Imbas Kemacetan dan Efeknya ke Daya Saing

Imbas Kemacetan dan Efeknya ke Daya Saing
info gambar utama

Jawa Pos tanggal 11 September 2019 memuat laporan tentang imbas kemacetan (berikut fotonya) di Surabaya Utara, di mana pengusaha truk rugi Rp 8 miliar per hari. Media ini sehari sebelumnya juga memuat foto kemacetan di kawasan itu.

Adalah ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aprindo) Surabaya Putra Lingga yang memperkirakan jumlah kerugian di atas. Akibat kemacetan itu pengusaha truk itu kena penalti pelabuhan atau ditinggal kapal.

Rata-rata kerugian satu truk mencapai Rp 1-2 juta dan setiap hari ada 8.000 unit truk yang berjalan di jalur Surabaya Utara itu. Selain itu, jika barang yang diangkut tidak sampai di kapal, maka kontainer bakal ditinggal.

Pihak pelabuhan mengatakan bahwa yang mengenakan penalti itu sebenarnya adalah pengusaha angkutan kapal yang tidak mau merugi menunggu truk-truk yang terlambat datang.

Koran JawaPos tanggal 10 September 2019 | Foto: Dok. penulis
info gambar

Itu laporan kerugian pengusaha truk karena kemacetan di Surabaya Utara, kerugian yang sama atau lebih besar juga dialami di pelabuhan-pelabuhan lainnya seperti di Tanjung Priuk Jakarta atau Tanjung Emas di Semarang dan kota-kota lainnya karena kemacetan itu.

BACA JUGA: The Little Red Dot, Julukan dari Habibie yang Jadi Kebanggaan Singapura

Koran JawaPos tanggal 11 September 2019 | Foto: Dok. penulis
info gambar

Kalau tidak salah ingat saya pernah menulis artikel di Jawa Pos ini sekitar 10 tahun yang lalu tentang hubungan jalan “jeglong-jeglong” (berlubang) dan kemacetan dengan globalisasi, dan berita di surat kabar di atas mengonfirmasi artikel saya dulu.

Sebenarnya masalah ini berhubungan dengan keluhan Presiden Jokowi baru-baru ini tentang tidak adanya perusahaan asing yang keluar dari Tiongkok akibat perang dagang dengan Amerika Serikat, memilih Indonesia untuk merelokasi investasi mereka. Perusahaan-perusahaan asing itu lebih memilih Vietnam, Thailand dan Malaysia.

Memang keputusan perusahaan besar seperti Multi National Corporation dunia (juga berlaku bagi perusahaa Indonesia) untuk beriventasi ke negara lain sebelumnya melalui analisa yang prudent dengan melihat apakah negara sebagai tempat berinventasi itu dekat dengan pasar regional (proximity to regional markets), apakah dekat dengan pasar global (proximity to global markets), apakah infrastrukturnya memadai (jalan, pelabuhan, listrik, air bersih, dsb), adakah instabilitas politik negara (Domestic Instability), kondisi politik (Political Climate), kondisi perekonomian (Economic Climate), lamanya perizinan, kepastian hukum, apakah ada International School untuk keluarga mereka, bagaimana kelayakan rumah sakit, dll,

BACA JUGA: Peringkat Negara Paling Powerful Dunia 2019

Kemacetan akibat jeleknya perencanaan kota atau City Planning suatu negara juga merupakan salah satu variabel yang dianalisa perusahaan-perusahaan asing itu, karena akibat kemacetan tidak hanya soal beban tambahan biaya yang besar, seperti yang dikeluhkan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, namun juga soal kepercayaan bisnis atau business trust dari mitra dagang.

Sebab dalam perjanjian usaha (sales contract) yang dituangkan di Letter of Credit atau L/C untuk aktivitas impor ekspor memang antara lain disebutkan dengan jelas soal tanggal pengiriman barang, dari pelabuhan mana barang dikirim, apakah pengiriman yang terpisah-pisah (partial shipment) diperbolehkan atau tidak, harga dan jenis barang, asuransi, kapan pembayarannya, dsb.

Apabila poin-poin yang disepakati di L/C itu tidak dipenuhi seperti misalnya soal keterlambatan pengiriman barang, maka pengusaha eksportir kena penalti bahkan pemutusan kerja sama bisnis sebagai mitra dagang dan mengalihkan hubungan dagangnya dengan pengusaha-pengusaha di negara lain yang kondisinya lebih pasti.

BACA JUGA: Senyum Anak-anak Papua, Membuatnya Tidak Tega Meninggalkan Mereka

Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan peringkat daya saing kita dalam urusan bisnis kalah dengan beberapa negara tetangga kita di lingkup Asia Tenggara.

Akhirnya, kita menyadari bahwa perusahaan-perusahaan asing yang rencana relokasi investasinya tidak memilih Indonesia itu tidak hanya karena soal politik, perizinan, kondisi ekonomi suatu negara, namun juga soal jalan macet!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini