Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali
info gambar utama
  • Berkebun dengan media tanam air atau hidroponik makin banyak dicoba, terutama warga perkotaan dengan lahan sempit
  • Noja Bali Hidroponik memberi nilai tambah dengan menggunakan panel surya sebagai sumber daya listrik menggerakkan pompa untuk irigasi hidroponik
  • Distribusi air untuk sistem irigasi memegang peranan kunci dalam hidroponik, kalkulasi penggunaan listrik juga perlu dihitung
  • Penggunaan tenaga surya di rumah dan kebun mendorong desentralisasi sumber energi, mengurangi ketergantungan dan biaya ekologis.

Berkebun sayur mayur dengan cara hidroponik makin meluas, namun menggerakkan pompanya dengan tenaga surya? Tertarik mencoba? Ini pengalaman sebuah kebun hidroponik di Kota Denpasar yang mencoba menggerakan sebagian pompanya dengan energi panas matahari.

Noja Bali Hidroponik berlokasi di Jalan Noja II, Denpasar, Bali. Tagline kebun ini adalah ‘Food Water Energy.’ Merangkum praktik dan misi pasangan suami istri yang merintisnya, Ida Ayu Alit Maharatni dan Ida Bagus Made Purwanasara. Keduanya kini hidup memanen energi matahari, tak hanya di kebun. Juga rumah dan kantor mereka.

Bahkan tahun ini, Maharatni dan rekan-rekannya membuat perusahaan yang menyediakan jasa serta instalasi solar panel di bawah bendera PT Negeri Matahari Mandiri. Menyusul kredit energi terbarukan yang disediakan Koperasi Amogasiddhi, koperasi simpan pinjam yang berdiri sejak 2005.

Di kebun yang baru berkembang satu tahun ini, ada sejumlah petak-petak sayur aneka jenis dengan model teknik hidproponik berbeda-beda. Sedikitnya ada lima blok model. Di antaranya Nutrient Film Technique (NFT), Dutch Bucket System (DBS), Deep Water Culture (DWC), Water Culture System (WCS), sistem tetes, dan lainnya.

Bagi penekun hidroponik, teknik-teknik ini sudah familiar. Sistem rakit apung atau WCS memungkinkan sekaligus memelihara ikan di dalam bak penampung airnya. Wadah berisi bibit mengapung dan ketika diangkat, menyisakan bak penuh air di bawahnya. Beda dengan NFT yang tak menimbulkan genangan air.

Blok yang baru diuji coba adalah sistem bertanam dengan ember berisi air atau DBS. “Ini cocok untuk tanaman tinggi seperti tomat,” jelas Purwanasara. Tali-tali ember yang menggantung membantu sulur tomat tumbuh dan menyangga buahnya. Pada tengah Juli lalu, tanaman tomatnya baru berbunga.

Aneka sistem itu digunakan sebagai pembelajaran karena Noja Hidroponik ini membuat kelas-kelas pengenalan dan praktik bersama. Karena budidaya tanam tanpa media tanah, hal yang paling banyak didiskusikan adalah nutrisi dan pemeriksaan kadar material dalam air dan suhunya.

Purwanasara juga memulai dari berkebun konvensional, dengan media tanam tanah. Mengubah sebidang tanah kosong bekas tempat pembuangan sampah jadi kebun. Memanfaatkan barang bekas seperti ban dan lainnya. Karena tertarik hidroponik, pasangan ini lalu kursus. Mempelajari dari nol apa itu hidroponik, cara bertanam, dan perawatannya. “Tiap hari kandungan air dicek, agar penyerapan nutrisinya stabil,” katanya.

Sebuah ember kunci (bawah) untuk mengisi air, mendistribusikan, dan cek nutrisi serta keasaman airnya dalam kebun Noja Bali Hidroponik | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Tak perlu waktu lama, kebunnya sudah beberapa kali panen dan hasilnya kini bisa dijual. Setelah kebutuhan dapur sendiri terpenuhi. Pembeli datang dan panen sendiri sayurnya di kebun. Misalnya kangkung, selada, dan pokcoy. “Tujuannya biar bisa tiap hari makan sayur sehat,” lanjut Maharatni yang akrab dipanggil Nanik ini. Karena berlebihan dan ada permintaan, ia membuka transaksi jual beli. Pelanggan yang datang langsung ke kebun juga dipersilakan panen daun kelor yang kini menyisakan batang-batang mudanya.

Sudut yang menonjol adalah instalasi bunga matahari dari kerangka besi berwarna kuning cerah yang dipasangi panel-panel surya. Mirip seperti bunga matahari raksasa.

Belum semua pompa pendistribusi air dan nutrisi yang beroperasi dengan hasil panen panas matahari. Namun, cukup untuk mengurangi biaya listrik PLN karena irigasi air menjadi kunci dari keberhasilan berkebun hidroponik. Air dalam satu ember ini dipompa ke seluruh pipa dan jaringan tanam, mendistribusikan nutrisinya tiap hari.

Untuk menyimpan hasil panen matahari, mereka menggunakan batere. Tambahan modal investasi adalah batere karena penyimpan daya ini harganya sekitar Rp1,5 juta per unit. Lebih mahal dari panel untuk 5 solar cell ukuran setengah meter yang menghasilkan daya sekitar 50 watt per jam per unit.

Rangkaian panel surya yang dibentuk seperti bunga matahari sebagai sumber energi penggerak pompa irigasi hidroponik | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Photovoltaics (PV), lebih populer dengan istilah panel surya atau solar cell mengubah energi cahaya jadi tegangan/voltase. Dalam cuaca cerah, satu panel ukuran satu meter bisa menghasilkan daya 100 watt/jam. Waktu panen cahaya optimal di Indonesia rata-rata selama 4-5 jam efektif per hari. Bisa dihitung berapa kebutuhan per hari dan jumlah energi panas matahari bisa dikonversi jadi listrik. Konverter mengubah tegangan dari solar cell dan diturunkan ke batere.

“Jangan hitung modalnya saja, tapi berapa biaya ekologis yang kita hindari,” ingat Maharatni tentang prinsip energi terbarukan. Penggunaan sumber energi listrik yang kotor menurutnya harus dihitung biaya ekologisnya juga, dampak lingkungan yang muncul ketika diproduksi dan digunakan.

Sementara soal perlakuan, hasil kebunnya tidak menggunakan pestisida kimia namun menggunakan pupuk cair. “Perlakuan organik atau anorganik, masih jadi perdebatan. Tanpa pestisida dinilai organik, tapi tanah juga memiliki unsur kimia seperti hara tanah seng, hanya saja dikonsumsi secara alami,” papar Purwanasara. Ia sendiri menggunakan pupuk cair yang dibeli, hasil pabrikasi.

Keduanya akhirnya memantapkan menekuni hidroponik karena lebih hemat sumber daya seperti lahan, air, dan pupuk. Dalam pertanian konvensional, pupuk ditabur, air disemprot, lebih banyak habis di tanah, tak diserap sepenuhnya oleh tanaman. Alasan utama adalah hidroponik cocok untuk lahan sempit di perkotaan. Sayangnya pupuk dan bibit belum bisa diproduksi sendiri.

Mereka meyakini berkebun sayur di kota adalah salah satu siasat mengurangi emisi dari lalu lintas transportasi. Tak perlu tergantung sayuran dari desa-desa yang jauh dan perlu biaya transportasi besar. Sejauh ini ia mengeluarkan modal sekitar Rp25 juta untuk instalasi hidroponik di lahan sekitar 100 meter persegi. Modal per lubang tanam dirata-ratakan Rp10 ribu. Jika seluruh lubang berhasil panen dengan baik, maka hasil panen semuanya bisa mengembalikan modal dalam jangka waktu setahun.

Demikian juga terkait penggunaan energi surya, keduanya berhitung kebutuhan dan biaya ekologis sebelum memutuskan penggunaanya.

Selada dipanen di kebun, sangat mudah tinggal ditarik | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Dalam artikel Mongabay sebelumnya disebutkan Gubernur Bali I Wayan Koster akan beralih pada energi bersih dan terbarukan (EBT). Gubernur baru yang dilantik pada September 2018 lalu ini berkali-kali menyebutkan Bali akan lebih banyak menggunakan energi gas dibanding bahan lain seperti batubara.

Namun, komitmen itu justru dipertanyakan ketika saat ini Bali masih menggantungkan listriknya terutama dari pembangkit listrik berbahan batubara dan diesel. Apalagi, dalam kasus terakhir, warga justru kalah ketika menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Bali sebelumnya terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang yang menggunakan batubara.

Di sisi lain, sejumlah pegiat EBT mengingatkan ambisi peralihan ke EBT itu juga perlu disertai dengan evaluasi penggunaan energi di Bali. Tidak hanya sekadar penggantian pembangkit. Dengan evaluasi itu akan terlihat penggunaan apa saja yang mungkin bisa dikurangi dan dihemat. Bauran EBT apa saja yang potensial.

Evaluasi penggunaan energi itu bisa dilakukan dalam skala kecil. Misalnya, individu dan rumah tangga. Dari sana, pengguna juga bisa melakukan desentralisasi sumber energi.


Catatan kaki: Ditulis oleh Luh De Suriyani dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini