Cerita dari Mesir: Dua Tipe Masyarakat, Musa dan Firaun

Cerita dari Mesir: Dua Tipe Masyarakat, Musa dan Firaun
info gambar utama

Selama berada di Kairo saya didampingi saudara Iqbal dari Padang yang alumni Al-Azhar University, juga saudara Hudi dan Wahyu dari Riau yang dua-duanya sedang studi di Al-Azhar. Ketiganya mewanti-wanti kalau mau naik taksi harus hati-hati, kadang bisa ditipu.

Saya mengatakan kalau hal seperti itu dapat ditemui di mana-mana, di banyak negara. Iqbal menjelaskan bahwa memang di mana-mana ada orang baik dan orang tidak baik, tapi di Mesir ini –kata dia, masyarakatnya dibagi dua, yaitu masyarakat yang baik disebut ”kelompok Musa” dan masyarakat yang tidak baik, jahat disebut “kelompok Firaun”. Iqbal menjelaskan hal ini sambil tertawa.

Saya memang berkali-kali mengalami menghadapi kelompok “tidak baik” ini terutama di tempat-tempat wisata dan di bandara. Misalnya di tempat wisata seperti di kawasan Tiga Piramida di Giza, turis sudah decegat dengan beberapa kelompok pemuda yang mengatakan bahwa mobil tidak boleh masuk dan harus naik unta milik mereka, yang ujung-ujungnya minta duit.

Para penjual suvenir di depan piramida juga begitu, mengejar-ngejar turis memaksa membeli dagangannya. Seorang pedagang melihat saya sambil berteriak “You from Indonesia! My brother... Indonesia is good” sambil memberi suvenir “This is for you my brother, free…!”, tapi akhirnya memaksa dengan kasar “Give me small money”.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Bicara Keras Tanpa Dendam

Di depan Musium Kairo di kawasan Tahrir Square, banyak anak-anak muda yang menawarkan jasa pemandu, dan mereka seakan pemandu resmi karena memakai name tag atau “keplek”, padahal mereka akhirnya memaksa turis membayar dengan jumlah yang besar.

Di bandara juga demikian, para pemuda yang mengenakan “keplek” seperti petugas resmi bandara langsung menarik tas-tas bawaaan kita untuk dimasukkan ke mesin X-Ray, dan setelah dari X-Ray mereka memaksa meminta uang, yang mengejutkan kita adalah cara mereka meminta uang itu persis di depan polisi.

Untungnya saya ke mana-mana berpergian di kota Kairo itu selalu didampingi Iqbal, Hudi, dan Wahyu alumni dan mahasiswa Al-Azhar yang bisa berbahasa Arab dengan lancar, sehingga kalau menghadapi situasi seperti itu mereka bisa membantu menolaknya.

Tentu, kejadian-kejadian seperti itu tidak menghilangkan kekaguman saya tentang Kairo yang memiliki peninggalan-peninggalan sejarah gemilang Mesir masa lalu, seperti piramida, Museum Kairo yang menyimpan peninggalan-peninggalan Firaun, Masjid Amru Bin Ash, sahabat Rasulullah yang menyebarkan Islam pertama kali ke Mesir, Benteng Salahuddin Al Ayubi yang masih berdiri kokoh, Salahuddin atau Saladin adalah Panglima perang yang membebaskan Yerusalem, Masjid Ali Pasha yang terletak di dalam Benteng Salahuddin yang bentuknya seperti Masjid di Istanbul Turki –karena memang arsiteknya dari Turki, Universitas Al-Azhar dan pasar-pasar tradisional khas negara-negara Arab, serta tentu makanan khas Mesir nasi kebuli dengan ayam atau kambing bakarnya dsb.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Ternyata, Indonesia Lebih Rapi dan Bersih dari Kairo

Ahmad Cholis Hamzah (kiri) di Museum Kairo | Foto: Dok. Penulis
info gambar

Hanya saja, kalau saya memakai istilah kelompok Musa dan Firaun di Mesir seperti yang dijelaskan Iqbal di atas itu untuk situasi di Indonesia, maka para dokter yang bertugas di pulau terpencil, prajurit TNI yang bertugas di perbatasan, guru-guru yang mengajar murid-muridnya di pulau-pulau kecil, anak-anak yang bejalan jauh melalui hutan dan tanah terjal demi memperoleh pendidikan, adalah kelompok Musa, sedangkan ratusan pejabat negara yang ditangkap KPK selama ini –itu mungkin bisa disebut kelompok Firaun.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini