Komunitas Menulis: Menginspirasi atau Mengintimidasi ?

Komunitas Menulis: Menginspirasi atau Mengintimidasi ?
info gambar utama

Bagaimana memulai menulis? Pertanyaan yang sering terlontar saat kita mendengar usulan untuk menulis agar keseimbangan emosi terjaga, begitu juga saya.

Saya memang pernah punya pengalaman menulis di majalah, itu pun hanya cerita pendek dalam bahasa Jawa dan beberapa cerita di majalah lokal. selain kebiasan menulis di buku harian.

Pengalaman menulis yang bisa dibilang pas-pasan. Padahal, bagi saya waktu itu, menulis adalah sebuah kegiatan kreatif dan serius yang hanya melahirkan orang-orang luar biasa seperti Pramoedya, J.K. Rowling, Voltaire, Romo Mangun, Umar Kayam atau lainnya. Pemahaman yang sangat membelenggu dan membuat saya tidak berani menulis.

Pemahaman baru yang melahirkan keberanian untuk menulis hadir setelah saya membaca biografi J.K Rowling dan tahu bagaimana hidupnya berubah setelah menulis buku Harry Potter.

Rowling yang saat itu hampir bangkrut dan bukunya ditolak berkali-kali oleh penerbit menemukan jalan kepenulisannya di sebuah kafe di Edinburg.

Ternyata menulis bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemauan dan keberanian, sedikit mendekati nekad, dengan dibumbui kepercayaan diri.

Walaupun telah mendapat pemahaman baru, namun memulai menulis merupakan persoalan lain. Bukan hal mudah memang mengubah sebuah nilai yang telah lama kita percayai dan menggantinya dengan yang baru.

Tidak mudah namun bukan berarti tidak mungkin lho ya. Setelah sekian lama, saya pun memberanikan diri membuat akun di sebuah blog gratis.

“Menulis apa” adalah pertanyaan susulan yang menakutkan saat akan memulai menulis. Termasuk saya yang kesulitan dengan ide. Namun, tekad saya menulis sudah bulat.

Saya pernah ikut komunitas menulis dan belajar tentang seluk beluk menulis mulai dari menentukan tema, membuat ide, dan menjabarkannya ke dalam paragraf.

Saya lupa nama komunitasnya dan hanya dua kali datang, sebab kesulitan mengatur waktu antara bekerja dan berkomunitas. Namun, dari yang sebentar itulah saya memaksa diri untuk terus berani menulis. Meski tentang hal sederhana, remeh, atau sekedar curhatan sekalipun.

Saat memulai menulis di blog, saya masih mengajar di sebuah sekolah formal, sehingga saya masih memiliki “stok bahan” tulisan.

Interaksi bersama murid-murid yang lucu, sedih, konyol, atau ajaib sakalipun, yang biasa menjadi bahan obrolan dengan teman-teman sejawat, saya ceritakan dalam bentuk tulisan.

Yang saya lakukan adalah mengamati dan mendengarkan dengan seksama hal-hal yang terjadi, kemudian menulis ulang dengan menambahkan refleksi dari sudut pandang pribadi. Semacam membuat catatan harian dalam blog.

Keputusan untuk melewati ketakutan akan jeleknya tulisan atau cemooh dari orang, membuka pengalaman baru. Respon positif banyak saya terima.

Di luar dugaan, saya pun mendapat teman-teman baru dari kegiatan ini sehingga menambah semangat untuk terus menulis. Benar memang kata orang, selama tidak mencoba maka kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nantinya.

Saya tidak mengajar lagi sekarang. Sudah berpindah tempat tinggal tetapi tetap mempertahankan kebiasaan menulis. Menulis tidak sekadar memindahkan sebuah cerita ke dalam tulisan, namun juga memberi kita kesempatan untuk belajar memilah ide dan fokus kita.

Selain itu, menulis pun ‘memaksa’ kita untuk memperluas wawasan. Agar tulisan kita tidak monoton, lebih ceria, dan memberi kegunaan bagi pembaca.

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menambah wawasan itu bisa dari membaca buku, ikut dalam suatu pelatihan, atau masuk komunitas. Komunitas di sini bisa yang bersifat online (seperti IIDN) atau juga offline. Banyak komunitas menulis yang bisa kita akses.

Banyak warna yang saya temui ketika melibatkan diri dalam komunitas. Rasa senang dan sedih silih berganti. Senang karena banyak artikel menarik dari sesama anggota yang bisa Saya baca.

Juga undangan untuk terlibat dalam sebuah kegiatan atau mengulas sebuah produk. Namun posisi saya sebagai ibu dengan satu balita tanpa ART memaksa saya harus melewatkan banyak kegiatan di komunitas ini.

Awalnya jengkel dengan situasi ini, namun saya merasa harus berdamai dengan keadaan. Saya pun tetap mencoba menulis walaupun tidak begitu intens terlibat dalam komunitas menulis.

Padahal, walaupun penulis yang bertemu dalam satu komunitas atau menulis tema yang sama, seorang penulis memiliki jalan kepenulisan dan gaya menulis yang tak mungkin sama.

Jika ini yang kita yakini, maka bergabung di sebuah komunitas bukan merupakan sebuah musibah, namun akan menjadi berkah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EW
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini