Ini Dia Si Raja dari Sibolangit

Ini Dia Si Raja dari Sibolangit
info gambar utama

Namanya Troides helena atau commond birdwing, di kalangan umum biasa dikenal dengan sebutan kupu-kupu raja. Di Sumut, ada yang mengembangbiakkan buat lepas ke alam. Bagaimana ceritanya?

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, kupu-kupu ini masuk yang dilindungi. Bahkan lampiran II CITES, dan status International Union for Conservation of Nature (IUCN), ia masuk status red list.

Di Indonesia, Troides, bisa ditemukan di Sumatera. Ada juga di Kepulauan Nias (Sumut) , Enggano, Jawa, Bawean, Kangean, Bali, Lombok, Sumbawa, Bunguran Natuna, Sulawesi, dan Kalimantan.

Di Sumut, selain Nias, kupu-kupu ini sulit dijumpai. Perburuan dan perdagangan ilegal, bikin tambah sulit. Meskipun begitu, ada yang mengembangkan kupu-kupu ini di Dolok Barus, Desa Sikeben, Jalan Bandar Baru Basukum, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumut.

Pemiliknya bernama Dedi Afrianto. Dia sudah bertahun-tahun jadi peternak kupu-kupu terancam punah ini. Ada lima jenis Troides dia ternakkan di Alam Raya milik Dedi ini, yaitu Troides helena, Troides miranda, Troides vandepolli, Troides amphrysus, dan Troides univera. Semua, berhasil kembang biak dan terbang bebas liar di taman buatan Dedi.

Tak sedikit warga dari berbagai daerah datang ke Alam Raya di Sibolangit ini, untuk melihat kehidupan dan proses berkembang kupu-kupu langka, mulai telur hingga jadi kepompong dan jadi kupu-kupu.

Jika beruntung, warga juga bisa melihat kupu-kupu raja belajar terbang, meliuk ke langit dan hinggap di pohon dan bunga yang sengaja ditanam.

Pada Kamis (10/7/17), merupakan jadwal kupu-kupu berkembang mulai telur hingga kupu-kupu. Dedi, terus mengamati dan menjaga agar tidak dimakan pemangsa, salah satu semut. Penyemprotan pemangsa agar perkembangan berjalan normal. Kupu-kupu ini bisa bertahan di ketinggian nol-1.000 meter diatas permukaan laut (Mdpl).

Dedi Afrianto, pemilik peternakan kupu-kupu di Sibolangit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Di alam bebas, terlebih berdekatan dengan Gunung Sinabung, kupu-kupu ini sangat sulit ditemukan. Mereka mati karena ulat memakan debu tersangkut di pohon dan bunga. Di tempat Dedi, pembersihan bunga dan pohon terkena debu Sinabung selalu dilakukan, menjaga ranting dan dahan tetap bersih.

Untuk pengembangbiakkan, katanya, mulai telur sampai jadi kupu-kupu, perlu hingga 70 hari. Peneluran, katanya, hanya bisa satu sampai lima butir perhari, dan perkiraan keberhasilan menjadi ulat dan kupu-kupu sebesar 75%.

Dari bertelur ke ulat (fase pertama) memerlukan 10 hari. Telur berubah menjadi ulat— ciri-ciri ulat corak kuning dan hitam. Fase kedua, ulat jadi besar dengan warna dominan kuning dan bintik lebih jelas.

Ketiga, terlihat bercak hitam lebih menonjol ketimbang warna kuning. Bentuk tubuh ulat juga lebih besar. Sama seperti fase pertama hingga ketiga, perlu 10 hari memasuki fase keempat.

Fase keempat, warna kuning pada bagian tubuh sudah tak terlihat lagi, berubah coklat. Ulat tinggal menggantung mengeluarkan serat seperti tali dan bersiap menjelang jadi kepompong.

Terakhir, setelah kepompong, jadi kupu-kupu perlu dua hari. Kupu-kupu hidup selama 23 hari. Kala jadi kupu-kupu, perlu antara satu hingga dua jam untuk belajar terbang. Kupu-kupu ini memiliki warna kuning dan hitam begitu indah.

Dedi mengatakan, penyebab kupu-kupu raja terancam punah antara lain, faktor perusakan habitat, perburuan dan perdagangan ilegal. Dedi sedih kala ada yang memelihara dalam botol tanpa makanan memadai. Terparah, ada yang membunuh buat diawetkan dengan disiram air keras dalam kondisi hidup.

“Saya berharap biarlah ia terbang bebas. Jangan diburu. Betapa bahagia saat melihat mereka mewarnai hutan dengan bentuk ewarna tubuh mereka yang indah,” ucap Dedi.

Ulat, cikal bakal kupu-kupu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
info gambar

Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini