Saatnya Ibu Menulis

Saatnya Ibu Menulis
info gambar utama

Awalnya perasaaan jenuh dan mudah uring-uringan. Banyak hal dan informasi masuk dan semuanya menjadi perhatian saya. Hal-hal kecil dan remeh seperti status teman di sosial media sampai hal-hal menyangkut kondisi negara tak luput masuk ke dalam pikiran. Memantik reaksi saya, baik negatif maupun positif.

Dari hari ke hari kondisi ini semakin memburuk. Bila di pembuka hari sudah membaca informasi tidak menyenangkan, bisa dipastikan sampai beberapa jam ke depan, saya tidak bisa melakukan sesuatu secara maksimal sebab perasaan terusik.

Saya akan berulang kali membahas hal tersebut entah dengan mengeluh, menyayangkan, tidak terima atau mempertanyakan tanpa memiliki solusi konkret. Ujung-ujungnya, saya akan mudah emosional dan sensitif sekali.

Suami dan anak sering menjadi sasaran. Ironinya, dan ini sering terjadi, hal-hal yang menguras perhatian itu sebenarnya tidak penting karena tidak berkaitan dengan kehidupan saya sama sekali.

Suami mengajak membicarakan situasi saya itu. Tentunya di saat saya dalam kondisi stabil dan waras agar perbincangan berjalan sesuai rencana. Dia bercerita tentang fenomena banjir informasi dan post truth.

Mengandaikan serbuan berita dan informasi itu seperti makanan yang ditawarkan untuk kita konsumsi. Ada makanan-makanan sehat tetapi banyak pula yang ‘kelihatannya sehat’ namun sebenarnya junk-food, miskin kandungan gizi.

Menghadapi kondisi tersebut, sebagai konsumen, kita diharapkan cerdas dan ‘tidak memakan’ semuanya secara membabi buta. Kita harus belajar menyaring berita sebab jika tidak, maka akan mempengaruhi diri sendiri baik secara pemahaman maupun emosi seperti kasus saya.

Dalam menyaring berita tersebut, ia menyarankan saya mengunakan saringan tiga lapis dari Socrates; merupakan kebenaran, memiliki kebaikan, dan mengandung kegunaan.

Selain menyaring berita, saya pun mendisiplinkan diri dalam memegang gawai apalagi membuka sosial media dengan pemberlakuan jam. Saya memilih banyak membaca buku daripada membuka sosial media atau berita online.

Kelihatannya sepele namun sejujurnya tidak mudah. Duh, otak ini sudah nyaman membaca hal-hal remeh, kontroversial, yang viral dan kekinian daripada bersunyi-sunyi dengan lembaran kertas buku.

Gambar konsep saringan 3 lapis
info gambar

Namun, keputusan kecil yang tidak mudah itu ternyata cukup memberi perbedaan kondisi emosi saya. Benar memang kata orang, bila kita berani mengubah sedikit saja rute perjalanan yang ditempuh setiap hari, maka akan membawa kita pada situasi dan pengalaman yang berbeda pula. Meski pasti awalnya selalu ada rasa gamang dan takut sebab keluar dari kebiasaan.

Setelah mampu memilah dan membatasi dari banjir informasi tersebut, saya pun mulai menantang diri sendiri ke hal lain. Menulis.

Mengapa menulis? Masih memakai pengumpamaan dari suami saya tentang informasi sebagai makanan, maka secara alami ada saat kita memasukkan makanan dan ada saatnya kita mengeluarkan agar tidak menjadi racun dalam tubuh.

Membaca adalah proses memasukkan beragam informasi dalam pemahaman kita, sedangkan menulis menjadi salah satu cara bagaimana informasi yang sudah masuk itu menjadi pengetahuan dan pemahaman kita. Menulis juga bisa menjadi katarsis diri dan kesempatan kita berbagi hal baik kepada yang lain. You can make anything by writing, kata C.S.Lewis.

Dengan menulis, banyak hal ajaib dan tak terbayang datang dalam kehidupan seperti sebuah pesan melalui inbox dari seseorang yang tidak kita kenal mengucapkan terima kasih karena tulisan kita.

Sesuatu yang kadang kerap kita anggap sepele dan kecil namun menjadi pengetahuan orang lain. Membahagiakan, bukan?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EW
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini