Suasana Hutan Bambu Arashiyama di Bali

Suasana Hutan Bambu Arashiyama di Bali
info gambar utama

Pulau Bali mempunyai banyak sekali hutan bambu yang terdapat di beberapa desa, salah satunya di Desa Penglipuran di Bangli. Desa ini menata dan mengelolanya dengan serius, sehingga pelancong tak ragu berkunjung. Terlebih masih kuatnya mitos tenget (angker) di Bali jika jalan-jalan di hutan bambu.

“Jangan main dekat-dekat pohon bambu nanti disembunyikan memedi,” begini pesan orang tua zaman dulu pada anak-anaknya. Memedi kerap disimbolkan sebagai roh penunggu hutan terutama di hutan bambu.

Jika direnungkan, mitos itu juga siasat agar manusia tak berani merusak hutan. Cara gampang mencegah tekanan manusia pada alam, makin sedikit yang masuk hutan makin aman tumbuhan dan binatang di dalamnya. Nah, anak-anak ditakut-takuti agar tak tak tersesat atau terluka karena bambu tajam.

Akhirnya hanya mereka yang bernyali atau memiliki pengetahuan berani menjelajah dan mendapat ilmu baru dari hutan. Sisi buruknya, anak-anak tak menyadari kekayaan alam sekitarnya dan mudah dibodohi jika tak tahu apa isi dan manfaat ekosistem hutan.

Suasana sakral nan indah hutan bambu di Desa Panglipuran, Bangli, Bali. Hutan yang dikelola dikelola dan dilindungi desa adat setempat menjadi obyek wisata baru yang menarik di Bali | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Tapi sekarang berbeda, perlindungan hutan bisa dilakukan dengan menyenangkan. Misalnya menata hutan dan menyepakati tata kelolanya. Nah, hutan bambu di Desa Penglipuran memulai dengan membuat jalan setapak di tengah hutan bambu seluas 45 hektar ini.

Menuju Desa Penglipuran tak sulit, sekitar 2 jam berkendara menuju Kabupaten Bangli dari Kota Denpasar. Petunjuk di peta online cukup akurat memandu karena desa ini populer sebagai salah satu desa terbersih di Bali.

Wisatawan cenderung hanya berhenti di pusat desa untuk jalan kaki melihat rumah penduduk yang masih tradisional dan mempelajari tata ruang desanya. Sementara hutan bambu yang berada di Utara desa jauh lebi sepi. Padahal ini salah satu keunikan di desa ini, karena bangunan tradisional seperti atap angkul-angkul (pintu masuk rumah), saka enem (bangunan suci bertiang enam), dan paon (dapur) terbuat dari bambu. Hutan bambu adalah jantung desa ini, pemasok air bersih, bahan baku bangunan penting di Bali, dan produsen oksigen.

Jika memiliki waktu singkat sekitar 30 menit sampai 1 jam saja, sebaiknya mencari pemandu lokal bertarif sekitar Rp50.000 untuk wisatawan nusantara, yang bisa dipesan di pintu tiket sebelum gerbang desa. Trekking bisa disesuaikan panjang pendeknya.

Gede Yoga, pecalang setempat yang juga pemandu menjelajahi hutan bambu Desa Panglipuran, Bangli, Bali | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Jalur trekking dengan jalan kaki, sepeda, atau kendaraan roda dua ini membelah rumpun bambu yang menjulang. Suara gemerisik helai dedaunan berbentuk lanset ini menjadi teman perjalanan menikmati aneka jenis bambu.

Dalam papan informasi di gerbang utama, tertulis 14 jenis yang ada dalam kawasan hutan bambu dikelola desa adat setempat ini. Misalnya bambu petung, jajang, dan tali yang di manfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis lainnya adalah bambu ampel, tambang, gading.

Gede Yoga, anak muda pecalang (petugas keamanan desa adat) yang juga jadi pemandu ini memperingatkan, “Saya tidak paham semua jenis bambu, ya,” katanya. Namun dia hapal situasi hutan terbaru dan titik-titik penting yang menarik dikunjungi.

Sepanjang mata memandang ya hanya bambu. Perjalanan akan lebih menarik jika dipandu peneliti atau warga yang paham daur hidup bambu serta manfaatnya. Misalnya bagian apa yang dijadikan bahan makanan, mana jenis yang diolah jadi anyaman, atau bahan bangunan.

Seorang warga memanen bambu dan diolah untuk atap bangunan tradisional di Desa Penglipuran, Bangli, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Kearifan Lokal

Dari sisi ekologis, bambu di hutan ini sudah terbukti mampu menjaga sumber air dan mencegah erosi tanah di tebing-tebing. Gede Yoga menunjukkan titik-titik spiritualitas di hutan bambu. Uniknya, beberapa pura di dalam hutan hanya disimbolkan dengan sebongkah batu misal Pura Mpu Haji, secara fisik sulit dikenali sebagai pura. Sebuah batu tak terlalu besar dikelilingi tanaman non bambu. Biasanya sebuah pura dibangun cukup megah dengan sejumlah tugu-tugu berukir dan hiasan lainnya.

Penebangan bambu diatur waktunya, tak bisa sembarangan. “Keyakinan kami, jika dipanen di hari tak baik, misal saat berbunga nanti akhirnya bambu mati,” kata Bendesa (kepala) Adat Desa Penglipuran, I Wayan Supat menjelaskan. Misalnya saat penanggalan (wuku buku), diyakini tak cocok memanen tanaman berbuku seperti tebu dan bambu. Kepercayaan dan tradisi seperti inilah yang mengendalikan atau mencegah eksploitasi.

Selain penanggalan waktu, ada juga pengetahuan tardisional yang diwariskan. Misal, menurut Supat saat musim hujan tak baik, karena rebung kebanyakan air. Saat rebung bergesekan dengan bambu, akan mudah patah dan bambu baru tidak tumbuh. Ini laku pendidikan yang harus dilanjutkan untuk generasi pewaris hutan.

Juga menentukan mana rumpun yang cocok ditebang. Desa adat mendorong kebiasaan terkait hal ini, untuk memastikan kelestariannya.

Di beberapa sudut hutan bambu ini, sekelompok remaja asyik berkumpul. Ngobrol dan bermain ponselnya. Keteduhan hutan menjadi tempat nongkrong baru.

Ada juga yang menggunakan jalan setapak untuk olahraga. Pagi atau sore hari, terutama akhir pekan. Sejumlah turis juga terlihat merencanakan pemotretan pre-wedding dengan mengobservasi titik-titik yang akan terlihat indah dan dramatik. Misalnya di titik jatuhnya cahaya matahari, menyeruak dari rerimbunan daun bambu.

Hutan bambu di Desa Panglipuran, Bangli, Bali tidak hanya sebagai obyek wisata, tetapi juga aktivitas lainnya seperti untuk pemotretan pre wedding | Foto : salapariwisata
info gambar

Sejumlah warga sedang mengolah batang bambu menjadi bilah-bilah bahan baku atap rumah dan bangunan suci. Tiap warga yang membutuhkan untuk renovasi, mengganti bambu lama atau perlu untuk perlengkapan sembahyang bisa memanen gratis di hutan ini. Syaratnya, atas izin pemilik lahan atau memberi tahu dan minta izin pimpinan desa adat.

Wayan Supat menyebut desa hanya mengatur tata guna lahan. Semua status tanah menurutnya hak ulayat atau penguasaanya oleh desa adat. Namun warga memiliki hak guna pakai dan bisa dijual ke sesama warga desa saja.

Walau sebagian lahan hutan atas nama warga, lokasi tanaman bambu menyatu, jadi tak terlihat ada sekat-sekat kepemilikan. Pemanfaatannya diutamakan untuk ekologis dan ekonomis.

Situs Pemerintah Kabupaten Bangli menyebut Desa Adat Penglipuran terletak dikakiGunung Batur pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Desa ini berada di jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kotaDenpasar.

Banyak penelitian dilakukan di desa ini karena memiliki keunikan sebagai desaadat, desa budaya, dan desa wisata. Misalnya keunikan tata ruang, perkawinan, bentuk bangunan dan topografi,upacarakematian, dan lainnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini