I La Galigo, Karya Sastra Terpanjang di Dunia dari Bugis

I La Galigo, Karya Sastra Terpanjang di Dunia dari Bugis
info gambar utama

Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan pertunjukan teater I La Galigo yang akhirnya kembali ke Indonesia. Pertunjukkan tersebut disutradarai oleh Robert Wilson, sudah menjelajahi 9 negara dan akhirnya kembali ke Indonesia.

I La Galigo merupakan kitab kuno asli Indonesia lebih tepatnya dari Bugis. Namun, berdasarkan laporan dari narasi.tv, naskah asli dari I La Galigo ini sudah ada di Belanda ketika akan dibawa bersamaan pementasan di Amsterdam.

Pementasan teater I La Galigo | Sumber: Sindonews.com
info gambar

Masyarakat Bugis memiliki kekayaan warisan budaya berbentuk karya sastra yang bahkan kabarnya terpanjang di dunia, mengalahkan epik Mahabrata dan Ramayana dari India, dan Homerus epik dari Yunani.

Karya sastra tersebut berasal dari tradisi lisan masyarakat Bugis kemudian akhirnya dituliskan pada paruh pertama abad ke-19.

Memiliki nama lain yakni Sureq Galigo, kitab ini sering dianggap sebagai kitab suci bagi warga yang menganut agama lokal. Agama lokal Bugis adalah kepercayaan Tolotang.

Warisan tebal tersebut berupa puisi dan berisi mitos mengenai penciptaan dari peradaban Bugis. Walaupun mitos, tetapi cerita di dalamnya diyakini benar-benar terjadi.

Karya sastra itu memiliki sekitar 6.000 halaman dan 300 ribu baris teks. Menggunakan aksara Lontara, yakni aksara asli Bugis, yang sering juga disebut ‘ukiq sulappaq eppaq atau huruf segi empat dan dikabarkan sebagai turunan dari aksara Pallawa.

Aksara Lontara Bugis | Sumber: Infobudaya.net
info gambar

Pembacaan I La Galigo dilakukan dengan menyanyikannya. Sebutan untuk nyanyian tersebut dalam Bahasa Bugis adalah laoang atau selleang dan lazimnya dilakukan dalam sebuah upacara adat.

Kitab I La Galigo yang diposisikan sebagai kitab suci oleh kepercayaan Tolotang memiliki ritual untuk membacanya. Penganut kepercayaan Tolotang akan menyediakan persembahan seperti sesaji, pemotongan ayam atau kambing dan dupa. Pembacaan kisah-kisah dalam kitab I La Galigo disebut sebagai sinonim berdoa dan menjadi obat segala penyakit dan sebagai tolak bala.

Untuk mengantisipasi hilangnya warisan budaya dan tidak dikenalnya warisan budaya dari Bugis itu, akhirnya Indonesa dan Belanda mendaftarkan La Galigo sebagai World Heritage di UNESCO.

Hasil dari kolaborasinya pada 2011 ditetapkan La Galigo sebagai Memory of the World.

Naskah I La Galiigo di Museum Nasional | Sumber: Twitter @Shanibudi
info gambar

Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda juga telah melakukan digitalisasi naskah I La Galigo. Naskah tersebut dapat diunduh untuk bahan ajar dan penelitian.

Versi digital I La Galigo menjadi koleksi yang tersimpan sejak 1905 di perpustakaan Universitas Leiden. Tidak hanya disimpan di Belanda, naskah I La Galigo juga disimpan di Indonesia.

Mari sedikit menyimak kisah I La Galigo

Kisahnya bermula ketika Patotoqe atau Sang Pencipta di Bating Langit atau kerajaan langit menurunkan puteranya La Togeq Langiq yang bergelar Batara Guru setelah turun ke bumi.

Seluruh alam menyambutnya dengan memberi semangat kepada Batara Guru sebagai ucapan perpisahan kepada kerajaan langit dan selamat datang ke dunia manusia.

Meluncur dengan bambu di atas bumi atas nama Sabda Dewata, di dalam bambu tersebut ia diusung oleh kilat yang sambung menyambung. Angina tertiup kencang membantunya mengayun turun, awan berjejer, Guntur menggelegar dan pelangi berdiri tegak.

Peristiwa di atas berlaku juga ketika We Nyiliq Timoq. Putri Guru Si Selleng (Dewa bawah laut) dan Sinauq Toja, calon istri dan bersepupu dengan La Togeq Langiq, akan dimunculkan di kerajaan Buri Liu (kerjaaan bawah laut). Ia diusung di atas busa air, ombak bergemuruh, dinaungi awan, serta Angina dan Guntur ikut menggelegar. Alam menyambutnya.

Sejak saat itulah menurut kepercayaan setempat, kehidupan manusia berlangsung di dunia tengah, Ale Kawaq atau batang tubuh dunia. Kemudian cerita-cerita lainnya terus berlanjut termasuk cerita Sawerigading.

Tradisi lisan dari Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dibahas lebih menarik lagi jika ditulis dan menjadi manuskrip tebal seperti I La Galigo.

Yakin sekali bahwa masih banyak warisan budaya Indonesia yang menarik untuk diketahui. Pertunjukan seni teater I La Galigo menjadi satu sarana untuk mengenalkan budaya Indonesia.

Catatan Kaki: indonesia.go.id | tempo.co | Narasi.tv | kompas.com | journalarticle.ukm.my/1136/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini