Surga Bawah Laut Teluk Maumere

Surga Bawah Laut Teluk Maumere
info gambar utama

Konon ketika pelaut Portugis, Antonio de Abreu pada tahun 1512 mendarat di sebuah daratan yang dipenuhi oleh bunga flamboyan, dia pun terpesona. Tak lama kemudian dia memberi nama daratan itu Cabo das Flores (Tanjung Bunga). Nama itu lalu dipakai untuk menamai seluruh daratan itu, Pulau Flores, seperti kita kenal sekarang.

Namun ada versi lain yang menyebutkan, sebenarnya bukan bunga di darat yang Abreu lihat, namun dia menamakan daratan itu saat dia terpesona dengan bunga yang bermekaran di bawah lautan yang jernih.

Bunga di bawah laut, apa itu? Rasanya tak kurang dan bukan adalah ragam biota laut, yang jika dilihat dari atas permukaan laut biru yang jernih, tampak seperti rangkaian bunga warna-warni.

Entah mana versi yang benar. Saya pun tak tahu. Tapi satu hal yang nyata adalah Flores memiliki wilayah perairan yang kaya dengan kehidupan biota lautnya.

Yellow Leaf Fish, Taenianotus triacanthus, ikan unik yang dapat dijumpai di perairan terumbu karang | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Salah satunya yang paling terkenal dan dikembangkan menjadi spot selam adalah Teluk Maumere di Kabupaten Sikka. Dengan semakin lancarnya penerbangan pesawat yang menghubungkan Maumere dengan kota-kota lain seperti Denpasar, Kupang, Labuan Bajo dan Makassar, kedepannya wilayah ini rasanya bakal berprospek cerah.

Sebagai spot menyelam, lokasi ini telah menjadi andalan destinasi wisata oleh Pemda setempat. Bahkan pada tahun 2017, Yoseph Ansar Rera, Bupati Sikka pernah mendapat penghargaan Anugerah Pesona Indonesia (API) sebagai The Most Popular Diving Spot. Teluk Maumere pun disebut-sebut sebagai satu dari sembilan spot diving terbaik yang ada di Indonesia.

Keunikannya terletak di ekosistem teluk dengan beberapa pulau kecil yang ada di sekitarnya, diantaranya yang terkenal spot diving nya adalah Pulau Besar, Dambilah, Permaan, Pangabatang, Pemana Besar, dan Pulau Babi.

Tak hanya terumbu karang, penelitian COREMAP (2015), menyebut perairan ini memiliki padang lamun dan mangrove. Keduanya berperan penting sebagai sumber nutrisi dan tempat hidup banyak biota laut.

Deep in blue. Beragam keunikan biota di bawah perairan Teluk Maumere | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

***

Perjanan saya sendiri bermula dari Sea World Club, sebuah dive center, yang terletak sekitar 30 menit arah timur kota Maumere dengan kendaraan. Dengan mobil layanan dari Dive Center, kami menuju pelabuhan nelayan Nangahale, untuk kemudian berpindah dengan kapal nelayan. Tujuan kami adalah spot Watugogo dan Teluk di seputaran Pulau Besar dan Pangabatang.

Impresi pertama yang saya dapatkan adalah perairan ini masih alami. Tingkat kecerahan (visibility) dalam air pun baik sehingga cocok untuk mengambil foto biota laut. Berbeda dengan beberapa spot selam yang pernah saya kunjungi sebelumnya.

Ada pengaruh pula akan geografis perairannya yang agak terlindung daratan, yang membuat arus laut tak terlalu besar.

Di sisi lain, terumbu karang pun masih terjaga. Konon sejak kawasan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah wisata laut (Marine Nature Tourist Park), praktik pemboman ikan dilarang. Nelayan dialihkan kepada penggunaan alat yang lebih ramah lingkungan.

Di titik penyelaman Watugogo, lokasi selam cenderung landai. Pada kedalaman 8 meter, mulai terdapat lereng (slope) yang dipenuhi oleh terumbu. Biota pun bervarisi, beberapa jenis hard coral dapat dijumpai di lokasi ini. Salah satunya adanya karang otak (brain coral) berukuran medium. Ikan-ikan yang bersirip kuning pun wira-wiri di sini.

Brain coral, Lobophyllia sp, dinamai karang otak karena bentuknya yang unik mirip otak manusia | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Formasi terumbu karang ini dapat terus ditelusuri hingga semakin ke dalam reef. Lewat Dive computer di tangan, saya mencatat dasar substra berpasir dijumpai pada kedalaman sekitar 26 meter.

Titik penyelaman kedua, Teluk, letaknya di lepas pantai Pangabatang yang menurut saya lebih menarik. Tak jauh dari titik selam, terhampar vegetasi mangrove yang masih asri.

Mangrove yang sehat, membuktikan perairan ini kaya dengan nutrisi, biota laut pun mudah dijumpai. Berbagai terumbu tumbuh sehat di perairan ini.

Saat diselami, visibility nya luar biasa, cerah. Biota laut pun bervariasi. Saya menjumpai leaf fish, bersembunyi di balik tumpukan karang. Ikan ini perawakannya unik, bagian kepalanya “berjambul” mirip helm tentara romawi.

Dan voila, si kecil itu pun muncul. Tampak clown fish alias ikan nemo yang sedang menari-nari di atas anemon. Meski tampaknya menggemaskan, nemo ini termasuk spesies yang mampu beradaptasi dengan anemon.

Clown fish, anemonefish, atau populer dengan nama ikan nemo. Ikan energik ini hidup mutualistik dengan anemon | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Tak sembarang biota mampu hidup bersama dengan anemon berwarna cerah yang memiliki tentakel yang menyengat. Nemo adalah salah satu jenis ikan perkecualiannya. Kedua spesies ini mampu menciptakan hubungan yang saling menguntukan (simbiosis mutualistik).

Beberapa jenis soft coral juga dapat dijumpai. Tak heran jika di tempat ini, waktu banyak dihabiskan di kedalaman 8-15 meter. Standar penyelaman untuk diver yang ingin bersenang-senang mengabadikan beragam biota yang ada.

Sayang, perjalanan kali ini dibatasi oleh waktu.

Meski puas melihat di bawah perairan di dua titik selam, belum semua dapat terlihat. Termasuk yang paling fenomenal, bekas patahan peristiwa tsunami 1992 di dekat perairan Pulau Babi yang dapat dilihat di bawah laut.

Konon, menurut beberapa penyelam senior dinding patahan bawah laut masih dapat dijumpai. Biotanya pun pasca tsunami biota laut telah mampu memulihkan diri. Bahkan lebih baik kondisinya sebelum terjadi tsunami.

Dengan banyaknya titik-titik selam di Teluk Maumere, -sekitar 25 titik dari yang telah dipetakan dari peta dive center, saya perkirakan dibutuhkan 1-2 minggu untuk dapat menikmati ini semua.

Saya bergumam pada diri sendiri, suatu saat akan kembali ke sini. Semoga Teluk Maumere tetap lestari.


Catatan kaki: Ditulis oleh Ridzki R Sigit dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini