Perairan Teluk Hadakewa: Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat

Perairan Teluk Hadakewa: Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat
info gambar utama
  • Teluk Hadakewa di Pulau Lembata adalah wilayah yang memiliki potensi kekayaan biota laut, terumbu karang dan keragaman hayati yang tinggi. Tiap tahunnya migrasi paus melewati wilayah ini, untuk memburu hewat mangsanya.
  • Selama berdekade, wilayah ini terancam karena penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti bom, potas dan jaring pukat. Hal ini menyebabkan turunnya jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan setempat.
  • Inisiatif yang dilakukan oleh Lembaga Barakat sejak 2016 mencoba untuk mengembalikan tata kelola laut secara adat, dilakukan lewat muro atau menutup sebagian wilayah laut sebagai cadangan pangan.
  • Saat ini kesepakatan untuk melindungi spesies laut kunci dan mengelola kawasan telah berkembang, dan disepakati oleh 14 desa yang berada di Teluk Hadakewa.

Perairan Teluk Hadakewa pagi itu tampak tenang, tak tampak gelombang besar. Di dermaga kayu sederhana, tampak beberapa perempuan dan anak-anak sedang memancing di pesisir pantai.

Marlis (26) salah satunya. Warga Desa Lamatokan ini sibuk menarik tali pancing. Tak lama kemudian kailnya bergerak, pertanda ada ikan di ujung kail.

Weto dilempar saat gerombolan ikan terlihat,” sahut Marlis menyebut trik memancing ikannya.

Weto adalah sebutan lokal alat pancing yang digunakan nelayan Teluk Hadakewa. Di ujung senar, empat mata kail dalam formasi segi empat disatukan dan dipasangi pemberat.

“Mancing satu jam, lumayan dapat seember ikan tembang dan selar. Paling lama mancing dua jam sudah bisa buat makan siang dan malam keluarga,” sebut perempuan itu.

Bagi Marlis dan umumnya warga pesisir Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, memancing bukan hanya sekedar hobi, tapi kebutuhan keluarga. Ini tak heran, sebab tandusnya tanah dan keringnya iklim Lembata, membuat warga lalu memalingkan peruntungan hidupnya ke laut.

Pukat nelayan desa Lamatokan kecamatan Ile ApeTimur kabupaten Lembata yang dipenuhi ikan kembung yang dtangkap saat subuh di perairan Teluk Hadakewa | Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
info gambar

Teluk Hadakewa luasnya 3.350 km persegi. Ada 14 desa terbagi dalam tiga kecamatan yang mengelilinginya, yaitu: Ile Ape, Ile Ape Timur, dan Lebatukan. Ada tiga desa yang terletak langsung di pintu masuk teluk, Lamatokan, Dikesare dan Tapobaran.

Berdasarkan data demografi tahun 2016, di 14 desa itu total penduduknya 10.045 jiwa yang terdiri dari 2.745 Kepala Keluarga.

“Ini tempatnya ikan. Ada selar, tembang, kembung, cucut. Kalau mau makan, pergi sebentar saja ke pantai, mancing. Pulang lauk di rumah sudah ada,” jelas Stefanus Ola (36), nelayan setempat. Saat dijumpai dia baru saja menambatkan perahunya.

Setiap tahunnya, perairan Lembata menjadi jalur migrasi paus biru dan paus sperma. Kadang ada paus yang masuk ke Teluk Hadakewa karena mengikuti alur biota makanannya. Tak urung ada saja paus yang terdampar, saat surut air. Sebagai bukti, terdapat tulang paus sepanjang 24 meter yang ada di Desa Watodiri.

Teluk ini juga kaya beragam spesies dilindungi. Diantaranya duyung (dugong), penyu, pari manta, ikan napoleon, lumba-lumba, kuda laut, dan beragam terumbu karang.

Maraknya Alat Tangkap Ikan yang Merusak

Teluk Hadakewa dengan segala kelimpahan hasil lautnya, bukannya tenang tanpa masalah. Beberapa dekade lalu praktik penangkapan ikan tak ramah lingkungan terjadi di wilayah ini. Penggunaan bom ikan dan potasium marak. Terumbu karang rusak, ikan-ikan pun hilang.

“Ini terjadi hingga sepuluh tahun lalu,” jelas Yosef Magun (64), seorang warga asli Desa Lamatokan.

Di saat warga harus berurusan dengan kerusakan laut saat itu, pemerintah pusat mengeluarkan izin bagi perusahaan asing yang bergerak dalam budidaya mutiara di Desa Waienga. Masyarakat pun menyebut kehadiran perusahaan ini membatasi ruang gerak nelayan pencari ikan.

Akumulasi dari persoalan yang ada, ikan pun menjadi langka dan sulit didapat. Masyarakat lalu beralih mencari kima dan penyu baik untuk dimakan atau dijual.

Benediktus Bedil, pendiri dan Direktur Lembaga Barakat, berpose di depan wilayah kerja lembaganya | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Fenomena yang memprihatikan ini diamati oleh Benediktus Bedil. Dia putra asli Lamatokan, yang sudah keluar kampung sejak muda. Dia lama berkarya di sebuah lembaga sosial di bawah keuskupan setempat.

Ben pun terpanggil untuk kembali ke kampung, membenahi masalah yang ada. Bersama organisasinya: Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat), dia mulai merancang program penyelamatan laut.

Bagi Ben, premisnya adalah laut dan kekayaannya baru bisa terjaga jika nelayan dan warga setempat sejahtera. Sebaliknya, nelayan yang tergantung pada laut harus mengambil tidak melebihi dari ambang batas kelestariannya.

Bersama Barakat dia pun mulai lakukan pemetaan sosial. Langkah pertamanya menjumpai dan lakukan pendekatan ke kelompok-kelompok masyarakat.

“Meski bermukim di tepi pantai, tapi banyak warga tak tahu jenis-jenis spesies laut dilindungi. Mereka menangkap secara bebas [termasuk lewat cara tangkap ikan yang salah],” ucapnya.

Dalam sebuah wawancaranya dengan pemilik pukat harimau, Ben pernah menjumpai seorang nelayan yang mengaku telah menjaring tujuh ekor dugong secara by catch, selama 3 tahun (2013-2016). Padahal selain dilindungi, dugong adalah spesies langka yang sulit dijumpai.

Masih banyak lagi cerita satwa laut dilindungi yang diambil oleh masyarakat di Teluk Hadakewa.

Mendorong Perlindungan Kekayaan Laut lewat Muro

Dari diskusi Barekat dengan tokoh masyarakat, munculah pemikiran untuk memperkuat kembali kearifan lokal tradisional setempat yang disebut muro.

Istilah muro mengacu pada kesepakatan untuk memproteksi sebuah wilayah. Tujuannya agar wilayah itu dapat menjadi cadangan pangan, sekaligus memberi kesempatan agar alam dapat memulihkan dirinya sendiri.

Prinsip yang ada di muro mirip dengan sasi yang umum dipraktikkan di beberapa wilayah pesisir di Indonesia timur, dimana semua kesepakatan dibangun oleh para pihak, lewat ritual adat.

Di Lembata, muro identik dengan prinsip malu mara soga nara. Artinya menjaga ketahanan pangan supaya tidak kelaparan dan bersiap pangan (lauk) ketika ada tamu datang. Ia dapat dibuka saat munculnya kebutuhan ikan besar, seperti hajatan tertentu yang melibatkan hampir seluruh penduduk desa.

Tulang paus terdampar yang ada di Desa Watodiri | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Sebagai sebuah tradisi, muro sempat hilang. Ia mulai dihidupkan lagi di tahun 1985 oleh Mikhael Sada, Kepala Desa Lamatokan waktu itu. Namun luas wilayah muro amat terbatas, hanya 2,87 hektar, yang berada di wilayah pesisir Watomara.

Ben bersama Barakat lalu coba menggali dan memperluas cakupan muro. Tidak hanya satu desa, tapi untuk seluruh desa yang ada di Teluk Hadakewa.

Namun ide ini tak langsung diterima bulat-bulat oleh semua warga. Ben bahkan sempat dituding hendak mematikan usaha masyarakat. Barakat juga sempat dilaporkan ke Bupati, Dinas Perikanan dan DPRD Lembata.

“Masyarakat komplain karena tidak paham aspek lingkungan dan keberlanjutan penangkapan ikan. Kami coba pelan-pelan bangun kesadaran. Butuh waktu setahun lebih, tapi ada juga yang masih belum sadar sampai sekarang,” terang Ben.

Setelah melewati berbagai pendekatan intensif, akhirnya muro laut diresmikan dalam kesepakatan adat tanggal 30 Januari 2017, totalnya ia mencakup 54,49 hektar wilayah laut. Pemilihan lokasinya disesuaikan hasil kajian tim survey ekologi, sosial-ekonomi dan sosial-budaya.

“Makan waktu, tapi akhirnya muncul keberhasilan,” imbuh Ben.

Kesepakatan ini lalu ditandatangani oleh 14 kepala desa yang ada di kawasan Teluk Hadakewa, saat itu hadir pula unsur pemda Kabupaten Lembata, Dinas Perikanan NTT, perwakilan lembaga adat serta BPD.

Kesepakatan ini memuat beberapa hal, termasuk pelarangan tangkap bagi delapan spesies laut, yaitu: duyung, lumba-lumba, penyu, pari manta, ikan napoleon, kuda laut, terumbu karang, dan mangrove.

Juga disepakati menetapkan area perlindungan penting yang menjadi tempat bertelur ikan, wilayah terancam abrasi, dan tempat-tempat situs penting bersejarah bagi suku tertentu.

Teluk Hadakewa di Pulau Lembata memiliki potensi kekayaan biota laut yang dimanfaatkan oleh warganya | Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
info gambar

Demikian pula bentang alam. Kesepakatan menghasilkan perlindungan untuk formasi karang unik seperti karang berbentuk meja yang ada di perairan Welo Mate, Desa Tapolangun. Hal itu juga berlaku untuk lokasi yang menjadi habitat dugong.

“Di Desa Dikesare, yang di lokasi itu banyak ditemui spesies dilindungi, seperti kima, kepiting, dan teripang. Itu juga turut dilindungi,” sebut Ben.

Sementara wilayah lainnya akan dijadikan oring nele nekin dalam bahasa setempat, atau zona perikanan berkelanjutan. Di zona ini masyarakat bisa mengambil ikan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun syaratnya tetap menggunakan teknologi ramah lingkungan.

Untuk perempuan dan anak-anak yang tidak bisa pergi jauh ke laut, disepakati adanya area ika berewae. Artinya wilayah yang dapat dipancing untuk lauk makan sehari-hari.

“Ada juga lokasi di wilayah Rubuh Kuja yang dijadikan tahi tubere (jiwanya laut). Area ini ditutup selamanya, karena tempat itu penting untuk lokasi perkembangbiakan ikan,“ terang Ben.

Butir kesepakatan terakhir adalah pada bentuk kelembagaan yang diwujudkan dalam Badan Pengelola Laut (BPL) yang disebut Bereket Lewa. Badan ini mewakili 14 desa sekitar teluk.

Tugas anggotanya adalah sama-sama menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian lokasi dan spesies yang dilindungi. “Termasuk juga memberi sanksi adat bagi yang melanggar.”

Dalam kesepakatan terbaru tanggal 27 April 2019, luasan muro laut pun makin bertambah. Totalnya jadi 358,28 hektar. Rinciannya di Desa Lamatokan seluas 54,36 hektar, Desa Lamawolo 11,25 hektar, Desa Tapobaran 93,54 hektar, Desa Dikesare 92,10 hektar dan Desa Kolontobo seluas 107,03 hektar.

Kedepannya, Ben berharap keberhasilan desa-desa pesisir di Teluk Hadakewa dalam membuat kesepakatan ini, dapat ditularkan ke desa pesisir lainnya di Kabupaten Lembata.


Catatan kaki: Ditulis oleh Ebed De Rosary dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini