Warga Gane Menanam Kembali, Penuhi Pangan dengan Ramah Alam

Warga Gane Menanam Kembali, Penuhi Pangan dengan Ramah Alam
info gambar utama
  • Hasil kebun utama warga Gane Barat, adalah kelapa, cengkih, dan pala. Kala harga kopra dan cengkih turun, warga mulai menanam tanaman pangan yang sempat mereka tinggalkan. Kini, mereka menanam dengan cara organik dan benih lokal.
  • EcoNusa dan Pakavita mendampingi warga memenuhi pangan terutama mengembangkan kebun dan menanam komoditas pangan, seperti padi ladang dan holtikultura.
  • Menyiasati harga kopra anjlok, warga berupaya mengelola kelapa dengan bikin minyak murni (virgin coconut oil). Potensi alam lain pun digali, seperti memanfaatkan tanaman enau atau aren jadi gula aren.
  • Di Desa Samo, Gane Barat, luas kebun kelapa sekitar 300 hektar. Ia kini jadi bahan baku minyak kelapa. Setiap minggu, enam kelompok menghasilkan 300 liter minyak kelapa. Selain buat konsumsi, juga jual ke kampung sekitar bahkan sampai Ternate.

Rusli Hi Aba, menyimak serius film dokumenter berjudul SeedThe Untold Story. Film ini menceritakan ancaman kehilangan benih tanaman pangan dan sayuran di dunia. Pria 53 tahun ini mengikuti kegiatan penguatan kapasitas petani mama-mama dan bapa-bapa Kampung Samo, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Kegiatan difasilitasi Roem Tohpatimasang dari Insisit dan Jo Hann Than, pendiri South East Asia Popular Communication Program (SEAPCP), ini diikuti dengan sangat serius. Puluhan orang berkumpul mendapatkan pengetahuan menjaga benih tetap aman.

Saat menonton film yang disutradarai Jon Betz dan Taggart Siegel itu, Rusli seperti menerawang mengingat masa kecil dulu. Kala itu, orang tua di kampung menanam padi, memanen lalu menyisihkan sebagian sebagai benih untuk musim tanam berikutnya.

“Urang tua-tua kami dulu juga menyiapkan benih seperti itu. Mengikat tangkai padi sebagai benih, lalu digantung di dapur yang setiap saat terkena asap api,” katanya, kepada Rum Tohpatimasang, fasilitator film ini.

Rum menimpali. Dia bilang, itu cara orangtua tua dulu memperlakukan benih agar tak terserang jamur. “Sebenarnya, praktik pertanian tradisional leluhur kita itu sudah benar. Meski tak punya pengetahuan formal melalui bangku sekolah, mereka punya pengetahuan dan kearifan sudah luar biasa,” kata Rum.

Film ini menceritakan, dunia terancam kehilangan benih asli karena serangan hama atau tak dibudidayakan lagi.

Film ini, katanya, bisa jadi pengingat betapa penting melindungi benih demi keberlanjutan pangan dan petani.

Hal terpenting dalam pertanian, yakni, kondisi lahan atau tanah, air, bibit (benih) dan ekosistem pertanian. Empat hal ini, katanya, memiliki hubungan keterkaitan yang tak bisa terpisahkan.

Kelangkaan benih jadi masalah besar. Petani tidak bisa menanam kalau tak punya benih. Kehilangan benih asli akan menyulitkan petani.

Film itu, menceritakan, sekitar 94% jenis sayuran dunia telah hilang. Praktik penyimpanan dan pemulian benih membutuhkan tempat layak dan perlakuan sesuai. Kalau tidak, katanya, ancaman kehilangan benih makin nyata. Benih tidak asli akan mudah terserang penyakit. Bahkan, tak bisa tahan cuaca dan iklim ekstrem.

“Petani nanti akan bertambah sulit karena harus membeli lagi benih,” kata Rum.

Pertanian organik dan bibit lokal

Pemutaran film ini bagian penguatan kapasitas sekaligus upaya mendorong warga bercocok tanam dengan pertanian organik hingga alam tetap lestari.

Warga diajak memanfaatkan lahan- lahan tidur yang dimiliki untuk menghindari pembukaan lahan baru yang sudah tentu membabat hutan.

Tak hanya menanam, potensi sumberdaya pertanian maupun kehutanan di desa ini perlu dimanfaatkan maksimal. Tujuannya, membantu warga keluar dari keterpurukan ekonomi karena harga kopra dan cengkih anjlok.

Dua komoditas ini penghasilan utama petani Halmahera, termasuk Desa Samo. Ketika harga kedua komoditas jatuh, memukul ekonomi mereka.

Torang (kami-red) susah memenuhi kebutuhan. Terutama beli beras dan pendidikan anak- anak,” kata Mohtar Gani, warga Samo.

Jalan satu-satunya, mereka menanam tanaman pangan agar bisa memangkas biaya pemenuhan keperluan sehari-hari.

Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang berupaya meningkatkan berbagai inisiatif lokal bekerjasama dengan Pakativa, organisasi di Maluku Utara. Mereka memfasilitasi warga memenuhi pangan terutama mengembangkan kebun dan menanam komoditas pangan, seperti padi ladang dan holtikultura.

Warga mengolah minyak kelapa murni yang dikerjakan bergotong royong | Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
info gambar

Sebenarnya, warga sudah punya tradisi turun menurun menanam padi ladang setahun dua kali. Musim tanam pertama Juni- Juli, dan musim tanam kedua Maret- April. Hasil panen jadi setok pangan hampir setahun.

Dalam menanam padi juga selalu tumpangsari dengan jagung, istilah setempat roka(tanaman sela). Roka ini biasa pakai jagung atau jenis kacang-kacangan. Memilih jagung, katanya, agar sebelum panen padi, petani bisa panen jagung guna memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam tiga bulan.

Begitu juga tanaman hortikultura. Biasa punya cadangan lahan ukuran sekitar 25×50 meter untuk menanam sayuran, bawang, rica atau tomat dan lain-lain. Dengan cara ini, katanya, warga selalu siap memenuhi keperluan sehari-hari. Mereka juga memiliki padi siap olah manual dengan ditumbuk pakai lesung. Mereka juga punya lahan untuk tanam singkong, pisang maupun sagu.

Keperluan pokok selalu tersedia hingga jarang ada warga menjual pisang, rica dan tomat. Mereka cukup saling memberi.

“Petani hanya mengenal cengkih, kopra dan pala sebagai hasil perkebunan yang bisa dijual. Selebihnya tidak dijual.”

Jafar Anhar, Kepala Desa Samo, mengatakan, setiap warga desa ini dulu punya kebun kelapa, cengkih atau pala dan kebun pangan. Sekarang, kondisi berbalik. Hampir 20 tahun belakangan, sebagian besar warga meninggalkan kebiasaan menanam tanaman pangan. Sebagian besar, katanya, hanya menunggu panen kopra, cengkih dan pala.

“Perlu gerakan mengajak warga kembali seperti dulu, memiliki lahan dan menanami dengan tanaman pangan.”

Gayung bersambut. Warga kini mulai tergerak tanam padi, sayur-mayur dan tanaman lain.

“Kami senang kawan- kawan LSM membantu. Pekerjaan utama warga bertani tetapi sudah lama ditinggalkan. Ada yang mencari uang ke Kota Ternate sebagai kuli bangunan, kuli panggul maupun kerja lain guna mendapatkan uang lebih cepat,” kata Muddin Hasyim, warga Samo yang bersama 10 anggota keluarga membentuk kelompok menanam padi ladang.

Warga Samo mulai bikin gula aren. Tanaman ini banyak di sana | Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
info gambar

Kala bercocok tanam tanaman pangan ini, keperluan uang berkurang alias bisa hemat uang belanja. Warga, katanya, tak perlu membeli beras atau sayur karena tinggal memanen di kebun. “Kalau tanam padi, berarti saya sudah tak beli beras. Padahal beli beras, dalam sebulan harus menyiapkan sekitar Rp550.000.”

Arsyad Hasyim, juga warga Samo mengatakan, setelah hitung kecil-kecilan, dalam sebulan warga kampung ini setidaknya mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli sayur memenuhi kebutuhan sehari- hari. Padahal, kalau menanam sayuran, cabai, tomat atau bawang warga, tak perlu lagi membeli.

Selain menanam bahan pangan, potensi lain cukup menjanjikan adalah mengelola kelapa, seperti jadi minyak murni.

Saat ini, warga membentuk enam kelompok mengolah kelapa jadi minyak secara gotong royong. Cara ini jadi solusi di tengah harga kopra anjlok.

Luas kebun kelapa di desa ini sekitar 300 hektar. Ia kini jadi bahan baku minyak kelapa. Setiap minggu, enam kelompok menghasilkan 300 liter minyak kelapa. Selain buat konsumsi, juga jual ke kampung sekitar bahkan sampai Ternate.

Alhamdulillah, kelompok usaha minyak kelapa mulai ada hasil. Kami sudah beberapa kali menjual sampai ke Ternate,” kata Norma Husen, ketua kelompok pembuat minyak kelapa.

Pembentukan kelompok ini, katanya, bagian dari mendorong partisipasi kaum perempuan.

Ada lagi sumber daya hutan melimpah di Halmahera, yakni enau. Di kampung ini, belum banyak orang memanfaatkan pohon penting ini jadi sumber pendapatan. Buah enau atau aren bisa jadi gula aren.

Di kampung ini, katanya, sudah ada tiga perajin mengolah enau. Sayangnya, dua tutup usaha dan fokus mengurus kebun kelapa. Tersisa satu perajin. Perajin gula tak hanya mengembangkan gula padat juga cair.

“Potensi ini perlu dikembangkan, enau melimpah. Kami dorong warga jadikan usaha alternatif,” kata Faisal Ratuela, Program Manager LSM Pakatifa.

Gula aren

Fajri Hafel, perajin gula merah bercerita setiap hari bikin 40 gula merah. Setiap buah Rp10.000. Berarti, katanya, setiap hari bisa menghasilkan uang Rp400.000. “Saya usahakan tiap hari minimal menghasilkan 20 gula merah,” katanya.

Fajri , selain perajin gula aren juga memiliki kebun kelapa dan pala.

Desa Samo, dengan luas sekitar 20.000 hektar. Penduduk 169 keluarga dengan topografi lahan dari landai sampai bergunung- gunung. Lahan untuk berbagai jenis tanaman pertanian.

Kawasan ini sebelumnya memiliki hutan luas dan lebat. Sayangnya, setelah masuk perusahaan HPH zaman Orde Baru, PT Barito Pasifik, hampir 10 tahun sejak 1988-2000 seluas 28.000 hektar. Setelah hampir 20 tahun, hutan Desa Samo, akan kembali terancam karena perusahaan HPH bakal datang lagi.


Catatan kaki: Ditulis oleh Mahmud Ichi dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini