Aku Menulis Maka Aku Ada

Aku Menulis Maka Aku Ada
info gambar utama

pada suatu hari nanti

jasadku tak ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau tak kan kurelakan sendiri

("Pada Suatu Hari Nanti", Sapardi Djoko Damono)

Kelak kita bakalan mati. Jasad kita akan binasa. Lenyap dari muka bumi. Terurai menjadi tanah. Seiring waktu berlalu, secara alamiah kita menjadi terlupakan oleh mereka yang masih hidup.

Mungkin hanya sesekali ingatan mereka kepada kita (semasa hidup) menyeruak. Itu pun terbatas di kalangan keluarga dan orang-orang yang dahulunya sempat mengenal kita.

Namun, lain halnya jika kita menulis. Dengan menulis, sekalipun jasad kita telah menyatu dengan tanah, kita bisa mengabadi dalam ingatan orang-orang.

Baik mereka yang kenal kita secara pribadi maupun yang sebatas tahu nama dari karya (tulisan) kita. Iya. Tulisan-tulisan kita akan setia menemani mereka yang masih hidup.

Sebagaimana yang disampaikan secara indah oleh Sapardi Djoko Damono, pada penggalan puisi di atas.

Dalam genre yang berbeda, Pramoedya Ananta Toer juga menyatakan hal serupa. Pram menyatakan begini, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Itulah sebabnya Pram menaruh respek khusus pada Kartini. Bahkan, suatu ketika Pram menulis begini untuk Kartini, "Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak 'kan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Buktinya, Kartini menjadi tokoh perempuan paling eksis jika dibandingkan dengan para tokoh perempuan lainnya. Yup! Sebab Kartini menulis, yang kemudian tulisan-tulisannya itu menjadi semacam monumen untuk mengingatnya. Lebih dari itu, jejak perjuangannya jadi mudah terlacak sebab ada bukti autentiknya. Bukti tertulis.

Pernyataan kedua maestro tersebut mengesankanku. Membuatku kian sadar bahwa menulis memang penting. Sementara di sisi lain, aku juga tahu bahwa diriku punya sesuatu yang layak dibagikan.

Maaf. Ini bukan sebuah pernyataan kesombongan lho, ya. Sekadar upayaku untuk tahu potensi diri saja; supaya aku berani untuk berbagi konten positif lewat tulisan.

Alhasil, aku pun termotivasi penuh untuk rajin menulis. Baik di media daring maupun luring. Apalagi di kemudian hari aku diberitahu oleh seseorang bahwa tulisan pun bisa membawa penulisnya ke surga.

Tentu bila yang kita tulis bernilai kebaikan dan saat menulisnya, kita sudah meniatkannya untuk beribadah.

Luar biasa 'kan? Iming-iming surga pastinya membuat motivsiku kian berlipat ganda. Hingga...

Di sinilah aku sekarang. Meskipun belum menjadi penulis kondang sejagad raya, sudah lumayanlah pencapaianku di dunia kepenulisan.

Belum maksimal memang. Namun setidaknya, aku telah memulai eksistensi sebagai penulis.

Iya, iya. Karena tulisankulah aku merasa sedikit berfaedah bagi sesama. Merasa punya harga diri yang setara dengan kawan-kawan sekolah dulu, bila kami sedang reunian. Hahaha!

Namun tentunya, ada pengorbanan khusus yang kulakukan untuk eksis dengan tulisan. Ya, aku banyak menghabiskan waktu untuk menyuntuki buku-buku dan berlatih menulis.

Dua hal yang tampaknya mudah dilakukan, tetapi pada prakteknya melelahkan bin membosankan jika motivasi kita kurang.

Nah, nah. Kalau semangat membaca dan menulisku mulai kendur, maka aku cepat-cepat mengucapkan mantra berulang-ulang, "Aku menulis maka aku ada. Aku menulis maka aku ada. Aku menulis maka aku ada ...."

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini