Ketidaksiapan Pendidikan Indonesia dengan Penerapan Sistem Zonasi

Ketidaksiapan Pendidikan Indonesia dengan Penerapan  Sistem Zonasi
info gambar utama

Sistem zonasi yang diterapkan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019
ini, menyita perhatian kalangan masyarakat, khususnya para orang tua dari calon murid yang
akan masuk ke sekolah idaman. Salah satu dampak dari kebijakan baru ini menimbulkan
kekacauan, seperti apa yang terjadi di Sekolah Menengah Atas (SMA) 15 Pekanbaru, Kecamatan
Tampan. Agar bisa menambah jumlah kelas dengan nilai anggaran Rp. 200 juta, ada sekitar 35
wali siswa yang harus membayar iuran Rp. 5 juta per siswa. Ini disebabkan jumlah ruang belajar
di sekolah tersebut tidak mencukupi menampung seluruh siswa, karena memang daerah itu
merupakan kawasan padat penduduk. Demi anak-anak bisa bersekolah, para orang tua membuat
kesepakatan bersama komite untuk membangun ruang belajar sendiri. Adapun keputusan ini
tentu akan menimbulkan pro dan kontra, apalagi kesepakatan ini harus diketahui oleh kepala
sekolah, dinas pendidikan dan instansi terkait.

Terkait dengan penerapan sistem zonasi ini, kasus di atas tersebut hanya sebagian kecil
yang ada di Indonesia dan masih banyak lagi kasus lainnya. Berbicara tentang sistem zonasi,
perlu diketahui pendidikan merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa. Masalah pendidikan
menjadi rata-rata permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang di dunia,
termasuk Indonesia. Perbaikan demi perbaikan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Berdasarkan standar PISA (Programme for International Student Assesment), tingkat
kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kualitas pendidikan Indonesia adalah biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang kurang
memadai, serta rendahnya pemerataan pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan merupakan
masalah yang kini menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Merujuk pada laporan UNDP
(United Nations Development Programme) menunjukkan bahwa angka Human Development
Index (HDI) Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Secara
sederhana, masalah rendahnya pemerataan pendidikan dapat terlihat pada kondisi dimana banyak
anak berbondong-bondong dari desa ke keluar kota untuk memperoleh pendidikan yang
dianggap lebih bergengsi dibanding pendidikan di desa.

Menanggapi hal itu, Kementrian Pendidikan dan Budaya mengeluarkan Peraturan Mentri
Pendidikan dan Budaya nomor 14 tahun 2018 tentang diberlakukannya sistem zonasi pada
PPDB. Sistem zonasi bermaksud untuk menyamaratakan kualitas pendidikan, Sistem zonasi
sendiri merupakan aturan dimana sekolah harus menerima calon peserta didik baru dalam radius
zona yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan musyawarah kelompok kerja kepala sekolah.
Kuota siswa yang harus diterima dalam sistem zonasi minimal 90%, sedangkan 5% masing-
masing melalui jalur pretasi, transisi domisili atau karena bencana alam/ sosial.
Berkaca dengan pendidikan di negara tetangga yaitu Malaysia, Malaysia menerapkan
sistem zonasi pada PPDB. Namun, bukan dari nilai yang dibawa oleh calon siswa mendaftar,

tetapi lebih konsen pada dua hal yaitu umur siswa dan tempat tinggal. Umur siswa akan
menentukan tingkat/ kelas yang dimasukkan oleh siswa tersebut. Adapun dasar pemikirannya
adalah umur siswa lebih cenderung untuk kemaslahatan perkembangan psikologi anak. Alasan
utama Malaysia menerapkan sistem zonasi PPDB, agar memudahkan proses antar jemput dengan
bus sekolah yang sudah disediakan oleh pemerintah. Bahkan sistem zonasi ini juga diterapkan
oleh Malaysia untuk mengantisipasi kemacetan lalu lintas di perkotaan.

Berbeda dengan Australia, Australia sendiri sudah berhasil menerapkan sistem ini
bertahun-tahun. Agar anak mereka masuk ke sekolah negeri yang dikehendaki, para orang tua
sudah mempertimbangkan sejak awal untuk tinggal di daerah zonasi sekolah tersebut. Sistem
pendataan penduduk asli hingga pendatang di Australia pun sudah sangat bagus, sehingga ketika
sistem zonasi ini diterapkan tidak ditemukannya masalah yang merugikan beberapa pihak.

Sistem Zonasi perlu dikaji ulang

Sekolah-sekolah andalan ataupun favorit harus lebih berpikir panjang lagi dengan
penerapan sistem baru ini. Bila sebelumnya sekolah favorit diisi kebanyakan oleh murid pintar,
dengan sistem zonasi ini sekolah favorit harus memiliki strategi untuk menjaga kualitas sekolah
tersebut. Tidak hanya itu, sekolah favorit harus berani perlahan-lahan membuang jauh lebel
‘ekslusif’. Dalam sistem zonasi juga diberlakukan peraturan sekolah harus menerima minimal
20% peserta didik dari keluarga kurang mampu. Sehingga nantinya tidak akan ada kotak-kotak
kasta sekolah.

Kelemahan sistem zonasi cukup banyak sekali. Tidak semua sekolah siap dengan sistem
ini. Tujuan utama sistem zonasi untuk menyamaratakan kualitas pendidikan, tapi hal ini akan
sulit jika sarana dan prasarana serta fasilitas belum merata. Kondisi mayoritas sekolah di
Indonesia belum memenuhi standar yang layak ataupun berkualitas.

Sistem zonasi yang dikeluarkan pemerintah terkesan tergesa-gesa tanpa mengkaji dampak
lain dari penerapan sistem ini. Sistem zonasi akan tepat diterapkan apabilan sistem pendidikan
Indonesia sudah bagus, baik dari kualitas tenaga pengajar, fasilitas, saran dan prasarana serta
akses yang mendukung. Sistem ini tidak hanya berbicara tentang fisik saja, tetapi bagaimana
tenaga pengajar berkualitas, tenaga pengajar bisa rolling ke sekolah lain sebagaimana yang
diterapkan di Jepang. Maka dari itu pemerintah harusnya lebih fokus untuk memperbaiki fasilitas
dan kualitas guru. Sistem zonasi ini bagus, tapi ironi bila sebuah sistem yang bagus akan
berakhir sia-sia.

Terakhir, dalam pengambilan kebijakan, pemerintah harus melibatkan pihak lain untuk
melakukan monitoring dan evaluasi agar sistem ini berjalan dengan baik dan memiliki progres
setiap tahunnya. Pemerintah juga harus memetakan keadaan geografis, kependudukan dan
perekonomian dengan melibatkan stakeholder agar sistem ini saling berkesinambungan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini