Perempuan Penulis dalam Sejarah Sastra Indonesia

Perempuan Penulis dalam Sejarah Sastra Indonesia
info gambar utama

Sejarah sastra Indonesia mencatat betapa banyak sastrawan kita yang memberi warna dalam rangkaian perjalanannya. Mereka hadir dan bermetamorfosis.

Proses panjang tersebut masih terus berjalan hingga detik ini. ‘Jalan’ apa yang sudah ditempuh, tentunya kita perlu mengetahuinya.

Secara urutan waktu, sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, dan karya sastra yang lahir dalam periode tertentu memiliki satu ciri khas yang membedakannya dengan angkatan lainnya.

Angkatan Balai Pustaka, contohnya, roman angkatan ini bercirikan:

  • Bersifat kedaerahan karena mengungkap pokok persoalan di daerah tertentu saja, khususnya Sumatra Barat.
  • Cenderung romanti-sentimental di mana tokoh utama dalam roman angkatan ini kebanyakan dimatikan atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
  • Bertema sosial, tidak mengandung unsur politik, tidak menyinggung golongan tertentu, dan tidak pula memihak satu agama.

Setiap periode sastra tersebut selalu memunculkan para sastrawan yang menjadi ikon dalam setiap zamannya. Kita tentu mengenal beberapa nama seperti Marah Rusli, H.B. Jassin, Sutan takdir Alisyahbana, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Andrea Hirata, dan lain-lain sebagai tokoh sastra yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya di dunia sastra.

Bukan tanpa sebab, karena mereka menjadi sastrawan produktif yang menjadi tolok ukur bagi generasi selanjutnya.

Kalau boleh jujur, dalam periode sastra yang kita kenal, peran yang dimainkan para sastrawan tersebut cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Didorong oleh rasa penasaran, penulis mencoba menelusuri jejak adakah perempuan penulis pada awal-awal periode sastra Indonesia.

Penulis menemukan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis oleh Ajip Rosidi tahun 1991 dalam bentuk PDF. Terdapat sub-judul tentang para pengarang wanita.

Uraiannya dimulai pada periode 1933-1942, saat lahirnya majalah Poedjangga Baroe. Di situ disebutkan bahwa pada masa sebelum perang, tidak banyak ditemukan pengarang wanita Indonesia.

Ada satu yang sangat terkenal yakni Selasih atau Seleguri. Nama aslinya Sariamin Ismail. Beliau dilahirkan di Talu, Talamau, Pasaman barat, Sumatra Barat, 31 Juli 1909. Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937) adalah karya Sariamin.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sedikit sekali perempuan penulis di awal-awal periode sastra Indonesia? Padahal di zaman sekarang, telah kita temui beberapa perempuan sastrawan Indonesia dalam membawa angin perubahan kesusastraan.

Posisi perempuan

Kalau kita menengok kembali ke masa silam, posisi perempuan kala itu benar-benar tidak menguntungkan. Di setiap segi kehidupan, mereka terkesan lemah dan menjadi warga kelas dua. Mereka berada di bawah bayang keperkasaan laki-laki.

Tidak mengherankan memang, bahkan jauh sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab, wanita berada dalam puncak kehinaan. Mereka tidak memiliki hak untuk mengungkapkan pikiran dan permasalahan hidupnya. Wanita di zaman jahiliyah merupakan obyek pemuas nafsu, alat jual beli, dan hadiah persembahan.

Adapun di kalangan masyarakat Yahudi di zaman dahulu, wanita adalah makhluk rendah dan hina. Wanita ibarat barang tak berharga yang dapat dibeli di pasar-pasar. Hak-hak wanita dikekang dan mereka tidak berhak mendapat warisan.

Di Indonesia sendiri, keadaannya tidaklah jauh berbeda. Di masa lampau, wanita Indonesia bernasib sama seperti wanita di belahan bumi lain. Kentalnya budaya patriarki di zaman kerajaan yang masih terus diturunkan hingga saat ini membuat wanita tidak memiliki hak apapun atas hidupnya.

Ketidakpuasan terhadap keadaan yang menghimpitnya, wanita Indonesia perlahan mulai menggeliat. Hal itupun merebak ke sendi-sendi kehidupan yang lain, sastra, salah satu contohnya.

Pengarang wanita dari zaman ke zaman

Sejarah mencatat bahwa ada beberapa nama pengarang wanita dalam periode sastra. Ajip Rosidi menyebutkan bahwa setidaknya ada 6 pengarang wanita yang bersinar zamannya.

Periode 1933-1942, ada Selasih atau Seleguri yang bernama asli Sariamin Ismail. Selain Selasih, ada juga Hamidah atau Fatimah H. Delais (1914-1953), roman yang ditulisnya berjudul Kehilangan Mestika (1935). Keduanya sama-sama mengungkapkan kemalangan dan kesedihan pelaku.

Lalu, Adlin Affandi dan Sa’adah Alim. Berbeda dengan Selasih dan Hamidah, Sa’adah Alim berani menentang adat. Dialah satu-satunya wanita pengarang drama waktu itu.

Karya-karya Sa’adah berkisar tentang pertemuan dan perceraian yang akhirnya terjadi pertemuan kembali dengan keadaan yang lebih bahagia.

Pada saat menjelang Jepang datang, muncullah Maria Amin yang menulis sajak di majalah Poedjangga Baroe. Maria Amin kala itu merasa kecewa dengan kehidupan sosial politik kala itu, ia pun menyampaikan gagasan-gagasannya dalam dunia simbolik.

Setelah perang kemerdekaan atau sekitar tahun lima puluhan, muncullah nama-nama pengarang wanita yang lebih banyak. Di antaranya adalah Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani). Walujati dan St. Nuraini lebih dikenal sebagi penyair. S. Rukiah dikenal sebagai penyair sekaligus penulis prosa.

Waktu bergulir dan generasi sesudah Ida Nasution, lahirlah N.H. Dini. Cerpen-cerpennya menunjukkan perhatiannya terhadap kepincangan-kepincangan sosial.

Hingga periode 1962 sampai tahun 70-an, perempuan pengarang mulai bertaburan di dunia sastra Indonesia. Nama-nama seperti Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Erni Siswati Hutomo, Titie Said, Enny Sumargo, Rayani Sriwidodo, Mira W, Marga T, La Rose, dan lain-lain.

Tiga perempuan pengarang terakhir dikenal karena fiksi romantis yang mejadi ciri novel yang ditulisnya.

Pada periode tahun 1990-an sampai sekarang muncullah sejumlah perempuan pengarang yang semakin banyak. Ini berarti ruang bagi perempuan berkarya jauh lebih baik dibandingkan dengan masa-masa awal kelahiran sastra Indonesia.

Di periode ini kita mengenal Dorothea Rosa Herliany, Nenden Lilis Aisyah, Ayu Utami, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Fira Basuki, Ana Maryam, Ratih Kumala, Dewi Sartika, Ani Sekarningsih, dan lain-lain.

Tema-tema cerita yang mereka pilih pun beragam seiring perkembangan zaman. Pada periode 1990-an misalnya, perubahan estetika sastra berubah sejak kehadiran novel Saman karya Ayu Utami.

Ayu Utami begitu berani mengeksploitasi tubuh dengan diksi-diksi yang menjurus kepada seks telah menyentak dunia sasta. Sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan diungkapkan di depan khalayak, karena dianggap bersinggungan dengan nilai-nilai budaya timur yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

Keberaniannya pun menuai pujian, tak jarang pula ia menuai kritikan. Tapi, begitulah sastra.

Kesimpulan

Terbatasnya hak yang dimiliki wanita Indonesia untuk mengungkapkan segala pemikirannya pada zaman dahulu, kini telah tersingkap. Wanita yang dulu dipandang sebelah mata dan hanya dijadikan obyek semata, kini memilih untuk menjadi pelaku perubahan.

Wanita penulis di zaman sekarang pun leluasa menuangkan hasil pemikirannya. Dulu, pengarang wanita Indonesia menuliskan romansa kesedihan seputar kehidupan mereka, berkutat tentang kodrat mereka sebagai perempuan.

Sekarang, seiring perkembangan zaman dan gaya hidup, arah tulisan pun berubah.

Karya sastra merupakan cerminan suatu zaman. Ungkapan tersebut memang benar adanya. Jika ingin mengetahui keadaan suatu kaum atau masyarakat, maka lihatlah bagaimana karya sastra di tengah-tengah masyarakatnya.

Semakin baik keadaan masyarakat, maka semakin baik pula karya sastra. Begitu pun sebaliknya. Gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra terbangun dalam zaman ketika karya sastra tersebut lahir.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RO
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini