Perempuan Penulis dan Hoaks

Perempuan Penulis dan Hoaks
info gambar utama

Pilpres-Pileg 2019 lalu menyisakan kesedihan tersendiri bagi saya. Bukan sebab capres-caleg pilihan saya kalah. Bukan pula karena saya merupakan caleg gagal. Ah, siapalah saya ini kok sampai menjadi caleg? Seperti tak ada orang lain saja.

Lalu, apa penyebab kesedihan tersebut? Tak lain dan tak bukan, yang menjadi penyebab adalah banyaknya kawan yang terpapar hoaks. Bagaimana saya bisa yakin kalau mereka terpapar hoaks?

Jelas yakin, dong. Indikasinya jelas sekali. Terpampang nyata pada status-status dan komentar-komentar mereka di media sosial.

Sudahlah. Tak usah yang rumit-rumit. Untuk hoaks enteng-entengan (pinjam istilah Pak Amien Rais) yang berupa foto atau video editan saja, banyak kawan yang terjebak.

Bayangkan saja. Betapa saya tak bersedih ketika mendapati seorang kawan demikian mempercayai sebuah hoaks yang berupa... video editan dengan aplikasi Tik Tok!

Benarlah pendapat yang menyatakan bahwa kualitas asli seseorang bisa terpantul dari kiprahnya di sosial media, terkhusus pada detik-detik menjelang pilpres-pileg.

Bagaimana caranya bereaksi terhadap suatu peristiwa? Pilihan kalimatnya untuk nyetatus dan berkomentar seperti apa? Dan sebagainya.

Yang semua secara natural menunjukkan keaslian watak dan kadar berliterasi digitalnya. Bahkan, menunjukkan pula tingkat kepahamannya terhadap "tema" yang dibahas.

Apa boleh buat? Tingkat pendidikan kawan-kawan saya yang tinggi sepertinya tak berkorelasi dengan kemampuan mereka dalam menghadapi serbuan hoaks.

Yeah! Sekali lagi, apa boleh buat? Seorang doktor pun bisa minim referensi dan kadar literasi digitalnya. Yang ujung-ujungnya akan bikin status baper.

Apalagi kalau kemudian dikaitkan dengan politik dan agama. Wah! Dijamin tambah runyam. Tingkat kebaperan pun meninggi bila si pembaca hoaks berjenis kelamin perempuan. Wah, wah, wah! Bisa makin kacau balau.

Meskipun sangat berat, saya masih sanggup untuk memaklumi kekonyolan kawan-kawan tersebut. Terutama mereka yang berjenis kelamin perempuan.

Konon perempuan lebih mudah tersulut emosinya 'kan? Namun, saya tak mau memaklumi bila kekonyolan tersebut dilakukan oleh kawan-kawan yang berprofesi sebagai penulis.

Hmm. Penulis kok mudah terpapar hoaks? Pasti kurang membaca, tuh. Atau, cuma membaca referensi-referensi yang sejalan dengan pemikirannya. Yang berarti menutup diri dari pemikiran orang lain. Yang berarti egois dan merasa paling pintar. Iya 'kan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah berita bohong, yang dalam bahasa Inggris juga disebut fake news. Yakni berita yang dibuat tidak berdasarkan kenyataan.

Berdasarkan penjelasan singkat ini saja, serta-merta kita bisa menyimpulkan bahwa hoaks tidak boleh dipercaya. Iya 'kan?

Bahkan dalam kacamata Islam, hoaks itu dinyatakan serupa dengan fitnah. Dengan demikian, pembuat-penyebar hoaks sama dengan pembuat-penyebar fitnah. Dosanya sama.

Meskipun sebagian orang berusaha berkelit, dengan berbagai alibi mencoba membedakan hoaks dan fitnah, keduanya tetaplah bersinonim. Secara umum tak ada bedanya. Cuma berbeda dalam istilah. Paling tidak, demikian itulah yang saya pahami.

Nah! Karena hoaks merupakan berita bohong, otomatis siapa pun pembuat-penyebarnya berdosa. Sekalipun tujuannya demi kebaikan, tetap saja berdosa. Apalagi kalau tujuannya memang untuk buruk. Misalnya untuk menghancurkan reputasi seseorang.

Itulah sebabnya saya demikian gemas ketika seorang kawan perempuan berkomentar santai perihal hoaks, "Biarin sajalah nyebar hoaks. Yang penting bahagia."

Hadeh! Tidakkah dia yang berpenampilan rapi agamis itu tahu makna hoaks? Apa maksud komentar santainya itu? Apakah dia terbiasa berbahagia di atas kehancuran orang/pihak lain akibat hoaks yang disemburkannya? Apakah dia pikir bahwa memproduksi hoaks itu tidak berdosa? Huft!

Saya kira kawan-kawan penulis perempuan telah mafhum jika idealnya, seorang penulis tak boleh terpapar hoaks. Apalagi sampai menyuguhkan konten hoaks dalam tulisannya. Akan tetapi prakteknya, masih banyak dari mereka yang terjebak hoaks.

Mengapa hal itu terjadi? Ada banyak penyebabnya. Antara lain (1) hanya membaca sumber referensi yang sejalan dengan pemikirannya, (2) memang kurang membaca referensi, (3) kemampuan literasi digitalnya kurang memadai, (4) hati dan pikirannya sudah distel tidak netral, (5) tidak paham makna hoaks yang sesungguhnya, (6) tidak paham tentang besarnya bahaya hoaks.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu cerita "ringan" terkait hoaks, yakni cerita tentang cuitan Kaesang, putra bungsu Presiden Jokowi.

Beberapa waktu lalu ia menjawab pertanyaan seorang warganet yang menjadi follower Twitter-nya. Warganet itu menanyakan harga outfit yang dipakai Kaesang, yang spontan dijawab dengan harga-harga fantastis dan tidak masuk akal sebab terlalu mahalnya.

Eh, beberapa waktu kemudian muncul berita di sebuah portal online. Berita apa? Berita apa lagi kalau bukan soal harga fantastis outfit Kaesang. Ya ampuuun! Candaan Twitter saja bisa digoreng jadi hoaks 'kan?

Yang (tentu saja) berita "panas" tersebut menuai sederet komentar tak mengenakkan dari warganet. Salah satunya, "Laknatullah. Rakyat sedang hidup sengsara malah pamer kekayaan."

Nah, lho! Si penyusun beritanya telah menzalimi Kaesang, tuh. Membuat khalayak menghujat Kaesang, padahal sebenarnya tak tahu ujung pangkalnya. Tak pelak lagi. Itulah jahatnya hoaks.

Wahai kawan-kawan sesama penulis perempuan, tolong lebih berhati-hati dalam menulis ya. Waspadalah terhadap ancaman hoaks. Janganlah terjebak untuk membuat dan menyebarkan hoaks. Seenteng apa pun itu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini