Membaca, Menganalisa, dan Memahami Kunci Menangkal Hoaks di Era Kini

Membaca, Menganalisa, dan Memahami Kunci Menangkal Hoaks di Era Kini
info gambar utama

Masih ingat dengan video viral soal biskuit yang mudah terbakar? Berita ini cukup menghebohkan di tahun 2016. Sampai-sampai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu melakukan klarifikasi untuk menangkal penyebaran berita hoaks ini.

Seperti dikutip dari laman resminya (10/1) BPOM menjelaskan bahwa produk pangan yang mengandung lemak atau minyak dengan kadar air rendah terutama yang berbentuk tipis berpori seperti krupuk, krekers, dan makanan ringan lainnya dapat terbakar/menyala bila disulut dengan api.

Selain itu BPOM juga menegaskan bahwa mudahnya produk tersebut terbakar atau menyala tidak membuktikan adanya kandungan plastik atau lilin dalam produk pangan. Untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut tentu saja diperlukan pengujian lebih lanjut di laboratorium.

Oktober 2018, usai terjadinya tsunami di Palu akibat gempa berkekuatan 7,4 SR, beredar pesan di aplikasi WhatsApp mengenai gempa susulan dengan kekuatan lebih dari 8,1 SR dan berpotensi tsunami.

Dikutip dari Kompas (10/1) pesan yang konon didapatkan dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) tersebut rupanya tidak benar. Kepala BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, bahkan menegaskan berita tersebut sejatinya bohong belaka.

Masih di bulan yang sama, dikabarkan wajah Ratna Sarumpaet babak belur karena dipukuli sekelompok orang. Tanpa verifikasi ulang, berita tersebut diunggah oleh banyak orang.

Bahkan para tokoh politik pun turut serta melakukannya. Belakangan diketahui lebam-lebam di wajah Ratna Sarumpaet disebabkan oleh operasi plastik, bukan dianiaya orang.

Maraknya berita-berita bohong semacam itu tak jarang disebabkan oleh rendahnya minat baca. Mengapa demikian? Rupanya minat baca yang kurang mempengaruhi kemampuan kita dalam berpikir kritis.

Hal ini diperparah dengan banyaknya waktu yang kita habiskan untuk berkutat di dunia maya. Berjam-jam online ternyata menyebabkan kita kurang detil kala membaca berita.

Dengan mengandalkan judul semata, langsung membagikan informasi tersebut begitu saja. Tidak hanya itu, keinginan menjadi yang pertama dan terdepan dalam membagikan berita, bisa membuat kita keliru mengambil keputusan.

Intuisi yang seharusnya jalan tidak berfungsi sehingga berita hoaks pun kita sebarkan.

Agar terhindar dari hal-hal demikian yang perlu kita lakukan adalah langkah-langkah berikut ini:

Membaca

Perbanyak membaca untuk meningkatkan wawasan dan daya nalar kita. Dengan demikian kita mampu menyaring serbuan informasi yang membanjiri kita setiap hari.

Dikutip dari laman Reader Digest (11/1), kegemaran membaca mampu meningkatkan kekuatan otak kita, terutama membaca buku. Buku mampu mendorong seseorang untuk membaca lebih dalam sekaligus memaksa otak untuk berpikir kritis.

Sebaliknya keengganan membaca menjadikan kita kurang kritis dan cenderung menerima begitu saja gagasan yang dipaparkan di depan mata tanpa perlu meninjau ulang akurasinya.

Akibatnya bisa ditebak, kita mudah saja menelan berita-berita dengan judul provokatif atau foto yang menggiring simpati tanpa perlu mengecek dua kali. Baik fakta atau referensi beritanya.

Begitu saja disebar, sampai kemudian terbukti bahwa informasi tersebut jauh dari kebenaran. Tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah, tetapi juga di kalangan menengah ke atas yang notabene berpendidikan tinggi.

Menganalisa

Jangan terburu nafsu sewaktu membaca berita-berita dengan judul provokatif yang tersebar via WhatsApp atau akun media sosial. Sebab tidak semua informasi yang tersebar di ranah publik melewati proses verifikasi yang benar.

Berdiam dirilah sejenak untuk menelaah dan menganalisa apa tujuan berita itu dibuat. Sekedar menggiring opini atau justru mendorong kita untuk mengklik link berita ke satu situs tertentu (clickbait)?

Langkah berikutnya adalah memeriksa sumbernya. Cari tahu apakah laman berita tersebut memiliki kredibilitas atau tidak. Jika bukan dari sumber terkenal bisa jadi informasi yang didapat palsu. Apabila kita mendengarnya dari seseorang. Periksalah latar belakangnya. Apakah ia berkompeten atau sebaliknya.

Ini penting dilakukan agar kita tak terjebak dalam lingkaran berita hoaks. Jangan lupa periksa berbagai fakta yang ada, siapa tahu berita atau informasi yang kita terima sudah dipelintir untuk kepentingan tertentu.

Maklumlah kita memiliki kecenderungan untuk menerima dan membagikan informasi yang mendukung keyakinan kita.

Satu hal yang tak boleh luput diperiksa adalah keaslian gambar. Di era digital seperti sekarang, foto bisa saja direkayasa untuk memprovokasi pembacanya.

Cari tahu asli tidaknya dengan memanfaatkan Google Image. Kita tinggal drag and drop foto di sana, berikutnya akan muncul hasil pencarian gambar-gambar serupa di internet sebagai pembanding.

Dengan langkah-langkah di atas kita bisa mendapatkan berbagai bukti yang membantu kita menganalisa apakah informasi yang kita terima bohong atau benar adanya.

Memahami

Beredarnya berita hoaks memang menjadi persoalan serius bagi negeri ini. Isu-isu negatif seputar suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) memberi pengaruh buruk bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk mengantisipasi kita perlu memahami betul bahaya dan cara-cara mencegah penyebarannya. Hal ini dimaksudkan agar kita tak menjadi korban dari fitnah, berita, atau informasi yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Bagaimana cara mencegahnya? Sederhana saja. Apabila kita menggunakan Facebook, klik fitur report status dan laporkan sebagai ujaran kebencian atau kategori lain yang sesuai. Pihak Facebook akan menghapus status tersebut apabila banyak netizen mengadukannya.

Bila anda pengguna Twitter, cukup laporkan twit negatif yang kita maksudkan. Begitu pula dengan konten yang diunggah di Instagram. Terkait konten hoaks di internet kita bisa mengirim aduan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika lewat email aduankonten@mail.kominfo.go.id.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AY
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini