Jaran Jenggo, Saatnya Kuda Ber-disko

Jaran Jenggo, Saatnya Kuda Ber-disko
info gambar utama

Terdengar suara sholawat diiringi rebana dan sorak sorai orang-orang di sebuah gang. Seorang anak SD sangat penasaran dengan keramaian itu dan akhirnya menghampiri. Saat itulah dia terheran, seekor kuda dinaiki seorang anak laki-laki yang dia tahu beberapa minggu lalu telah dikhitan. Bertanyalah dia kepada kakak sepupu yang sedang menonton bersamanya.

“Itu ada apa kak?” tanyanya dengan menggunakan bahasa Jawa. “Itu Jaran Jenggo” jawab sang kakak sepupu. Anak SD tersebut termangu, “Apa itu Jaran Jenggo?” pikirnya. Bertanya lagi dia kepada sang kakak sepupu. Kemudian dijelaskanlah kepada anak SD tersebut.

Jaran Jenggo adalah salah satu kebudayaan dari Lamongan tepatnya dari Kecamatan Solokuro. Perayaan tersebut dilaksanakan untuk merayakan seorang anak laki-laki yang sudah dikhitan.

Diiringi dengan sholawatan dan musik dari rebana, anak laki-laki yang sudah dikhitan akan memakai pakaian ala kerajaan Jawa kemudian dinaikkan ke kuda yang juga sudah “berdandan”.

Dikawal musik dan Reog (terkadang ada Reog) berkeliling desa diikuti anak-anak yang ingin menyaksikan serta orang-orang yang berjajar di pinggir jalan untuk menikmati perayaan tersebut.

Saat itu seorang anak SD yang terheran-heran dengan perayaan tersebut melihatnya di kecamatan Deket, Lamongan. Sampai saat di bangku kuliah, dia terakhir mengetahui sekitar 4 tahun lalu ada perayaan Jaran Jenggo lagi tapi dia tak sempat melihatnya.

Arak-Arakan Jaran Jenggo | Sumber: Tozanmimba.blogspot.com
info gambar

Sejarah Jaran Jenggo

Setelah tadi mengenal sedikit apa itu Jaran Jenggo, yuk sekarang kita kenali sejarahnya.

Kesenian Jaran Jenggo merupakan kesenian yang lahir di Desa Solokuro, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Desa Solokuro sendiri merupakan desa dengan luas wilayah 1.717 Ha, berbatasan dengan Desa Payaman di sebelah utara, Desa Takerharjo di sebelah timur, Desa Payaman dan Tenggulun di sebelah barat, dan berbatasan dengan Desa Bulubangsri, Kecamatan Laren di sebelah selatan.

Desa Solokuro berjarak 36 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lamongan. Sedikit mengenal asal Jaran Jenggo, mari kembali membahas keseniannya.

Seorang yang berjasa atas adanya kesenian Jaran Jenggo adalah kepala desa Solokuro, H. Rosyid. Kesenian Jaran Jenggo lahir di tahun 1907 dan memiliki nama kelompok Aswo Kaloko Joyo. Kelompok tersebut merupakan seniman Jaran Jenggo pertama di Lamongan.

Rosyid selaku Kepala Desa Solokuro memiliki kendaraan berupa kereta kuda karena saat itu motor dan lainnya belum dikenal. Kuda yang beliau pakai sering mengangguk-anggukan kepala ketika mendengar musik rebana jedor. Melihat kudanya yang selalu mengangguk-anggukan kepalanya ketika mendengar musik, H. Rosyid pun mulai melatih kudanya dan saudara-saudara H.Rosyid memainkan alat musik.

Rosyid yang memiliki anak laki-laki berkewajiban untuk mengkhitankan anaknya. Tetapi anak beliau sangat takut untuk khitan yang kemudian H. Rosyid membujuk anaknya dan bernazar.

Beliau bernazar jika anaknya mau disunat, maka anaknya akan diarak keliling desa dengan menggunakan jaran (kuda) dan diiringi musik rebana jedor.

Perkataan itu membuat sang anak bersedia untuk dikhitan. Proses khitan pun berhasil dilakukan dan ketika anak H. Rosyid sudah sembuh dari khitannya, dilaksanakan walimatul khitan dan sesuai nazar H. Rosyid mengarak anaknya dengan kuda tersebut.

Arak-arakan pun menarik perhatian warga Desa Solokuro termasuk anak-anak. Anak-anak akhirnya meminta kepada orang tua untuk merayakan khitanan dengan cara yang sama, memakai jaran milik H. Rosyid. Warga menyebutnya Jaran Jenggo yang berarti kuda yang suka mengangguk-angguk. H. Rosyid pun akhirnya memakai istilah Jaran Jenggo untuk kudanya.

Sejak saat itu khitanan anak-anak mulai dirayakan dengan kesenian Jaran Jenggo sekaligus sebagai bentuk penghargaan dan pengumuman kepada warga jika anak mereka sudah dikhitan.

Elemen dalam kesenian Jaran Jenggo

Jaran Jenggo dilakukan oleh 12 pemain dengan rincian 2 penuntun kuda, 9 pemain musik jedor (4 pemain rebana, 2 pemain kendang, dan 3 pemain jedor yakni bedug berukuran kecil), 1 pengarah pengantin khitanan, 2 pawang penggiring kuda saat arak-arakan dan prosesi lain.

Iringan sholawatan dari kitab berzanji atau Diba’ karya syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Baranji. Alat musik yang digunakan adalah jedor, kendang, rebana/terbang, gambang, piano.

Musik Jedor | Sumber: Sendangagung-Lamongan.desa.id
info gambar

Selain banyaknya pemain, elemen lain yang menarik adalah ragam gerak yang menampilkan:

  • Kuda bersujud (Nyemba) di depan pengantin khitan
  • Kuda dan pawing berjoget di sepanjang perjalanan
  • Kuda naik kursi
  • Kuda berjoget
  • Penari, menari di atas punggung kuda dan melakukan jungkir balik di berbagai arah
  • Pawing dan pemarin jaran bertiduran di sela-sela kaki kuda
  • Kuda menginjak kepala pawing
  • Tarian kuda jengger
  • Atraksi mati suri bersama pawang kuda

Selain itu tata rias dan busana pun cukup “ramai” seperti payung puspito utomo, pecut manggolo sekti, keris yoso yuwono keselametan, kuluk dhatu loyo, kuluk juwito, klambi sumbowo, bebet birowo, kalung kencono, cuping puspito, ali-ali kalpito, dan sabuk janur kuning.

Prosesi pengantin khitanan

Setelah dikhitan dan dinyatakan sembuh untuk melakukan prosesi Jaran Jenggo. Prosesi pertama adalah sungkeman pengantin khitan kepada orang tua untuk meminta maaf dan memohon doa restu agar diberi kelancaran dalam perjalanan arak-arakan.

Kemudian dilanjutkan dengan sungkem Jaran Jenggo kepada anak dan orang tua penyelenggara sebanyak 3 kali. Sungkem tersebut dilakukan sang kuda dengan menekuk kaki depan dan kepala kuda turun ke bantal dan tikar di depan anak dan orang tua. Orang tua kemudian mengantar anaknya menaiki kuda untuk kemudian diarak.

Pada prosesi kedua yang merupakan proses arak-arakan, pengantin khitanan bersama Jaran Jenggo mengunjungi rumah Lurah atau Kepala Desa dan dilanjutkan ke rumah saudara. Di rumah saudara pengantin khitan turun dari kuda dan melakukan sungkeman kepada pihak saudara.

Arak-arakan terus berlanjut mengelilingi desa hingga kembali ke rumah. Kembali melakukan sungkeman kepada orang tua, menandakan bahwa sang anak telah pulang dengan selamat. Jaran Jenggo juga kembali melakukan sungkeman.

Kesenian Jaran Jenggo merupakan kebudayaan yang menarik dan patut untuk dipertahankan. Sayang sekali jika tidak dikenal. Semoga dengan penjelasan di atas dapat kembali mengingat perayaan yang mungkin pernah kalian lihat ketika masih kecil.

Tentunya juga menjawab pertanyaan seorang anak SD yang sudah beranjak dewasa mengenai keramaian yang menarik perhatiannya bertahun-tahun lalu.

Catatan Kaki: journal.unnes.ac.id | digilib.uinsby.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini