Menulislah dan Jangan Pernah Berhenti

Menulislah dan Jangan Pernah Berhenti
info gambar utama

Pagi hari usai sarapan, Yangde terlihat begitu fokus di depan komputer. Jemarinya yang keriput menari di atas keyboard. Sesekali suara mouse terdengar klik, klik, lalu irama tuts papan ketik pun turut mengiringi. Seperti inilah kegiatan almarhum yangdeku, Koesalah Soebagyo Toer di pagi hari. Menulis, seakan menjadi rutinitas yang tak terpisahkan bagi yangde.

Di depan komputer, buku-buku tebal bertuliskan huruf Rusia terbuka. Sebentar-sebentar beliau melirik ke buku, lalu terdiam sejenak dan mulai mengetik kembali. Terkadang Yangde menghembuskan napas panjang, lalu berjalan ke meja makan dan minum air putih, baru kemudian menulis kembali.

Aku terpana melihatnya. Betapa seorang lansia yang sungguh produktif. Bahkan di usianya yang senja, Yangde masih sempat berkarya, menerjemahkan buku berbahasa Rusia ke Bahasa Indonesia. Sebagian besar di antaranya adalah sastra Rusia seperti penulis ternama Anton Chekov, Nikolai Golgoi, Leo Tolstoy. Dari sekian karya itu, yang pernah kubaca baru Anna Karenina karangan Leo Tolstoy, dan Ruang Inap Nomor 6-nya Anton Chekov.

Diam-diam, aku suka memotret Yangde saat menerjemahkan karya-karya sastra Rusia yang luar biasa itu. Pernah iseng sekali aku buka satu di antara buku yang menumpuk di dekat meja komputernya, super tebal dengan huruf Rusia yang khas, dan tentu saja, aku langsung pusing hanya dalam hitungan menit.

Yangde Kus, begitu aku biasa memanggilnya. Mata Yangde sudah tidak awas, tapi dengan bantuan kacamata beliau tetap membaca setiap hari, mengerjakan terjemahan dengan tekun. Kala itu, kami sudah tidak bisa mengobrol seperti saat aku masih kecil, pendengaran Yangde sudah berkurang.

Perjalananku menulis, berawal dari Yangde Kus. Beliau adalah orang yang terus mendorongku untuk selalu menulis sejak masih kecil. Yangde tidak pernah absen membaca kumpulan puisi yang pernah kutulis sejak SD. Yangde Kus yang tak pernah banyak bicara, ternyata banyak menaruh perhatian pada karya kecilku.

"Tulisanmu ini harus disimpan baik-baik. Jangan berhenti menulis."

Begitu kata Yangde saat memegang diari pink gambar Hello Kitty milikku. Lalu di hari-hari lain saat Yangde berkunjung, beliau selalu bertanya "Mana tulisanmu yang baru? Yangde mau baca."

Aku sampai malu kalau Yangde membaca puisiku. Tulisan-tulisan yang kubikin kadang asal, tentang pohon, bunga, kupu-kupu sampai pak polisi pun kujadikan puisi. Sungguh tanganku di saat itu entah kenapa sangat produktif sekali menulis. Bahkan seonggok batu pun kujadikan puisi!

Meski terlihat remeh, Yangde tidak pernah mengolok-olok tulisanku sedikitpun. Justru beliau yang selalu berkata agar aku menyimpan baik-baik semua tulisan ini.

"Ini adalah harta yang sangat berharga. Simpan baik-baik."

Aku yang masih SD waktu itu belum juga menyadari kata-kata Yangde Kus. Berharga apanya, dari mana, puisi hanya beberapa baris tentang kupu-kupu kan tidak menghasilkan apapun? Pikiranku waktu itu, masih juga belum percaya diri dengan karya yang kutulis sendiri. Meski pernah sekali dimuat di majalah dan dapat hadiah kalender, tapi kepercayaan diriku untuk menulis, belum juga tumbuh.

Saat duduk di bangku SMP, aku mulai suka menulis cerita pendek, bahkan hingga SMA, aku senang sekali mengarang cerita pendek. Yangde pun berpesan "Kamu suka cerita pendek? Bacalah Anton Chekov, dia rajanya cerita pendek."

Waktu SMA, beberapa kali aku menulis agar dapat honor di majalah sekolah, pernah beberapa kali cerita pendekku lolos lomba menulis. Tapi lagi-lagi, aku masih belum percaya diri. Setelah SMA, aku masih menulis cerita pendek, tapi dari sekian cerita lebih banyak yang kusimpan sendiri. Ada beberapa yang dikirim ke majalah, ada yang ditolak, ada yang diterima. Akhirnya menulis hanya menjadi sekadar hobi di waktu senggang, tanpa tujuan, tanpa dipublikasikan karena masih malu-malu.

Hingga akhirnya aku bekerja menjadi wartawan di sebuah media lokal, mau tak mau akupun menulis berita setiap hari. Awalnya malu dan tidak percaya diri, tapi tuntutan pekerjaan justru membuatku lebih banyak belajar lagi tentang menulis.

Tujuanku menulis mulai kutemukan, kini bukan lagi sekadar hobi di waktu luang. Tapi aku menulis--seperti kata kakak yangde Kus yang belum pernah kujumpai secara langsung, mbah Pramoedya Ananta Toer--, karena bekerja untuk keabadian.

Yangde Kus menghembuskan napas terakhirnya pada 16 Maret 2016 lalu. Kebersamaan kami memang tidak banyak. Bahkan, bisa dibilang Yangde Kus dan aku tidak terlalu dekat. Kami hanya bertemu pada waktu-waktu tertentu, saat beliau berkunjung ke rumah atau saat aku datang ke rumah Yangde di Depok.

Namun, setiap momen dan pesannya selalu terpatri di benakku. Beliau adalah orang yang menginspirasiku untuk terus menulis dan menulis. Setiap momen perjumpaan, selalu yang diingatkannya adalah terus menulis. "Kamu jangan berhenti menulis. Teruslah menulis."

Tak kusangka, sejak SD bikin puisi tentang kupu-kupu hingga menjadi ibu beranak tiga pun aku masih menulis. Hari-hariku tak jauh dari ketikan tuts keyboard dan beragam konten tulisan, ide, cerita, yang berkelindan liar -dan ingin segera dituangkan ke sebuah tulisan- meski kadang tak sempat-sempat tereksekusi.

Dan hari ini aku menulis. Meski pada awalnya aku sempat bingung juga mau menulis apalagi. Tapi setiap kali mendengar kata menulis, maka sosok Yangde Kus yang selalu muncul di benakku. Aku dan menulis, tak lepas dari peran Yangde Kus.

Semoga jasa beliau di bidang sastra, penulisan, penerjemah menjadi ladang pahala, amin..

Karena sesungguhnya dengan menulis, karya Yangde Kus akan selalu hidup di negeri ini. Terima kasih Yangde, telah memberikan dukungan dan selalu menguatkan aku tentang betapa pentingnya menulis.

*Keterangan: Yangde (Eyang-Pakde) panggilan untuk kakaknya kakek.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini