Bom Atom dan Tonggak Kemerdekaan Indonesia

Bom Atom dan Tonggak Kemerdekaan Indonesia
info gambar utama

Pepatah lawas bilang, hidup itu bagaikan roda. Terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Putarannya tak selalu sama. Kadang naik dengan lambat, kadang turun dengan cepat, ataupun sebaliknya.

Begitu pun dengan kehidupan. Tak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang, sekelompok, sebuah bangsa, maupun negara, di hari-hari berikutnya. Di suatu hari begitu berjaya, di lain hari menangis merana. Di satu hari sangat menderita, di hari berikutnya tersenyum ceria.

Indonesia dan Jepang mengalami nasib itu di pertengahan bulan Agustus 1945. Jepang yang saat itu sedang melakoni Perang Dunia II sembari terus mempertahankan cengkeraman penjajahan di Indonesia, tiba-tiba mendapat pukulan telak. Sangat telak, sampai membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bangkit lagi.

Bom atom yang menghantam kota Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, membuat Jepang menyerah tanpa syarat ke sekutu pada 15 Agustus 1945. Sebuah kekalahan yang begitu menohok bagi Jepang, tapi sebaliknya bagi Indonesia, itu adalah momentum kebangkitan.

Para tokoh-tokoh muda Indonesia langsung bergegas. Usai mendengar berita kekalahan Jepang via radio, sekelompok pemuda bersama Mohammad Hatta langsung mengadakan rapat di Pegangsaan Timur, Jakarta. Dipimpin oleh Chairul Saleh, rapat ini menghasilkan putusan yang menjadi dasar proklamasi Indonesia.

Tapi bukan berarti rapat berjalan mulus. Hasil rapat yang disampaikan ke Bung Karno oleh Wikana dan Darwis, justru menuai perbedaan pendapat. Akibatnya, Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan sementara ke Rengasdengklok, agar terbebas dari pengaruh Jepang.

16 Agustus 1945 jam 4.30 WIB. Ketika mentari masih terlelap, sekelompok pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta, karena meminta para pemuda bersabar mengumumkan proklamasi. Ahmad Soebardjo kemudian bertolak ke Rengasdengklok untuk berunding dengan kelompok pemuda itu, dan memastikan proklamasi akan dilakukan besok, 17 Agustus 1945, paling lambat pukul 12.00 WIB.

Mendengar pernyataan Ahmad Soebardjo, kelompok pemuda itu pun melunak, bersedia membebaskan Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya diasingkan di rumah milik Djiauw Kie Song, dan kembali di Jakarta jam 22.30 WIB, di hari yang sama.

Bendera Indonesia | Foto: Nick Agus Arya/Unsplash
info gambar

Bergegas kibarkan Sang Merah Putih

Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus, menjadi hari yang tak seperti biasanya. Para tokoh negara begitu sibuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno memberi sumbangkan kata "Proklamasi" untuk naskah sakral itu. Ahmad Soebardjo membuat kelaimat pertama, sedangkan kalimat terakhir disusun Bung Hatta.

Naskah proklamasi kemudian disunting oleh Sukarni, lalu diketik Sayuti Melik. Oleh Sayuti Melik, ada beberapa kata yang diubah dari naskah awal proklamasi. Ini dilakukannya, karena sebagai guru ia memiliki pemahaman bahasa yang lebih baik dibandingkan Soekarno yang seorang insinyur.

Kata-kata yang diubah adalah "tempoh" jadi "tempo", "wakil-wakil bangsa Indonesia" jadi "Atas nama Bangsa Indonesia", lalu menambahkan nama "Soekarno-Hatta" di akhir, dan penanda tempat serta tanggal yang awalnya "Djakarta, 17-8-05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun 05". Format tahun saat itu masih memakai tahun showa Jepang yakni 2605, yang setara tahun 1945 Masehi.

Pukul 4.30 WIB, naskah proklamasi selesai disusun. Selanjutnya adalah menentukan lokasi pembacaan proklamasi. Lagi-lagi rencana awal harus diubah. Lapangan Ikada di Monas urung dipilih lantaran jika dilakukan di tempat umum yang luas, rawan terjadi bentrok antara rakyat Indonesia dengan militer Jepang.

Akhirnya, diputuskan lokasi pembacaan proklamasi di halaman rumah Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur no. 56, Jakarta.

Naskah proklamasi dibacakan Soekarno tepat pukul 10.00 WIB. Sebelumnya, Bung Hatta telah berpesan ke B.M. Diah yang bekerja di kantor pers, agar teks proklamasi diperbanyak dan disiarkan ke seluruh dunia.

Pembacaan naskah proklamasi dilakukan dengan khidmat dan tenang, dibantu pengamanan Shudanco Latief Hendraningrat serta anak buahnya. Ia juga membantu pengibaran bendera yang dilakukan oleh S. Suhud. Seketika setelah bendera merah-putih yang dijahit istri Soekarno, Fatmawati, itu dikibarkan, hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Apakah begitu saja? Oh tidak, Kawan GNFI. Drama belum selesai, karena Jepang berusaha keras menghentikan siaran proklamasi Indonesia. Mereka memutus alat pemancar di kantor berita Domei, tempat berita proklamasi disiarkan. Kantornya juga disegel, sehingga pegawai tidak bisa masuk.

Namun pemuda Indonesia tidak kehilangan akal. Mereka membuat alat pemancar baru dari sisa alat pemancar di Domei, dan memasangnya di Menteng. Tanggal 20 Agustus 1945, hampir seluruh harian di Jawa memuat berita proklamasi dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Semuanya berlangsung sangat cepat, dan dilakukan dengan cara yang tepat. Naskah proklamasi, mesin tik Sayuti Melik, dan bendera jahitan Fatmawati jadi saksi bisunya, kata "Merdeka" menggema di seluruh Indonesia.

Kini 74 tahun telah berlalu sejak peristiwa itu, negara kita tercinta masih berdiri di tanah yang sama, menjunjung semangat yang terus bergelora, membawa misi harumkan nama Indonesia di pentas dunia.

Walau berbagai rintangan dan cobaan datang mengadang, walau potret musibah dan bencana alam terus terbayang, tapi kita bangsa Indonesia akan terus maju, menggapai cita-cita, dengan segenap semangat juang.

MERDEKA!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini