persebaya melawan Arema, negara dalam keadaan gelap gulita, kalaupun ada sinar, itu adalah cahaya dari rudal=rudal jarak jauh yang diluncurkan dari kapal induk asing yang berada jauh di laut Cina selatan menghantam Indonesia…. Ngeri rasanya membayangkan kalau kejadian seperti itu menimpa bangsa kita yang besar ini.

Karena itu kalau kita mengaca pada Libia (atau negara-negara konflik lainnya), maka harus ada kesadaran bahwa negara kita yang jumlah sukunya lebih banyak dari Libia, kekayaan alam nya yang lebih kaya dari Libia haruslah di jaga keutuhan negara ini, keragaman suku janganlah dianggap sebagai kelemahan (liability) tapi merupakan kekuatan (asset) bangsa; haruslah ingat para pendiri negara ini meletakkan dasar politik bebas aktif dalam hubungan internasional sehingga tidak terpengaruh dengan negara A atau B. Siapapun nanti yang menjadi presiden, yang duduk di DPR, DPD, DPRD harus wajib menyadari hal ini. Kalau kita tidak menyadari, maka bisa-bisa kita mengalami malapetaka seperti Libia, atau Siria, atau Irak, atau Irlandia, Sudan (yang baru saja militernya menggulingkan presidennya), Afghanistan dan lain lain-terpecah berantakan. Naudzubillah !!

Maka betul jargon NKRI Harga Mati itu penting.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini