Bergiat Menulis dalam Bahasa Jawa sebagai Upaya Melestarikannya

Bergiat Menulis dalam Bahasa Jawa sebagai Upaya Melestarikannya
info gambar utama

Panjebar Semangat dan Jayabaya. Kedua majalah itu dulu pernah mengalami masa jaya. Terutama bagi penutur berbahasa Jawa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Rubrik-rubrik yang ada di sana ditunggu para penikmatnya dari kanak-kanak hingga dewasa. Akan tetapi, seiring berlalunya waktu nama keduanya perlahan pudar. Bahkan banyak anak muda masa kini yang tidak mengenal kedua majalah tersebut. Kecuali jika orang tua atau kakek neneknya berlangganan.

Itu pun belum tentu dibaca, karena kalah saing dengan media sosial atau YouTube yang lebih menarik dan interaktif.

Tidak mengherankan ketika kita menyodorkan majalah-majalah tersebut akan didapati respon seperti di bawah ini:

Tidak memahami artinya

Banyak kata-kata yang tidak mereka kenal. Contohnya kata “kanthi”. “Kanthi” berarti "dengan" dalam bahasa Indonesia. Kata ini umum digunakan dalam penulisan artikel atau cerita berbahasa Jawa.

Akan tetapi, dalam percakapan sehari-hari sudah jarang terdengar. Banyak penutur berbahasa Jawa yang lebih mengenal “karo” yang memiliki arti sama dengan “kanthi”.

Mengapa kata “karo" yang lebih dikenal? Karena kata “karo”-lah yang lebih sering digunakan ketika berbincang-bincang.

Bingung soal penulisan ejaan

Banyak yang bingung karena penulisan ejaan dalam bahasa Jawa tidak sesuai dengan pengucapannya. Contohnya seperti berikut ini :

"Apa" dibaca "opo"

"Riyaya" dibaca "riyoyo"

"Dina" dibaca "dino"

"Lunga" dibaca "lungo"

Kesulitan membaca

Karena tidak memahami ejaan dan pengucapan yang benar, pada akhirnya berimbas pada kemampuan membacanya. Bisa jadi ketika disodori artikel atau cerita berbahasa Jawa, kalimat-kalimat di dalamnya akan dibaca sesuai dengan kalimat yang tertera.

Misalnya kalimat “Apa kowe arep lunga?". Seharusnya kalimat ini dibaca "Opo kowe arep lungo?". Namun pada kenyataannya banyak yang salah kaprah. Kalimat tersebut dibaca apa adanya. Bak membaca ejaan kalimat dalam bahasa Indonesia saja.

Hal-hal tersebut juga terjadi pada saya ketika belajar menulis cerita anak dalam bahasa Jawa untuk pertama kalinya. Terus terang menulis naskah dalam bahasa Jawa bukan hal gampang.

Saya fasih berbicara, tetapi tidak fasih menulisnya. Tidak heran jika banyak ejaan yang salah, bahkan masih bercampur dengan kata-kata berbahasa Indonesia karena kurangnya penguasaan kosa kata.

Bersyukur almarhum guru saya, Pak Armanoe -seorang pengarang berbahasa Jawa yang mumpuni- bersedia memberi masukan, sehingga naskah berjudul “Sajuri Angon Wedhus” bisa dimuat di majalah Jaya Baya pada bulan April 2011.

Sebelumnya tidak terpikir oleh saya untuk menulis cerita dalam bahasa ibu saya. Maklumlah sejak 2009 silam saya lebih banyak menghasilkan tulisan dalam bahasa Indonesia, baik berupa antologi atau buku solo. Baru setelah beliau mengompori saya tergerak untuk melakukannya.

Cerita anak berbahasa Jawa
info gambar

Dari situlah saya mulai mengirimkan tulisan lainnya. Baik berupa artikel, cerita cekak (cerita pendek), atau cerita anak. Tentu saja, tidak serta-merta dimuat.

Berulang kali saya menerima penolakan setelah pemuatan naskah yang pertama kali. Jika ditanya “Ringan mana menulis artikel, cerita pendek, atau cerita anak?” maka jawabannya adalah tidak ada yang ringan. Masing-masing memiliki tingkat kesulitan.

Akan tetapi, harus saya akui di antara ketiganya, menulis artikel yang berbau pengetahuan memiliki tingkat kesulitan dua kali lipat.

Seperti contohnya tulisan yang berjudul “Kepel Tansaya Langka: Kontrasepsi Alami Kang Bisa Kanggo Garapan Omah”. Untuk menulis artikel sejenis ini dibutuhkan riset yang lebih dalam. Tidak sekadar mencomot artikel di internet, tetapi juga membaca langsung jurnal-jurnal penelitian.

artikel berbahasa Jawa di majalah Jaya Baya
info gambar

Lebih repot lagi jika ternyata jurnal-jurnalnya berbahasa Inggris. Itu berarti kita harus rela bekerja dua kali. Mulai dari menerjemahkan jurnal ke dalam bahasa Indonesia, baru kemudian merangkumnya menjadi satu tulisan berbahasa Jawa.

Di awal-awal bahkan saya harus melakukan proses tiga kali yaitu menerjemahkan jurnal berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, menulis artikelnya ke dalam bahasa Indonesia, dan terakhir menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Repot sekali ‘kan prosesnya?

Lalu bagaimana honornya? Apakah sebesar jika kita menulis di koran-koran seperti JawaPos atau Kompas? Tentu saja tidak.

Bayaran menulis di media yang pasarnya segmented dan oplahnya tidak terlalu besar, honornya juga mengikuti. Bahkan bisa jadi tak sebanding dengan jerih payah yang kita lakukan.

Akan tetapi hal itu tidak mengurangi minat saya untuk terus menulis artikel atau cerita berbahasa Jawa. Sederhana, saya ingin terus berkontribusi nguri-uri basa Jawi, sehingga tetap lestari hingga generasi berikutnya nanti.

Bahkan terselip harapan di hati, semakin banyak anak muda yang mau belajar menulis dalam bahasa Jawa kembali. Sebab jika bukan kita siapa lagi?

Jangan sampai kita pergi ke luar negeri hanya untuk mempelajari tata cara menulis dalam bahasa ibu kita sendiri. Bahasa Jawa, nguri-uri basa Jawi, melestarikan bahasa Jawa bergiat menulis dalam bahasa Jawa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AY
YF
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini