"Sejuknya" Desa Tiga Menara yang Penuh Toleransi

"Sejuknya" Desa Tiga Menara yang Penuh Toleransi
info gambar utama

Di desa “sejuk” ini penduduknya berbeda agama dan saling berdampingan. Hampir di seluruh desa pasti begitu. Di desa itu juga tempat-tempat ibadah ikut saling berdampingan. Ada masjid Miftahul Huda, samping masjid pas ada Pura Sweta Maha Suci, di seberang Masjid ada Patung Yesus dan Gereja Kristen Jawi Wetan. Keren, 'kan?

Suasana desa dilihat dari dtas | Sumber: Liputan6.com
info gambar

Dijuluki sebagai desa Pancasila, letaknya di Lamongan. Berkunjung ke sana merupakan pengalaman yang menarik. Sangat menarik. Bisa melihat tempat-tempat ibadah yang saling berdampingan. Toleransi antar warganya? Jangan diragukan lagi.

Saat penduduk beragama Hindu mempersiapkan Hari Raya Nyepi, penganut agama lain bertoleransi. Upacara Pangrupukan yang dilakukan oleh penduduk beragama Hindu tidak hanya diramaikan oleh mereka yang beragama Hindu tetapi semuanya berkumpul. Bahkan dari luar desa. Semua ikut terlibat, biasanya warga membuat pawai Ogoh-ogoh.

Pura Sweta Maha Suci berdampingan dengan Masjid Miftahul Huda | Sumber: unair.ac.id
info gambar

Bagaimana awalnya?

Seorang tokoh yang merupakan Raja Blambangan lahir di Lumajang. Beliau belajar mengaji dari Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Beliau kemudian mensyiarkan agama di tempatnya sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.

Tokoh tersebut lalu melarikan diri ke arah wilayah Lamongan karena serangan dari Belanda dan Mataram pada tahun 1633-1639 di Blambangan. Di situlah beliau menetap yakni sekitar Candi Pari hingga mendapatkan gelar “Sunan Tawang Alun”.

Pada tahun 1967 agama Kristen mulai berkembang di desa tersebut. Berkembangnya agama Kristen diawali dengan ditunjuknya pak Bathi yang beragama Kristen menjadi pejabat sementara desa. Dari situlah Kristen berkembang, Pak Bathi kemudian menunjuk pendeta untuk membaptis pemeluk baru.

Toleransi tinggi dan keterbukaan serta metode dakwah tanpa kekerasan membuat Kristen diterima dan mulai banyak yang memeluk agama Kristen.

Agama Hindu pun masuk dengan tokoh Thardono Sasmito. Pada tahun yang sama, agama Hindu berkembang secara perlahan. Sembahyang pun dilakukan di rumah tokoh-tokoh adat hingga pada akhirnya memutuskan untuk membangun tempat ibadah.

Toleransi yang disematkan di desa tersebut tidak hanya sebuah nama. Tindakan dan julukan tentunya berbanding lurus.

Selain keterlibatan seluruh masyarakat di pawai Ogoh-ogoh, ketika tetangga pemeluk Muslim menggelar hajatan maka pemeluk agama lain hadir dengan menggunakan kopiah dan sarung. Kerudung juga bisa digunakan oleh pemeluk agama lain di desa ini ketika ada hajatan. Itu dilakukan sebagai rasa hormat terhadap pemeluk Muslim. Dalam satu keluarga bisa memeluk agama yang berbeda dan rukun.

Makam Islam dan Hindu juga menjadi satu. Makam Islam-Hindu tersebut berada di antara masjid Miftahul Huda dengan Pura Sweta Maha Suci. Orang Hindu juga tidak di-aben (dibakar) ketika ada yang meninggal, tetapi dikubur.

Penyesuaian jadwal beribadah juga sangat diperhatikan. Seperti pada ibadah kliwonan umat Hindu yang biasanya dilakukan pada pukul 19:00 WIB di desa ini dilaksanakan setelah sholat maghrib dan sebelum sholat isya. Umat Islam juga akan mematikan pengeras suara masjid apabila pemeluk agama Hindu sedang melaksanakan hari raya nyepi.

Membersihkan makam leluhur juga dilaksanakan bersama-sama. Jika Iduladha, pelaksanaan kurban juga dibantu oleh warga agama lain.

Bagaimana, indah bukan?

Jadi sebenarnya desa mana sih ini?

Nama desa dengan julukan desa Pancasila itu adalah Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Dilansir dari beritagar.id, ide nama Desa Pancasila berasal dari warga Balun sendiri.

Desa Balun dihuni oleh 4.786 jiwa. Sekitar 1.200 Kepala Keluarga dengan 75 persen agama Islam, 13 persen Nasrani, dan 7 persen beragama Hindu.

Nama Desa Balun diambil dari nama tokoh yang telah diceritakan di atas. Nama beliau adalah “Mbah Alun” dan diabadikan menjadi nama desa Balun. Gotong royong membersihkan makan beliau juga dilakukan oleh seluruh warga.

Gapura Desa Balun | Sumber: Beritagar.id
info gambar

Hery Suparno, Kepala Urusan Perencanaan Desa Balun, masih dari beritagar.id, mengungkapkan bahwa para tokoh-tokoh agama di Desa Balun masih memiliki hubungan darah.

Keindahan toleransi yang disajikan oleh Desa Balun sangatlah menyejukkan teman-teman. Oleh karena itulah Indonesia dengan segala pluralitasnya, kalau kita saling bertoleransi bukankah kehidupan bermasyarakat menjadi tentram? Ya itu mengingat pelajaran PKN dulu.


Catatan kaki: beritagar.id | unair.ac.id | kompas.com | unesa.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini