Inilah Penjaga Sejati Negeri Haruku

Inilah Penjaga Sejati Negeri Haruku
info gambar utama
  • Eliza Marthen Kissya, sengaja memilih jalan sunyi untuk pengabdiannya pada lingkungan di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku
  • Penghargaan Kalpataru yang didapat Eli pada 1985 merupakan bentuk keseriusannya menjaga lingkungan hidup di Haruku
  • Empat puluh tahun mendedikasikan diri sebagai Kewang [pemegang otoritas hukum adat], Eli menghidupkan aturan adat dan menjaga nilai-nila kearifan lokal masyarakat berupa sasi laut, hutan, sungai, dan dalam negeri
  • Eli juga menjaga kehidupan gosong maluku [Eulipoa wallacei], burung yang berkerabat dengan maleo, sebagai kekayaan alam yang harus dilestarikan

Deretan cinderamata berjejer di meja tua kusam. Eliza Marthen Kissya, 70 tahun, sengaja tak meletakkan beragam penghargaan itu pada tempat khusus. Termasuk Piala Kalpataru yang diterimanya 1985 silam.

Om Eli, biasa dipanggil, tinggal di Negeri [Pulau] Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Dia memilih sunyi untuk pengabdiannya pada lingkungan. Meski kiprahnya menggema.

Eli memang tidak muda. Tetapi tidak membosankan. Dia sering berpantun, kadang berpuisi. Atau, memainkan gitar ukulele hitamnya. Semata, ajakan untuk peduli alam.

“Beta (saya) ini kewang Haruku, beta janji berulang kali, katong (kami) ini orang Maluku, merusak lingkungan itu pamali,” pantun Eli saat menyambut kami di rumahnya.

Empat puluh tahun mendedikasikan diri sebagai Kewang [pemegang otoritas hukum adat], bobot lirik lagu yang dia ciptakan kaya makna. Dari sosok Eli, kami menimba kearifan hidup.

“Tak banyak yang bisa saya berikan selain rasa kebahagiaan,” tuturnya.

Eli merasa berutang. Penghargaan sebagai penjuang lingkungan dianggapnya berlebihan.

“Menerima penghargaan itu beban. Mungkin meraihnya gampang, mempertahankan nilainya susah,” ujar lelaki kelahiran 12 Maret 1949.

Demi kecintaannya terhadap lingkungan, Eli menghidupkan tradisi. Menurutnya, kearifan lokal dalam bentuk tradisi mampu menjaga harmoni antara manusia dengan sumber daya alamnya.

Eliza Marthen Kissya mengabdi untuk lingkungan di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku | Foto: Facebook/Eliza Kissya
info gambar

Kewang, katanya, hanya membantu mengawasi aturan. Eli percaya, pangkal dari keteraturan terhadap aturan adalah hidup bersahaja.

Kewang juga difungsikan mendidik masyarakat untuk taat aturan adat. Aturan itu, sifatnya mengikat karena mencakup semua tatanan sosial masyarakat. Setidaknya, di Haruku ada 40 kewang dan dipimpin 1 kepala kewang.

Eli bilang, penggunaan kearifan lokal diyakini solusi dalam rangka pelestarian. “Kearifan lokal ibarat jati diri. Di Negeri Haruku leluhur kami membuat aturan sasi. Kearifan lokal itulah yang kami pegang teguh hingga sekarang,” kata dia.

Sasi adalah larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian alam demi menjaga mutu dan keberlanjutannya.

Masyarakat Haruku mengenal empat jenis sasi: laut, hutan, sungai, dan sasi dalam negeri. Mereka sangat patuh melaksanakannya.

Menjaga telur burung gosong maluku dari segala ancaman hingga menetas dan dikembalikan ke alam, dilakukan Eli dalam empat tahun terakhir | Foto: Facebook/Eliza Kissya
info gambar

Pengawasan

Pengawas pelaksanaan sasi berada di tangan para anggota kewang. Batas wilayah ditentukan mereka melalui tanda. Siapa yang melanggar dikenakan sanksi.

Sasi laut, misalnya, diberlakukan 200 meter dari pesisir pantai ke arah laut. Aturannya, dilarang menangkap ikan dengan alat tangkap apapun sampai sasi dibuka.

“Wilayah yang kami jaga itu rumah ikan [terumbu karang]. Kalau diganggu ikan tidak berkembang,” ujar Eli.

Begitu juga dengan Sungai Learisa Kayeli. Sebagai Kewang Kepala, Eli melarang mencuci dan membuang sampah atau kotoran ke sungai sebagai sumber air baku yang tak boleh dicemari.

Selain itu di sungai tersebut juga berlaku sasi lompa, pantangan menangkap ikan lompa sebelum masa larangan berakhir. Biasanya dibuka setahun sekali pada Oktober.

Berapa pun banyak ikan yang didapat warga, tak boleh diperjualbelikan. Hanya dibagikan ke sesama warga. ”Para janda dan anak yatim diutamakan.”

Pantang lain adalah memetik buah pala, cempedak, nanas, pinang, dan kenari. Buah-buah itu hanya boleh dipetik ketika matang.

Burung gosong maluku | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Burung gosong

Di rumah Eli sekaligus tempat menginap, kami diperlakukan layaknya kerabat. “Bukankah kita semua saudara?,” katanya lagi.

Siang itu, kami disuguhi makan dengan menu ikan hasil tangkapan anaknya. Saat ini tiga anak lelakinya memang tengah diseleksi menjadi Kewang.

Di rumahnya dengan luas lahan satu hektar, Eli membangun labolatorium mini. Sekalipun lulusan sekolah rakyat, Eli berinisiatif membuat penangkaran gosong Maluku [Eulipoa wallacei], burung endemik Maluku.

Setiap hari Eli menelusuri pantai, mencari telur burung gosong yang ukurannya lima kali lebih besar dari telur ayam. Kadang ia memergoki warga yang mengambil telur. Tak jarang dia merogoh kocek pribadi untuk menukarnya.

“Om mau makan telur burung gosong kah? Tidak, saya ingin menetaskan saja untuk nantinya dilepaskan kembali,” ucap dia menirukan pengalaman itu.

Empat tahun penangkaran berjalan, Eli sudah menetaskan ratusan telur burung gosong. Kini, warga yang menemukan telur burung momoa ini di pantai, kerap membawa ke rumah Eli tanpa lagi meminta imbalan.

“Saya ingin mengenalkan ke generasi penerus agar kekayaan alam jangan dirusak. Ini jenis burung setia, saya ingin mempertahankan agar tidak punah.”

Burung ini berkerabat dengan maleo, tergabung dalam kelompok megapoda | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Kenal budaya

Cucu laki-laki Eli, Erlan [12], sering diajak mencari telur burung gosong. Sepulang sekolah atau ketika libur, Erlan juga diajarkan menanam pohon hingga membersihkan sampah laut. Baginya, anak-anak adalah harapan. Alasan itu yang menggerakannya mendirikan perpustakaan serta sanggar seni. Tujuannya satu, anak-anak tidak melupakan budayanya.

Eli berpendapat, membentuk generasi penerus sejak dini adalah keharusan. “Saya ajarkan mereka di alam. Supaya mereka bijaksana dan memiliki rasa kepedulian,” ungkap Eli.

Investasi waktu Eli tidak sia-sia. Pada 2019, kampung kelahirannya diganjar piagam penghargaan Kampung Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].

Eli merendah. Segala pencapaiannya dianggap sebagai jembatan antara niat dan ketulusan. Dia hanya mengkritik, “Banyak orang hanya menanam pohon di spanduk, tidak di tanah. Sayang sekali,” kata dia.

Gosong maluku merupakan burung berkaki besar. Ukuran telurnya juga besar, namun tidak dierami hingga menetas | Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
info gambar

Eli sadar, tantangan yang bakal menggantikan dirinya nanti makin berat. Pemeliharaan lingkungan, bukan metode dan bukan pula hafalan. Seperti lari marathon, jangka panjang dan mesti tahan lama. “Harus ada tenaga yang tumbuh dan mengakar dari kesadaran pribadi.”

Pulau Haruku harus tetap lestari meski otot kaki Eli tidak sekuat dulu. Di dadanya, kecintaan menjaga alam tetap berkobar.

“Doakan saya tetap sehat dan panjang umur ya,” pungkasnya.


Catatan kaki: Ditulis oleh Donny Iqbal dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini