Peran Ibu dalam Arus Literasi Media

Peran Ibu dalam Arus Literasi Media
info gambar utama

Entah akan berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, seorang perempuan wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu yang cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas (Dian Sastro Wardoyo).

Serangan arus informasi di era digital sekarang ini semakin tidak terbendung, konten berisi persoalan dan isu terus bertebaran di linimasa media sosial.

Kini, hampir setiap orang tidak bisa lepas dari internet dan media sosial. Termasuk ibu-ibu, keberadaan ponsel pintar saat ini adalah sebuah anugerah. Pertempuran kaum ibu tidak lagi hanya seputar ulekan di dapur.

Misalnya, sambil menunggu panggilan tempe minta diangkat dari penggorengan, bisa check and recheck segala berita terbaru, termasuk gosip artis skala internasional hingga RT lewat gawai.

Bahkan, bisa menuliskan cerita sehari-hari di media sosial, atau yang lebih dikenal dengan sebutan update status. Bukankah ini kabar baik? Ibu-ibu membaca dan menulis.

Fenomena ini hendaknya mampu kita sikapi lebih bijak. Ya, ibu-ibu di era digital harus menjadi agen literasi. Sebab, di tengah serangan informasi saat ini, banyak orang tidak bertanggungjawab yang terus menerus memproduksi konten negatif, seperti hoaks.

Menurut KBBI, hoaks adalah berita bohong. Kehadiran hoaks merupakan patologi sosial yang harus dihentikan. Kehidupan berbangsa yang majemuk dari segi suku, agama, ras, dan antargolongan harus dijaga sebagai sebuah anugerah dalam perbedaan, bukan pertentangan satu sama lain.

Membaca dan menulis pernah menjadi stimulus dan modal untuk mendobrak zaman yang dirasa tidak adil, sejarah panjang literasi perempuan di Indonesia tidak bisa lepas dari perjuangan R.A Kartini, dan perjuangan ini belum berakhir.

Kiranya, semangat terhadap literasi tetap selalu diaktualisasikan, standing applause bagi ibu-ibu dengan segudang pekerjaan baik rumah tangga yang tidak ada habisnya bak sinetron, maupun ibu yang berkarier di luar rumah. Tapi, masih memberikan waktu untuk menulis dan membaca.

Sebut saja Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), komunitas tersebut bukan kumpulan ibu-ibu yang kurang pekerjaan. Kesadaran literasi memanggil ibu-ibu untuk lebih mengenalkan diri minimal pada anak-anaknya yang lahir di era digital, kemudian memasukan ide dan gagasan orang tua yang sesuai dengan konsep zaman milenial, melalui tulisan misalnya.

Ya, karena tulisan merupakan karya ilmiah yang bersifat argumen, bukan sentimen. Cara berpikir anak zaman now yang kritis, membuat seorang ibu harus melek informasi, menyerapnya dengan baik dan menjadi bahan diskusi dalam keluarga.

Kesadaran literasi yang dalam prestasinya telah membentuk ibu-ibu milenial untuk menulis berbagai aspek kehidupan di media, diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam memberikan gagasan positif dan filter terbaik dari konten-konten negatif.

The power of emak-emak, saat ini menjadi jargon paling cantik yang mengandung sihir, bahwa perempuan selalu benar. Kaum ibu bisa memanfaatkan jargon tersebut untuk menggiring opini publik pada aktivitas dan pikiran positif.

Banyak wadah yang bisa dijadikan sarana bagi ibu-ibu untuk menjadi agen literasi. Misalnya seperti di bawah ini:

Blog

Blog adalah salah satu wadah bagi ibu-ibu dalam menyuarakan pendapat, berbagi pengalaman, observasi, dan lain sebagainya melalui tulisan. Blog bisa dikelola secara personal atau oleh beberapa penulis.

Tulisan bisa berupa artikel, mulai dari urusan angkat jemuran, popok anak, bahkan berpendapat dalam dunia politik. Atau berupa tulisan fiksi, cerita-cerita sarat makna seperti dongeng sebelum tidur, yang menyisipkan pesan moral terselubung.

Komunitas menulis

Dewasa ini, banyak komunitas menulis khusus untuk perempuan. Tak jarang, anggota komunitas tersebut banyak yang berstatus ibu-ibu. Komunitas ini menjadi sarana belajar ibu-ibu dalam menulis, berbagai pelatihan dan lomba dihadirkan untuk mengasah kemampuan dan melatih kebiasaan menulis. Hal ini membantu konsistensi ibu-ibu menjaga semangat menulis.

Media massa

Sejarah literasi telah mencetak penulis-penulis perempuan di Indonesia. Ini adalah tanda, adanya kebebasan ruang gerak perempuan untuk menulis, baik tua maupun muda.

Perempuan menuangkan segala pikiran, imajinasi, ide, dan pengalamannya dalam tulisan kemudian dibaca oleh banyak orang melalui media massa. Sejarah literasi tidak lagi hanya mencatat penulis pria.

Media sosial

Ini yang paling mudah, tulisan tidak perlu riset dan tidak ada aturan PUEBI juga KBBI. Yang ringan-ringan saja, seperti kegiatan sehari-hari. Benda berbentuk pipih yang acapkali membantu ibu-ibu dalam berbagai aktivitas, bisa dimanfaatkan juga untuk berbagi ide, gagasan dan pengalaman dengan instal aplikasi media sosial.

Ya, ponsel pintar yang selalu dalam genggaman sejatinya dijadikan sarana untuk berselancar di dunia maya dalam berbagi hal positif.

“Demi sepiring nasi hangat dan balado ikan teri, mari Maaak kibaskan daster! Mengiris bawang dan menumis perasaan, agar selamat sampai perut dan hati keluarga kita. Bumbunya gula dan garam saja, itu cukup menjaga pikiran tetap terbuka. Emak punya kuasa dalam urusan makanan, paling tahu mana bumbu yang baik dan mana yang berlebihan. Tidak perlu pake pengawet, biar cepet habis.”

Bolehlah disertai swafoto dengan ikan teri dalam penggorengan dan senyum duckface sambil menyilangkan jempol dan telunjuk sebagai love sign ala-ala drama Korea. Tapi ingat, senyumnya jangan di-edit, nanti dikira hoaks.

Ini merupakan perwujudan nyata derap kesinambungan semangat Kartini. Perempuan penulis mempunyai peran penting dalam mengangkat derajat sebagai manusia, menjaga martabat keluarga, dan kemajuan bangsa.

Alangkah baiknya, jika tulisan-tulisan tersebut menjadi influencer untuk membersihkan masyarakat dari timbunan hoaks.

Ibu dengan segala peran maupun karakternya menyimpan potensi besar untuk menyuarakan, menumbuhkan, dan membudayakan literasi media. Di tangan seorang ibu, sebuah generasi dan kehidupan bermasyarakat mulai dibangun. Sangat tepat jika kaum ibu diberikan ruang literasi media.

Peran ibu ini harus dibangun, minimal membentengi kehidupan keluarganya dari hoaks. Ibu harus ikut andil dalam menyaring dan mengontrol setiap hoaks yang singgah ke dalam rumah.

Sederhana, dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil yaitu keluarga, setidaknya hoaks akan terputus penyebarannya.

Banyak membaca akan menambah wawasan, sehingga seorang ibu dapat mengambil tempat dalam diskusi topik terhangat yang terjadi di luar rumah, ditambah dengan menuliskan diskusi tersebut sebagai tips menyaring peredaran informasi.

Kenapa ibu? Karena ibu memiliki cara yang lebih lembut dalam pendekatan emosional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DL
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini