Jalan Terjal Perfilman Indonesia, Antara Hiburan dan Propaganda

Jalan Terjal Perfilman Indonesia, Antara Hiburan dan Propaganda
info gambar utama

Film menjadi salah satu hiburan yang tidak bisa dilewatkan. menikmati film luar negeri ataupun film Indonesia. Bioskop sebagai tempat pemutaran film tidak pernah terlihat sepi. Setiap tahun pasti ada film yang dirilis. Jumlah penonton film di bioskop pun mencapai angka 50 juta lebih pada tahun 2018. Menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun 2017 dengan angka 42,7 juta penonton. Tumbuh hingga 17%.

Ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap film produksi Indonesia pun terlihat dari jumlah penonton film yang mencapai 1 juta pada 2018. Sebut saja Dilan 1990, Danur 2: Maddah, Si Doel the Movie, Teman Tapi Menikah, Jailangkung 2, Sabrina, Kuntilanak, Eiffel…I’m in Love 2, dan Wiro Sableng, sedangkan, pada tahun 2019 Keluarga Cemara, Yowis Ben, Dilan 1991, My Stupid Boss 2, Preman Pensiun, Orang Kaya Baru, dan yang terbaru adalah Dua Garis Biru.

Perjalanan film Indonesia hingga mencapai saat ini sangatlah panjang. Perfilman sudah ada sejak 1900. Dikenal masyarakat dengan nama gambar idoep atau dalam ejaan sekarang dibaca gambar hidup.

Surat kabar Bintang Betawi memuat iklan mengenai pertunjukan gambar ideop tersebut. Iklan yang dipasang oleh De Nederlandsche Bioscope Maatchappij tersebut menyatakan

“ .bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar ideop dari banyak hal”

Intinya adalah mereka akan menayangkan tontonan yang bagus yaitu gambar-gambar hidup dari banyak hal.

Kemudian pada 4 Desember surat kabar yang sama mengeluarkan pengumuman bahwa akan ada pertunjukan besar yang pertama di satu rumah di Tanah Abang Kebondje dan dimulai pada pukul tujuh malam.

Produksi film dan yang disajikan ke penonton merupakan film dokumenter mengenai Hindia Belanda sebagai salah satu cara pengenalan sehingga lebih akrab antara negeri Belanda dan daerah jajahan.

Diketahui bahwa film yang dipertontonkan saat bulan Desember tersebut adalah mengenai perkembangan terakhir pembangunan di Belanda dan Afrika juga menampilkan profil keluarga kerajaan Belanda.

Produksi film pertama Indonesia sendiri pada tahun 1926. Film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” disutradarai oleh L. Heuveldorp sutradara asal Belanda dari NV Java Company yang dipimpin oleh G. Krugers dan F. Carli. Film tanpa suara atau biasa disebut dengan film bisu tersebut menjadi film pertama Indonesia dan ditayangkan pertama kali di teater Elite and Majestic, Bandung.

Poster Penayangan Film Loetoeng Kasaroeng | Sumber: Wikipedia.id
info gambar

Film kedua kemudian diproduksi pada tahun 1927 berjudul “Eulis Atjih”. Diikuti oleh Wong bersaudara yakni Nelson, Joshua, dan Othniel yang merupaka keturunan Tionghoa memproduksi film berjudul “Lily Van Java” pada tahun 1928. Indonesia di tahun 1920-an berhasil memproduksi enam film.

Poster Film Eulis Atjih | Sumber: Tribunnews.com
info gambar

Masih di tahun 1920-an lebih tepatnya tahun 1929 tiga perusahaan prduksi film muncul yakni Tan’s film milik Toen Tan Koen Yauw. Produksi pertama mereka adalah film berjudul “Njai Dasimah”. Film tersebut meraih kesuksesan dan mendorong Tan's company untuk memproduksi film lainnya.

Salah satu adegan film Liliy Van Java | Sumber: Kumparan com
info gambar

Semua film yang dibuat pada tahun 1920-an tidak memiliki suara. Barulah pada tahun 1931 film yang memiliki suara dibuat. Cerita-cerita yang disajikan kebanyakan berdasarkan cerita Tionghoa karena diproduksi oleh mereka.

FIlm Njai Dasimah | Sumber: Wikipedia.id
info gambar

Kemudian dilanjutkan dengan produksi "Atma De Vischer" oleh Krugers dan film-film dari production house lainnya.

Sayangnya pada tahun 1932 banyak perusahaan pembuat film yang memutuskan untuk menutup usahanya menyisakan Wong Bersaudara dan The Teng Chung.

Balink seorang wartawan Belanda bekerja sama dengan Wong bersaudara membuat film "Paneh" yang menampilkan keindahan Hindia Belanda pada tahun 1934.

Orang Belanda di Indonesia kemudian mendirikan perusahaan Film Belanda pada tahun 1937 bernama Agemeen Nederlandsche Indisch Film (ANIF).

Bangunan Agemeen Nederlandsche Indisch Film (ANIF) | Sumber: Wikipedia.id
info gambar

Memasuki tahun 1942-1949 film Indonesia dijadikan alat propaganda politik Jepang sekaligus sebagai penanda era surutnya produksi film nasional. Pada masa itu produksi film juga dimonopoli oleh badan bentukan khusus bernama Jawa Eiga Kosha atau Perusahaan Film Jawa dan distribusi diatur oleh organisasi Nippon Eiga Sha. Film yang diproduksi contohnya adalah “Ke Sebrang”.

Film-film yang ditampilkan tentang tentara Nippon atau Jepang yang diputar sebelum film cerita. Di sini jugalah perusahaan film milik orang Tiongkok dilarang untuk bekerja.

Setelah kemerdekaan produksi film sempat terhenti dan baru paa tahun 1948 film kembali diproduksi. Juga munculnya perusahaan Kino Drama Atelier, South Pasific Film corporation (SPFC) dan Bintang Surabaya Film Coy. Produksi film pun mengalami peningkatan dari 8 film tahun 1949 menjadi 23 hingga 65 film pada tahun 1955.

Kebangkitan tersebut dipengaruhi dengan banyaknya perusahaan yang dibuat anak-anak bangsa seperti Haji Usmar Ismail dengan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan Jamaludin Malik dengan Perseroan Artis Indonesia (Persari). Juga lahirnya persatuan pengedar film seperti ikatan pengedar Film Indonesia (IPEFI) dan berdirinya importir Gabungan Importir Film Indonesia (GIFI).

Nah, seperti diketahui bahwa Hari Film Indonesia jatuh pada tanggal 30 Maret hal tersebut karena produksi film Perfini “Darah dan Doa” pada tahun 1950 di produksi pada 30 Maret. Dikenal juga dengan nama “The Long March”.

Kenapa Hari Film Nasional jatuh pada 30 Maret walaupun film pertama yang diproduksi adalah "Loetoeng Kasaroeng"?

Keputusan itu berdasarakan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 yag menetapkan bahwa hari pertama syuting film "The Long March" sebagai Hari Film Indonesia.

Di tahun 1951 diresmikanlah Metropole bioskop termegah dan terbesar pada zaman itu.

Produksi film kemudian mengalami penurunan akibat adanya peristiwa G30S/PKI. Namun terbantu dengan adanya impor film dan berhasil meningkatkan jumlah penonton.

Pada 1957 gerakan orang film sempat menuntut impor film ditekan lebih spesifiknya adalah film India dan Film Melayu. Berlanjut hingga 1958 yang dikatakan bahwa politik perfilman tidak jelas. Film impor masih merajalela.

Kemudian pada masa Orde Baru pun film yang diputar adalah film propaganda seperti pemberontakan G30S/PKI.

Nah, di tahun 1970-1991 tekologi pembuatan dilm dan bioskop mengalami kemajuan. Namun ada saingan baru yakni dengan TVRI.

Lagi-lagi di tahun 1991-1998 pefilman kembali meurun dan hanya mampu memproduksi 2 sampai 3 fim tiap tahunnya. Hal tersebut karena semakin maraknya televise, VCD, dan DVD.

Kemudian barulah pada 1998 hingga sekarang industri perfilman Indonesia mulai bangkir kembali dengan film-film fenomenal seperti Cinta dalam Sepotong Roti hingga Ada Apa Dengan Cinta.

Catatan Kaki:

cnbcindonesia.com | katadata.co.id | lib.ui.ac.id | lib.ui.ac.id | academia.edu |

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini